Ekspresionline.com–Sebelum saya jelaskan mengenai Javanese Pop, saya hendak menceritakan terlebih dahulu pengalaman saya yang melatarbelakangi saya menulis opini ini. Pada suatu saat, saya mengajak makan salah seorang teman saya di salah satu warung makan Indomie (warmindo) di Jogja. Kebetulan teman saya tersebut adalah orang Minang. Ketika kami berdua masih menunggu makanan yang telah kami pesan, speaker musik pada warmindo tersebut memutar salah satu musik bergenre dangdut koplo dengan liriknya yang menggunakan bahasa Jawa.
“Aku mundur alon-alon mergo sadar aku sopo, mung dibutuhno pas atimu loro.” Teman saya tersebut lantas penasaran dengan arti dari lagu yang saat itu juga tengah viral di media sosial. Saya pun mulai menerjemahkan beberapa lirik lagu yang sebelumnya telah kami dengar tersebut.
Teman saya, menanggapi dengan bertanya keheranan, “Mengapa liriknya sangat sederhana?” Dia juga membandingkan dengan lagu-lagu Minang yang liriknya memiliki makna yang mendalam.
Bagi saya, pertanyaan tersebut menarik. Saya yang notabene adalah orang Jawa juga mempertanyakan hal demikian. Selama saya sekolah dan mendapatkan mata pelajaran muatan lokal yaitu Bahasa Jawa, sering diajarkan materi terkait tembang-tembang Macapat dan lainnya. Mulai dari Serat Wulangreh sampai Serat Wedhatama, bahkan juga tembang-tembang dolanan yang lirik-liriknya sangat asing didengar dan sulit dimengerti oleh orang Jawa pada umumnya. Belum lagi, isi kandungannya yang sarat akan nasehat dan pesan moral.
Lantas, mengapa tembang-tembang alias lagu-lagu berbahasa Jawa dewasa ini dibuat dengan lirik sangat sederhana? Mengapa aransemen musiknya cenderung monoton dan berulang? Mengapa pula tema yang diambil menjadi isi lagu tersebut hanya berkutat pada masalah cinta-cintaan? Adapun dugaan yang saya miliki dan hendak saya paparkan adalah karena lagu-lagu yang dimaksudkan itu merupakan produk kebudayaan populer.
Musik dan Lagu Populer
Menurut ahli musik Inggris Simon Frith dalam bukunya The Cambridge Companion to Pop and Rock bahwa musik pop (populer) dibuat untuk urusan komersial, bersifat fana, dan mudah diakses. Musik populer diproduksi sebagai urusan usaha bukan bukan seni. Musik populer datang untuk menarik semua orang dan tidak menunjukkan sesuatu yang khas dengan selera tertentu.
Dengan demikian, tak heran bahwa lagu-lagu populer mengambil tema yang dekat dengan massa dan yang terjadi pada keseharian – tidak lain adalah soal cinta-cintaan – serta dibuat semudah mungkin untuk didengar, diakses, dihafal, dimaknai, dan disukai. Semakin banyak orang dan semakin sering lagu tersebut berseliweran, maka semakin besar pula keuntungan yang akan didapatkan. Karena memang sedari awal motifnya adalah komersial.
Fenomena inilah yang terjadi pada musik dan lagu-lagu Jawa. Seiring dengan berkembangnya kebudayaan populer pada era postmodernisme seperti saat ini, Kebudayaan Jawa juga berkembang ke arah yang lebih populis. Terkhusus untuk seni musik, diawali dengan kemunculan musik pop Jawa yang dipelopori oleh Koes Plus dan musik campursari yang dipelopori oleh Manthous pada dekade 1970-an.
Sifat populis dalam musik Jawa dapat dilihat misalnya dari perkembangan musik campursari yang memasukkan segala jenis aliran musik lainnya seperti keroncong, pop (Barat), dan juga dangdut sebagai pelengkap langgam dan gending Jawa dari alat musik gamelan yang telah diaransemen. Itu semua dilakukan selain untuk merevitalisasi kebudayaan juga memenuhi permintaan pasar. Begitupun aliran Koplo Jawa yang turut menggabungkan unsur pop, rock, bahkan jazz.
Hasilnya bisa dibilang sangat memuaskan. Populasi Suku Jawa yang sebanyak lebih dari 95 juta jiwa, menjadi sasaran pendukung popularitas musik populer Jawa. Baru-baru ini, ChartMasters, website pengolahan data dalam industri musik merilis artis-artis yang memiliki video paling banyak ditonton di tahun 2022. Hasilnya, artis-artis Jawa yang notabene merupakan penyanyi aliran koplo Jawa menduduki peringkat teratas.

Dari data tersebut terlihat deretan artis aliran koplo Jawa seperti Yeni Inka, Happy Asmara, Denny Caknan, dan Farrel Prayoga dapat mengambil hati masyarakat dan mendapatkan popularitas teratas di Indonesia mengalahkan gempuran idol K-pop yang pada tahun-tahun sebelumnya merajai popularitas di YouTube Indonesia. Terkhusus Yeni Inka, pada tahun 2021 dirinya sempat meraih YouTube Chart no. 1 di Indonesia.
Tidak sampai di situ, video musik trending di YouTube yang selalu berubah-ubah tiap minggu bahkan hampir tiap hari tersebut selalu menempatkan video musik pop Jawa dalam urutan teratas. Sebagai contoh pada urutan video musik trending YouTube yang saya ambil pada hari Selasa (14/2/2023) menunjukkan video musik beraliran koplo Jawa dan Campursari menempati urutan 3 dan 4.

Pada urutan data trending yang saya ambil terakhir pada hari Kamis (6/7/2023) alias lima bulan setelahnya, menunjukkan video musik pop Jawa masih dapat bertengger di urutan lima teratas, tepatnya urutan 2 dan 3. Itu artinya popularitas dari lagu-lagu musik pop Jawa sudah mendapatkan hati dari penggemar dengan jumlah yang banyak, sehingga masih mampu bertahan secara konsisten pada urutan teratas.

Kebudayaan Populer Menurut John Storey
Lalu bagaimana fenomena tersebut dapat terjadi? John Storey, seorang Profesor Studi Budaya dan Direktur Pusat Penelitian Media dan Studi Budaya, University of Sunderland dalam bukunya Cultural Theory and Popular Culture: An Introduction menjelaskan bahwa budaya populer adalah budaya yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, serta semua hal yang disukai oleh rakyat. Budaya populer adalah budaya yang bergantung pada media massa.
John Storey membagi kebudayaan menjadi tiga yaitu high culture, low culture, dan popular culture. High culture adalah budaya yang berasal dari orang-orang kelas atas/elit. Orang-orang kelas atas yang dimaksud adalah kaum bangsawan ataupun orang kaya yang notabene memiliki kesempatan berpendidikan tinggi dan menghasilkan budaya dengan pakem-pakem yang sulit dikuasai sembarang orang. Seperti contohnya pertunjukkan opera, ballet, grand orkestra, atau pada budaya Jawa seperti pertunjukkan wayang dan alat musik gamelan, serta tembang, gending, dan langgam yang dinilai adiluhung.
Sedangkan low culture adalah budaya yang lahir dari orang-orang kelas rendah/pekerja. Budaya yang dihasilkan seperti kesenian jalanan, seni bercerita (folk art), dan kesenian populer. Dikarenakan jumlah orang-orang kelas bawah memiliki populasi lebih banyak dari pada kelas elit, sebagian orang mengklasifikasikan kebudayaan populer itu termasuk pada low culture. Didukung juga pada kesamaan ciri dari low culture dan popular culture yang sama-sama memiliki pakem yang tidak saklek dan lebih fleksibel, tidak seperti high culture.
Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa budaya populer dapat naik kelas dan turut dinikmati oleh orang-orang elit. Karena populer tidak terikat pada kelas sosial tapi yang terpenting adalah kuantitas orang yang menyukai dan menyebarkan budaya tersebut. Sebagai contoh kebudayaan populer yang dinikmati orang-orang kelas atas dapat kita lihat saat selepas upacara pengibaran bendera 17 Agustus di Istana Negara tahun lalu. Di situ, penyanyi cilik Farel Prayoga membawakan lagu populer Ojo Dibanding-Bandingke yang disambut goyangan dari para petinggi negara.
Adiluhung atau Populer?
Menurut saya pribadi, keberhasilan musik populer Jawa dalam mengambil pangsa pasarnya di negeri sendiri, patut diapresiasi. Pasalnya, selain berhasil membendung trend musik dari negara asing, ia juga turut mengangkat musik populer Indonesia lainnya terutama yang beraliran dangdut koplo non-Jawa, baik itu yang berbahasa Indonesia maupun dari bahasa daerah lainnya
Jikalau perlu, musik pop Jawa ataupun budaya pop Jawa lainnya harus bisa go internasional agar bisa memberi masukan pada devisa negara. Mengingat, Korean pop saja dapat menjadi penyumbang devisa terbesar untuk Korea Selatan. Belum lagi, mempunyai budaya pop yang mendunia menjadi salah satu syarat suatu negara dikatakan adidaya. Mungkinkah Jawa pop bisa melakukan rebranding menjadi Java pop atau Javanese pop untuk bisa go internasional?
Namun, popularitas budaya Jawa juga memiliki dilema di mana high-culture Jawa yang penuh akan nilai moral itu perlahan akan luntur sedikit demi sedikit digantikan dengan Javanese pop yang memiliki aturan/pakem yang sederhana dan populis. Budaya adiluhung yang artinya bernilai tinggi dan wajib dijaga, pada akhirnya harus menjadi salah satu opsi pilihan dalam persaingan produk budaya bersanding dengan popularitas. Kebudayaan populer menurut John Storey memiliki sifat durabilitas seperti halnya ‘pop’ yang artinya gelembung (bertahan sesaat). Kebudayaan populer tidak memiliki kewajiban untuk dilestarikan dan ia juga bersifat adaptabilitas sesuai dengan perkembangan zaman. Jikalau nantinya Javanese pop yang lebih dipilih oleh masyarakat, maka semakin populer budaya tersebut, semakin tidak adiluhung pula budaya itu.
Citra Widyastoto
Editor: Nugrahani Annisa