Oleh Herman Degei
(Mahasiswa Ilmu Komunikasi STPMD “APMD” Yogyakarta)
Ekspresionline.com – Sebagai salah satu kota studi di Indonesia, Yogyakarta menjadi kota yang setiap tahunnya dipilih mahasiswa Papua untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi. Ini sudah mulai terjadi sejak 1960-an dan jumlah mahasiswa Papua pun dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Menurut data dari Dikti DIY pada tahun 2015, terdapat 13.119 mahasiswa Papua yang berada di Yogyakarta. Sementara menurut data terbaru Ikatan Mahasiswa Papua (IPMAPA) DIY per 2018, jumlah mahasiswa Papua di Yogyakarta kini sudah mencapai sekitar 15 ribu lebih.
Akan tetapi, ada beberapa persoalan kronis yang sampai saat ini masih dialami oleh mahasiswa Papua di Yogyakarta, salah satunya kesulitan mendapat tempat tinggal atau indekos. Rata-rata mahasiswa Papua pasti akan menjawab “Ya/Pernah” apabila ditanyai tentang kesulitan mereka ketika mencari indekos. Memang, saya sendiri belum mengalaminya karena sedari awal datang ke Yogyakarta pada 2015, saya tinggal di asrama pelajar dari daerah. Namun, saya tahu isu/fenomena ini dari beberapa pemberitaan di media massa dan menurut cerita kawan-kawan saya yang dari Papua.
Salah satunya Paulus Samon, mahasiswa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta. Paul, demikian nama sapaannya, yang kini tinggal di Asrama Papua Kamasan I Kusumanegara punya pengalaman soal kesulitan mendapatkan indekos atau tempat tinggal ketika awal kedatangannya di Yogyakarta pada 2013.
Ketika itu, Paul mencari indekos di sekitar Jl. Glagahsari, Umbulharjo, Yogyakarta. Paul coba bertanya di beberapa indekos yang rumahnya terdapat plang bertuliskan “Ada Kamar Indekos Putra”, tapi kemudian ditolak dengan beberapa alasan. Paul lalu meminta tolong ke teman sejawatnya asal Kalimantan di kampus untuk membantu lobi. Setelah dilakukan lobi oleh temannya, akhirnya Paul diterima. Namun, ketika tahu bahwa Paul adalah mahasiswa dari Papua, akhirnya sang pemilik indekos menolaknya.
Terpaksa, temannya itu meminta Paul untuk tinggal sementara waktu di indekos miliknya. Untuk pembayaran uang sewa indekos setiap bulan, mereka sepakat patungan. Selama tiga bulan Paul tinggal di sana, Rukun Tetangga (RT) tempat indekos mereka ternyata mempunyai aturan yang melarang mahasiswa Papua tinggal di wiliyah mereka. RT setempat menemui pemilik indekos yang menampung Paul dan temannya, kemudian bertanya: “Mengapa ada mahasiswa Papua di sini?”. Akhirnya, pemilik indekos memanggil Paul beserta temannya itu, bercakap-cakap dengan mereka, lalu menyuruh Paul meninggalkan indekos tersebut.
Paul memilih tinggal di musala kampus, tetapi barang-barang miliknya yang dianggap penting tetap ditaruh di indekos temannya itu. Biasanya Paul baru ke indekos temannya saat hendak mengganti pakaian. Itu pun biasanya dilakukan pada malam hari, karena kalau siang, takut ketahuan warga dan ditegur. Selama tiga bulan di musala kampus, permadani yang terdapat di sana dipakai Paul untuk alas tidur dan tempat tinggal sementara dirinya sembari mencari indekos.
Hingga pada suatu hari, Paul iseng pergi ke Asrama Papua Kamasan I Kusumanegara. Tiba di sana, Paul bertanya-tanya dan mencari kamar kosong. Kebetulan ada satu kamar kosong, akhirnya Paul pindah ke sana sampai sekarang.
* * *
Cerita di atas hanya salah satu pengamalan dari satu orang, belum pengalaman dari kawan-kawan mahasiswa Papua lainnya di Yogyakarta. Sebagai salah satu mahasiswa Papua yang sedang belajar di Yogyakarta, saya rasa ini sudah jelas-jelas merupakan diskriminasi rasial. Sangat disayangkan, kota yang sering disebut sebagai kota budaya, kota pelajar, dan kota istimewa, ternyata masih terdapat praktik-praktik diskriminatif seperti ini. Belakangan, Yogyakarta juga sering disebut-sebut sebagai kota yang masyarakatnya multikultural. Syarat dari masyarakat multikultural yang ideal adalah menunjung tinggi prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan. Namun di Yogyakarta, hal tersebut mulai tercederai karena salah satunya perlakuan diskriminasi rasial yang dialami mahasiswa Papua.
Jelas bahwa penolakan yang dilakukan sebagian masyarakat Yogya, khususnya pemilik indekos, terhadap mahasiswa Papua dipengaruhi oleh pandangan umum yang menganggap mahasiswa Papua pemabuk, pembuat onar, sering tidak membayar uang sewa indekos sesuai tenggat, tidak tertib lalu-lintas, dan seterusnya. Pertanyaannya kemudian, apakah lantas semua mahasiswa Papua berulah demikian? Tentu saja tidak. Tindakan tersebut ialah ulah dari oknum-oknum tertentu dan pemahaman inilah yang agaknya belum ada di sebagian masyarakat Yogyakarta.
Ada satu kecenderungan di sebagian masyarakat Yogyakarta, yaitu menggeneralisasi sesuatu secara terburu-buru cuma berdasarkan pengetahuan atau pengamatan yang minim dan belum valid. Hanya melihat satu atau dua mahasiswa Papua membuat resek, minum–minuman keras, tidak membayar uang sewa indekos sesuai tenggat, langsung berkesimpulan bahwa semua mahasiswa Papua bertipe demikian. Padahal hal itu sangat tidak mungkin dan naif. Setiap orang memiliki kepribadian dan kecenderungan yang berbeda. Bahkan, belum ada hasil penelitian yang menyatakan dua orang kembar dari satu rahim ibu memiliki kesamaan secara utuh, baik fisik maupun psikis.
Masyarakat Yogyakarta, khususnya pemilik indekos, seharusnya mengenali dulu siapa dan bagaimana mahasiswa Papua. Setelah mengenal dengan baik, barulah kemudian mengambil keputusan untuk menerimanya tinggal di indekos atau tidak. Sangat disayangkan apabila pemilik indekos tidak menerima mahasiswa Papua hanya karena pernah mendengar omongan tentang keburukan mahasiswa Papua dari orang lain. Sangat disayangkan pula apabila pemilik indekos tidak menerima mahasiswa Papua hanya karena melihat satu atau dua orang Papua melakukan hal yang tidak menyenangkan.
Editor: Ahmad Yasin