Judul: Isinga
Penulis: Dorothea Herliany
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tebal: 222 hlm
ISBN: 9786020312620
Ekspresionline.com–Perempuan harus bisa mengurus suami dengan baik. Mengurus keluarga dengan baik. Mampu bergaul ke semua orang dengan baik. Budi bahasa baik. Tutur kata manis. (2015, 66).
Novel Isinga berkisah mengenai kehidupan Irewa dan Meage, sepasang manusia yang saling mencintai di Aitubu. Keduanya berkasih-kasihan, meski tak menjalin hubungan seperti pacaran. Meage pun ingin meminang Irewa, sayangnya niatnya tak terlaksana. Hal ini dikarenakan Malom, duda dari kampung sebelah, Hobone.
Irewa awalnya sudah menolak Malom, dikarenakan Irewa tak suka padanya. Malom dinilai Irewa sangat tak tahu diri, sebab meski lamarannya sudah ditolak Irewa, Malom masih terus mencobanya. Puncaknya ialah, ketika akhirnya Malom menculik Irewa yang baru saja mendapat menstruasi pertamanya.
Akhirnya, tetua kedua kampung menyatakan Irewa sebagai yonime, yakni juru damai antara Aitubu dan Hobone yang sudah lama bermusuhan. Irewa yang sejak awal tak mencintai Malom melalui kehidupan rumah tangganya dengan berat hati. Kondisi alam dan sosial Hobone yang berbeda jauh dengan Aitubu juga membuat Irewa harus beradaptasi dengan susah payah.
Mulai dari mengolah tanah, mengurus kebun juga babi-babi, melahirkan anak, juga mengurus pekerjaan rumah tangga dilakukan Irewa hanya untuk memenuhi tanggung jawabnya. Meski begitu, Irewa tetap ingin menjadi perempuan, juga istri yang baik.
Standar perempuan baik dalam masyarakat Hobone dituangkan dalam lagu-lagu tradisional yang sering Irewa dengar. Perempuan yang baik itu mesti pendiam. Tidak pernah mengeluh. Tidak pernah protes. Tidak pernah membantah. Tidak pernah bersedih. Tidak pernah berbicara kasar. (2015, 65).
Standar-standar itu membuat Irewa hanya bisa memendam perasaannya ketika ia mengalami stres dengan tuntutan anak dari Malom, tindak kekerasan dari Malom, bahkan ketika Malom menduakannya.
Kewajiban Istri
Setelah menikah dengan Malom, Irewa mengurus segalanya sendiri. Ia harus mengolah kebun sagunya sendirian. Kebun itu pun tak dekat jaraknya. Irewa harus mendayung selama setengah jam, lalu berjalan selama setengah jam lagi hingga sampai di kebunnya. Urusan kebun dilakukan Irewa rutin tiga kali dalam seminggu.
Tak hanya itu, Irewa juga dituntut untuk melahirkan anak, khususnya laki-laki. Perang antara Aitubu dan Hobone telah merenggut banyak nyawa laki-laki, sehingga masyarakat Hobone menginginkan generasi laki-laki baru. Tak ada istirahat setelah Irewa melahirkan anak-anaknya. Sebab Malom ingin anak laki-laki.
Proses melahirkan juga harus diurus oleh Irewa sendiri. Masyarakat Hobone memandang bahwa proses melahirkan adalah hal yang cukup tabu. Perempuan harus pergi sejauh-jauhnya dari rumah ketika anaknya akan lahir. Bahkan, bukanlah hal baru ketika perempuan melahirkan di kebun sendirian.
Setelah kehadiran anaknya, beban fisik Irewa pun bertambah. Ia harus mengajak seluruh anak-anaknya untuk pergi ke kebun. Irewa tak bisa meninggalkan anaknya di rumah. Malom pun enggan mengurus rumah. Tanggung jawab mengenai anak pun diemban sepenuhnya oleh Irewa. Malom hanya menginginkan keberadaan anak, ia tak mau ambil bagian dalam merawatnya.
Urusan domestik dalam rumah tangga juga menjadi kewajiban Irewa. Ia harus menyediakan makanan siap santap bagi suami dan anak-anaknya. Malom juga enggan mengurus hal ini. Pernah suatu kali Irewa merasa tubuhnya sakit, bahkan tak kuat untuk pergi ke kebun. Tak ada makanan pula yang bisa disantap. “Malom lapar. Betatas matang tak ada. Ikan tak ada. Malom marah dan memukul Irewa. (2015, 80).
Kekerasan dan Jalan Keluarnya
Malom adalah suami yang ringan tangan. Kekerasan tampaknya adalah jalan komunikasi yang ditempuh oleh Malom. Sebab, Malom melakukan kekerasan hanya untuk alasan sepele. Irewa menjelaskan tentang sakitnya. Malom kesal. Irewa dianggap banyak bicara. Mulut Irewa yang sedang bicara itu ditamparnya. (2015, 73).
Kekerasan-kekerasan yang dilakukan Malom pun melahirkan coping mechanism dalam diri Irewa. Irewa tak boleh membuat Malom marah, atau Malom akan memukulnya. Irewa tak boleh banyak bicara, atau Malom akan memukulnya. Malom pada akhirnya memegang kekuasaan atas Irewa.
Masyarakat Hobone sebenarnya tak memandang kekerasan yang dilakukan seorang suami adalah hal wajar. Namun, di Hobone sendiri, para istri yang mengalami kekerasan oleh suaminya hanya memiliki dua pilihan, yaitu mati bunuh diri atau dinikahi oleh laki-laki lain.
Bunuh diri yang biasa dilakukan perempuan Hobone demi lepas dari suaminya dilakukan dengan terjun ke sungai besar yang deras arusnya. Sudah banyak yang melakukan tindak bunuh diri semacam ini.
Novel Isinga menghadirkan permasalahan sosial yang begitu apik, juga kompleks. Tak hanya berfokus pada kehidupan Irewa sebagai perempuan Papua, Dorothea juga menyoroti terkait isu-isu sosial. Salah satunya adalah bagaimana Orde Baru menyiksa masyarakat Papua melalui suara rakyat untuk pemilu, hingga bagaimana pemerintah memaksa modernitas masuk dalam hidup masyarakat Papua.
Sayangnya, dalam kacamata sastra, novel Isinga memiliki kelemahan dalam penggunaan bahasanya. Kalimat dalam novel ini terasa kaku, dan sangat minim majas. Diksi-diksi yang digunakan penulis membuat novel ini seolah tak punya sentuhan dari seorang “penyair” sebelumnya.
Penulis lebih banyak menggunakan narasi dalam novelnya. Sangat sedikit percakapan langsung yang dapat ditemukan dalam novel ini. Untuk pembaca yang menyukai narasi, maka buku ini menjadi pilihan yang tepat. Sementara untuk pembaca yang mudah jenuh, mungkin akan memerlukan fokus yang lebih banyak dalam menyelesaikan novel ini.
Selain itu, meski novel ini menggambarkan kehidupan di Papua, penulis sangat minim pula dalam menggunakan bahasa daerah Papua. Dapat dikatakan, dalam satu bab dalam novel ini, hanya ada 3–4 kali penulis mencantumkan bahasa daerahnya. Untuk pembaca yang ingin menambah kosa katanya mengenai Papua, mungkin tidak akan terlalu cocok jika membaca buku ini.
Meski begitu, teknik penerjemahan yang digunakan Dorothea dalam menerjemahkan bahasa daerah yang dicantumkan cukup nyaman dibaca. Ditulis dengan huruf miring, lalu artinya dicantumkan dalam baris yang sama dengan tanda kurung.
Rosmitha Juanitasari
Editor: Mentari Mulya Dewi