B Ekspresionline.com – Bramantyo Prijo Susilo, seniman kontroversional yang tergabung dalam Bengkel Teater Rendra, kerap terlibat dalam banyak seni kejadian dan pameran. Mulai dari pameran seni Keringat Rakyat, seni Banyu Wayu, seni kejadian Masturbasi Reformasi, dan seni Membanting Macan Kerah. Paling kontroversial, mantan wartawan BBC London ini menciptakan seni kejadian mengenai perkawinan beda alam. Seni kejadian yang berkisah tentang seorang manusia, Kodok Ibnu Sukodok, berkeinginan menikahi peri, Peri Setyowati.
Apa yang ingin Bramantyo sampaikan? Berikut penuturannya kepada reporter EKSPRESI, Andhika Widyawan dan Bayu Hendrawati, dalam wawancara di Sekaralas, Widodaren, Ngawi.
Apa tujuan utama seni kejadian perkawinan beda alam?
Cerita perkawinan beda alam antara Mbah Kodok dengan Peri Setyowati dibuat dalam usaha membuat karya yang menjawab persoalan masyarakat. Seperti masalah lingkungan hidup, terutama di kawasan Sekaralas. Di sini, ada dua mata air yaitu Sendang Ngiyom dan Sendang Margo. Dulunya sendang ini merupakan mata air yang cukup besar tapi kemudian debitnya mengecil.
Persoalan berikutnya, kala itu sedang ramai tentang perkawinan sesama jenis (LGBT). Cerita ini sebagai bentuk komentar terhadap wacana yang sedang terjadi. Kami cuma ingin nyeletuk, bahwa kita secara tradisi, jangankan perkawinan sesama jenis atau perkawinan beda agama, perkawinan beda alam saja ada.
Juga untuk melestarikan mitos di masyarakat?
Sebenarnya bukan untuk melestarikan mitos yang beredar, kami justru membuat mitos baru.
Mengapa harus Mbah Kodok dan Peri Setyawati?
Jadi dikisahkan, ada seorang pria bernama Kodok Ibnu Sukodok yang berusia di atas 60 tahun dan berstatus bujangan, ingin kawin dengan seorang perempuan gaib, yakni seorang peri bernama Setyowati. Dipilihnya tokoh Peri Setyowati karena ada kedekatan dengan masyarakat Ngawi.
Dulu dikisahkan, bahwa pada zaman Majapahit, Brawijaya Pamungkas bersama Sabda Palon dan Naya Genggong melakukan perjalanan dari Ketonggo menuju Gunung Lawu. Nah, kami melakukan penambahan cerita, yakni Setyowati ini merupakan salah satu penderek dari Brawijaya Pamungkas hingga akhirnya Peri Setyowati moksa di Sendang Margo.
Bagaimana respons masyarakat?
Jadi, kami melanjutkan upacara itu karena respons masyarakat sangat positif. Acara yang digelar melibatkan banyak orang karena sebetulnya sangat sedikit seniman di generasi saya yang fokus dengan seni upacara. Contohnya Festival 5 Gunung, seni upacara tetapi tidak fokus pada dampaknya. Sedang kami berusaha untuk melihat dampaknya, salah satunya yaitu setiap selesai acara diupayakan agar tidak ada sampah.
Bagaimana membangun kepercayaan masyarakat pada mitos?
Ini kan memang bukan kepercayaan. Ini adalah bentuk seni. Selayaknya mitos lain yang beredar, semua hanya cerita. Mungkin, sebagian orang benar-benar memercayai mitos-mitos yang beredar. Akan tetapi itu tidak menghilangkan fakta bahwa seni membuat mitos sebetulnya satu seni tradisional yang cukup maju dalam budaya-budaya Nusantara.
Banyak bentuk-bentuk seni yang lain, seperti seni membuat film dan seni membuat patung. Di masyarakat pula, seni membuat mitos sudah mulai punah. Jadi, mitos ini sebagai wahana nilai yang betul-betul diperhitungkan. Dibuat supaya membawa nilai-nilai yang dibutuhkan.
Nilai apa yang ingin disampaikan kepada masyarakat?
Seni kejadian tentang Mbah Kodok rabi peri ini kami buat sebagai seni kejadian berdampak. Setiap hari selalu ada kegiatan di Sendang Ngiyom atau Sendang Margo, baik perawatan maupun penanaman berbagai pohon. Setiap hari cerita ini digarap supaya menjadi semacam upacara. Upacara itu intinya mengumpulkan fokus pikiran dan keikhlasan dari banyak pihak, itulah upacara yang benar.
Upacara yang benar-benar khidmat dan masih terasa magisnya itu kalau semua orang datang dengan ikhlas, dan pada saat mengikuti upacara memainkan perannya dengan sungguh-sungguh. Nilainya itu adalah apa yang dialami orang-orang ketika mengikuti upacara tersebut. Berikutnya, yang ingin diperbaiki dari kondisi masyarakat adalah kebiasaan membuang sampah sembarangan. Seperti yang bisa kita lihat di TV-TV, seusai salat Id, sampah koran berserakan di mana-mana. Jadi, daripada sekadar kesenian yang bermuatan pesan-pesan, rasanya lebih efektif untuk membuat perubahan nilai-nilai dalam kebiasaan yang saat ini sering muncul.
Yang dilakukan agar mitos ini tetap bernilai?
Jadi, setelah perkawinan, Mbah Kodok dan Peri Setyowati kemudian memiliki dua anak yakni Jogo Samudro dan Siti Parwati. Ceritanya, Peri Setyowati ingin dibangunkan keraton. Keraton yang diinginkan wujudnya adalah hutan konservasi yang kokoh secara ekologi, secara kultural, dan secara estetis. Selain itu, juga dilakukan perawatan berkala serta penanaman aneka pohon dan tanaman obat.
Menurut Anda, di mana letak nilai estetika dalam seni kejadian Anda?
Salah satunya dalam penambahan cerita yang dibuat.
Bagaimana bentuk pengembangan cerita yang akan Anda lakukan?
Untuk ke depannya, karena cerita yang kami bangun merupakan seni kejadian berdampak, maka kami melakukan penambahan cerita. Dulunya kan Setyowati ini belum menikah dan akhirnya dia berdiam di Sendang Ngiyom dan Sendang Margo. Diceritakan pula Sabda Palon dan Naya Genggong akan kembali. Kembalinya Sabda Palon dan Naya Genggong akan terjadi bila masyarakat Jawa sudah kembali ke agama Budhi. Narasinya seperti itu.
Nah, kembalinya agama Budhi nanti, tolok ukurnya adalah Bengawan Solo bersih. Semua anak sungai yang menuju Bengawan Solo bersih. Itulah tandanya agama Budhi sudah tumbuh lagi di Jawa dan Sabda Palon serta Naya Genggong akan datang. Untuk datangnya itu kita tambahi cerita, anak Mbah Kodhok (Jogo Samudro dan Siti Parwati) harus mengusahakan bersihnya Bengawan Solo. Jadi kami buat kejadian itu sebagai kejadian berdampak.
Upaya untuk membersihkan Bengawan Solo?
Tindakan selanjutnya, diceritakan anak Mbah Kodok (Jogo Samudro dan Siti Parwati) diperintahkan untuk ngenger (ikut dan belajar) pada Baginda Milir (penguasa Bengawan Solo). Jogo Samudro dan Siti Parwati diharuskan ngenger untuk belajar bagaimana menjadikan Bengawan Solo ini kembali menjadi nadi budaya, kembali bersih. Untuk menandai dimulainya ngenger, mereka diperintahkan untuk membuat sebuah upacara bernama upacara Kebo Ketan yang diikuti dengan pembersihan Sungai Bengawan Solo.
Apa nilai-nilai luhur dalam Upacara Kebo Ketan?
Upacara Kebo Ketan itu adalah pembuatan kerbau dari ketan. Kemudian disembelih lalu dimakan bersama. Pada upacara tersebut akan ada orasi kebudayaan juga. Orasi kebudayaan ini agar seni kejadian ini dijadikan bagian dari peringatan Maulid Nabi. Upacara ini melanjutkan cerita anak Mbah Kodok sekaligus Grebeg Maulid yang dirayakan bersama-sama. Karena Grebeg Maulid yang dari keraton itu seakan sudah kehilangan relevansinya, hanya sebagai pasar malam biasa. Sebagai upacara untuk wahana nilai dan dinamisasi nilai dan struktur itu sudah melempem. Jadi kami akan mengambil alih Grebeg Maulid sekarang agar tidak dilakukan oleh raja, tetapi rakyat biasa.
Upacara itu tidak hanya milik agama tertentu?
Ya, karena upacara itu merupakan satu budaya yang sudah dikembangkan menjadi cukup canggih. Upacara yang masih berjalan di Jawa itu salah satunya adalah bersih desa, tapi itu pun sudah mengalami penyempitan makna. Nilai sakralnya sudah turun dan tujuan untuk mengajak banyak orang sudah makin menghilang. Upacara agama tidak bisa merangkul banyak orang. Sementara upacara seperti bersih desa, dengan banyak proses, sekarang diringkas hanya dengan nanggap wayang.
Perkawinan Mbah Kodok dengan Peri Setyowati dianggap penyimpangan agama. Pendapat Anda?
Kalau pembuatan seni kejadian perkawinan antara Mbah Kodok dengan Peri Setyowati dianggap sebagai bagian dari agama, ya mungkin penyimpangan agama. Akan tetapi, kami kan tidak membuat agama, kami hanya membuat mitos. Ketika menyangkut agama, memang menjadi sedikit sensitif, tapi sebetulnya narasi agama sendiri juga mengandung mitos. Bukan berarti saya mengecilkan artinya dengan mengatakan bahwa narasi agama itu mitos.
Bayu Hendrawati
Tulisan ini kali pertama tayang di majalah EKSPRESI Edisi XXIX November 2016 “Diskriminasi Rasial Pertanahan Yogya”