Ekspresionline.com–Deretan penyedia jasa penukaran uang kecil memenuhi trotoar sepanjang gedung Bank Indonesia (BI) di Titik Nol Kilometer, Malioboro, Yogyakarta, pada Rabu (19/04/2023). Pemandangan tersebut menjadi fenomena yang umum ditemui pada setiap minggu kedua bulan Ramadan sampai menjelang Idul Fitri.
Sesekali penyedia jasa tukar uang menyodorkan uang barunya untuk menarik perhatian pengemudi. Tapi tak jarang juga pengemudi motor maupun mobil berhenti sejenak untuk menukarkan uang dari pecahan besar menjadi pecahan kecil.

Salah seorang penyedia jasa tukar uang, Agus (bukan nama sebenarnya), sudah menekuni pekerjaan insidental tersebut sejak 15 tahun yang lalu. Dalam sebulan, pria berusia 49 tahun itu menyiapkan dana 50-60 juta rupiah untuk ditukarkan menjadi pecahan yang lebih kecil. Dana itu ia tukarkan kepada para pemilik modal, seperti juragan bakpia, sebagai pihak kedua.
“Saya tukarkan pada pihak kedua. Misalnya orang-orang pemilik modal yang sudah menukarkannya di bank jauh-jauh hari sebelum bulan Ramadan,” ujar Agus.

Agus mengaku bisa mendapatkan keuntungan hingga 9-10 juta rupiah dari dana tersebut. Setiap uang pecahan dihitung dalam satuan 100 ribu rupiah, dengan biaya penukaran sekitar 15-25 persen. Menurutnya, keuntungan 9-10 juta merupakan penghasilan paling besar yang bisa ia dapatkan dengan waktu yang cukup singkat.
“Saya jualan [uang] pecahan 60 juta, bisa habis dalam waktu 6 hari. Lumayan daripada [hasil dari] berjualan jajanan di Malioboro, belum tentu mendapatkan penghasilan yang sama,” tuturnya.

Hal yang sama juga dialami oleh Susanto. Warga asli Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta, tersebut mengklaim bahwa dirinya merupakan pelopor dari jasa penukaran uang tersebut. Pria berusia 56 tahun itu mengaku telah memulai usaha ini sejak 20 tahun yang lalu.
“Wah, saya ini jadi pelopor jualan duit di sini. Itu mulainya sekitar 20 tahun yang lalu,” ujarnya dalam bahasa Jawa.

Susanto menuturkan, modal yang digunakannya pada awal menjalani jasa penukaran uang adalah 20 juta. Modal tersebut meningkat, hingga bulan ini mencapai 200 juta. Modal 200 juta tersebut dikelolanya hingga pada menjelang lebaran ia telah menjual pecahan kecil mencapai 1 miliar.
“Kalau bulan ini, saya mulai dari hari ketujuh puasa. Sampai sekarang saya sudah menjual 1 miliar, dengan total keuntungan 20-25 persen,” tuturnya.
Para penjual jasa penukar uang ini menyediakan pecahan uang dengan nominal yang beragam, mulai dari Rp1.000 hingga Rp20.000. Persentase biaya penukaran dari masing-masing pecahan pun berbeda.

Tingkat kebaruan uang juga mempengaruhi persentase biaya. Uang yang baru diluncurkan, misalnya uang dengan emisi Agustus 2022, dapat memiliki dihargai hingga 25 persen per 100 ribu. Artinya, uang tersebut dapat dibandrol hingga 25 ribu per 100 ribu. Hal ini menjadikan uang tersebut memiliki persentase biaya tukar termahal.
Di sisi lain, uang lama dengan nominal Rp1.000, Rp2.000, dan Rp5.000 dihargai 20 ribu per 100 ribu, sedangkan uang dengan nominal Rp10.000 dan Rp20.000 dibandrol dengan harga 15 ribu per 100 ribu.
Selama bertahun-tahun, fenomena jasa penukaran uang ini tidak pernah mendapat protes dari pihak manapun. Namun, pada tahun ini, muncul protes dari Bank Indonesia. Pihak BI merasa terganggu akibat sampah yang tercecer di sepanjang trotoar depan bangunan BI. Akibatnya, pihak BI meminta pemerintah Kecamatan Gondomanan untuk mengadakan pengamanan agar penyedia jasa tukar uang tak beroperasi di sana.

“Setiap jam kerja, BI meminta pengamanan dari kecamatan agar kami enggak jualan di sini,” tutur Sudianto, salah seorang penjaja jasa tukar uang. Namun, pria berusia 40 tahun itu menjelaskan bahwa pengamanan hanya dilakukan dari jam 08.00-10.00 WIB. Alhasil, para penyedia jasa tukar uang akan kembali melapak setelah pengamanan tersebut pergi.
Lokasi di depan gedung BI sudah menjadi tempat para penyedia jasa penukaran uang sedari awal kegiatan ini berlangsung. Mereka tak beroperasi di sepanjang Jalan Malioboro akibat tak mendapatkan izin untuk berjualan di sana. Akhirnya, depan gedung BI pun dipilih, karena dianggap strategis serta jauh dari kerumunan pedagang jajanan dan oleh-oleh.

Hayatun Nufus
Kurator foto: Hayatun Nufus
Editor: Nugrahani Annisa