Ekspresionline.com–Kita telah mengetahui beberapa waktu lalu terjadi demonstrasi besar di beberapa daerah. Pantikan demonstrasi tersebut tidak lain karena adanya indikasi penyelewengan kuasa oleh lembaga legislatif pemerintah.
Mahkamah Konstitusi (MK) yang sebelumnya mengesahkan mengenai beberapa gugatan partai terkait Pilkada akan dilindas oleh keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal itu ditandai dengan pengesahan RUU Pilkada yang pada akhirnya menganulir hasil keputusan MK.
Demonstrasi besar meletus di berbagai pelosok negeri. Berbagai elemen masyarakat dari buruh, mahasiswa, pelajar, bahkan pedagang kaki lima turut turun ke jalanan. Reaksi spontan yang terjadi itu menandai negara ini sedang tidak baik-baik saja.
Di jagat media pasca keputusan DPR diambil pun ramai dengan slentingan panas “Peringatan Darurat”. Hal itu merupakan reaksi spontan warganet mengetahui brutalitas ambisi penguasa.
Informasi konsolidasi pun menyebar. Aksi perlawanan digelar di seantero negeri. Berita brutalitas aparat dan anjing penguasa menggelinding laksana bola panas. Akhirnya suatu aksi memang benar menimbulkan reaksi. Hukum Fisika Newton!
Namun, apakah mimbar-mimbar bebas saja cukup?
Apakah melakukan longmarch sembari menenteng spanduk cukup?
Apakah benar jeritan itu didengar?
Penulis disini mencoba memberi penawaran. Insureksi!
Apa Itu Insureksi?
Insureksi secara sederhana dapat dipahami sebagai suatu tindakan pemberontakan menggunakan aktivitas kekerasan untuk menghancurkan dominasi negara. Insureksi sering dinisbatkan sebagai tindakan anarkisme. Kendati demikian, dua hal itu merupakan istilah yang berbeda.
Anarkisme merupakan sekumpulan atau individu yang anti terhadap otoritas negara dan dominasinya. Anarkisme adalah gerakan bebas. Gerakan tersebut tak hanya berkutat dalam kekerasan. Selain aksi langsung, ada juga aksi damai yang mengedepankan keharmonisan dan kebijaksanaan seperti yang telah dipraktikan di Rojava dan Zapatista masa kini.
Dalam konsepnya sendiri, insureksi merupakan bagian dalam praktik-praktik anarkisme. Insureksi menjadi bagian dari direct action (aksi langsung) di lapangan. Gerakan ini meliputi sabotase, pengeboman, pembakaran, perusakan alat vital negara, dan tindak kekerasan lainnya.
Nihilis Rusia dan Pemikiran Bakunin
Gerakan berbasis kekerasan juga telah dilakukan pada masa revolusi Rusia. Hal itu tercermin pada tindak kekerasan yang diperbuat oleh Gerakan Nihilis Rusia. Gerakan Nihilis adalah sebutan bagi kelompok yang merasa diri mereka dipaksa untuk mengambil jalan pistol dan dinamit di Rusia. Mereka mebawa harapan untuk mengurangi kondisi yang menyedihkan (Bima, 2021:53).
Tulisan Bima tersebut mengaminkan penguasa yang buruk melahirkan pembunuh-pembunuh tiran yang ganas. Kaum Nihilis menjelma menjadi hantu yang diperhitungkan di Eropa Timur selain kebangkitan komunisme.
Pembunuhan, pengeboman, dan gerakan bawah tanah sabotasi melekat dalam setiap aktivitas kaum Nihilis. Cara-cara yang demikian efektif untuk menimbulkan ketakutan penguasa dan memberi dampak traumatis.
Mikhail Bakunin sebagai bapak Anarkisme juga menggunakan aksi serupa dalam gerakannya. Selain perjuangan melalui tulisan-tulisan progresif, tindakan langsung juga diperlukan untuk menimbulkan efek gentar pada kursi rezim.
Pemberontakan bersenjata berhasil menguncang singgasana “Sang Raja” tatkala Tsar Rusia ditelanjangi kuasanya pada Revolusi Bolsevik. Kekerasan juga berhasil memutus kepala rezim tiran Perancis dengan guillotine pada Revolusi Perancis.
Insureksi, Isyarat Cinta yang Keras Kepala
Kekerasan aparatur negara adalah pemandangan yang lazim dalam kehidupan bernegara kita. Pemukulan demonstran, penculikan aktivis, bahkan kasus pembunuhan anak yang disiksa Polisi di Sumatra Barat adalah peristiwa yang menjadi bukti aparat sedang tidak sehat nalarnya.
Mereka menjadi bagian dari lingkaran pagar yang melindungi penguasa dari gulma pengerat yang menggangunya. Sebuah ironi dari negeri yang dalam ideologi pun memiliki badan penjaga sendiri.
Pada masa Orde Baru, para aktivis dan rakyat yang melawan tak jarang mendapat tantangan dan ancaman penguasa. Leila S. Chudori, penulis novel Laut Bercerita, menggambarkan semua itu dalam karyanya.
Perburuan para pengganggu penguasa bagi aparat militer adalah suatu olahraga yang manis. Setidaknya, dalam gambaran novel tersebut terdapat sitematika majikan dan hewan peliharaan yang unik. Sang majikan akan terus memberi makan dan rumah peliharaan asal dapat menjaga “rumah” dengan baik.
Gerakan demonstrasi besar melalui Reformasi ‘98 berhasil menggantung kuasa Orde Baru. Namun, bergantinya kuasa tak juga menjamin harapan hidup layak terwujud.
Kini Neo-Orba itu kembali dalam bentuk lebih miris. Ketika Soeharto menggunakan kuasanya untuk menguasai konsesi bisnis, rezim sekarang berusaha “menggunakan sisa kekuatannya” untuk berkuasa total!
Ribuan spanduk dan ribuan massa berjejal memenuhi jalanan. Salah satunya adalah aksi pada September 2019. Dalam aksi itu, sebuah tragedi yang unik, entah buruk atau baik, terjadi. Kerusuhan demonstrasi terjadi seperti biasa, namun perbedaannya peserta tak hanya dari buruh dan mahasiswa. Terlihat dari jauh bercelana abu-abu dengan badan berbalut hoodie beraneka warna. Mereka merangsek ke barisan aparat yang represif dengan kayu batu dan sebagainya. Lebih kerennya lagi mereka berasil mengambil kendali mobil water canon. Mereka adalah para siswa Sekolah Teknik Menengah (STM).
Lain lagi dengan demonstrasi menolak Omnibus Law pada tahun 2020 di Yogyakarta masih melekat di masyarakat seputaran Malioboro. Suatu tragedi yang memilukan bagi mereka, karena mengganggu mata pencaharian mereka di zona wisata. Kebakaran, kerusakan fasilitas, dan beberapa luka di kedua kubu yang bentrok menjadi saksi dramatisnya masa itu.
Sekarang, jalanan Malioboro kembali dipenuhi demonstran. Berbeda dengan apa yang terjadi 2020 lalu, kali ini pedagang kaki lima Malioboro ikut turun bersama para demonstran. Mereka telah sadar betapa kejamnya peguasa yang memiskinkan jutaan rakyat di desa dan kota-kota.
Apa yang terjadi pada 2020 lalu juga di beberapa daerah lainnya. Keributan besar itu ternayata adalah sebuah isyarat cinta yang tak dapat dilukiskan dengan kata.
Negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Kesimpulan itulah yang membuat seluruh elemen masyarakat terjun dalam aksi Jogja Memanggil waktu lalu.
Namun, apakah suara-suara itu bisa didengar?
Apakah keringat peluh itu sudah terganti?
Apakah teriakan orasi saja cukup?
Kalau rezim masih bebal dan keras kepala, kalau Sang Raja Jawa itu masih terlilit ambisi kursi dan mengebiri konstitusi, maka inilah waktu yang tepat untuk INSUREKSI!
Rizqy Saiful Amar
Editor: Nugrahani Annisa
Referensi:
Satria Putra, Bima. (2021). Perang yang Tidak Akan Kita Menangkan. Yogyakarta: Fajar Utama Offset