Ekspresionline.com
  • Sentra
  • Japat
  • Fokus
    • Analisis Utama
    • Laporan Khusus
    • Telusur
  • Berita
    • Lingkup Kampus
    • Lingkup Nasional
    • Lingkup Jogja
  • Perspektif
    • Ruang
    • Opini
    • Resensi
      • Buku
      • Film
      • Musik
  • Wacana
  • Minor
    • Margin
    • Tepi
  • Sosok
  • Foto
  • Infografik
No Result
View All Result
  • Sentra
  • Japat
  • Fokus
    • Analisis Utama
    • Laporan Khusus
    • Telusur
  • Berita
    • Lingkup Kampus
    • Lingkup Nasional
    • Lingkup Jogja
  • Perspektif
    • Ruang
    • Opini
    • Resensi
      • Buku
      • Film
      • Musik
  • Wacana
  • Minor
    • Margin
    • Tepi
  • Sosok
  • Foto
  • Infografik
No Result
View All Result
Ekspresionline.com
No Result
View All Result
Home Opini

Jurnalis dan Manusia di Tengah Bencana

by Abi Mu'ammar Dzikri
Tuesday, 6 December 2022
7 min read
0
Jurnalis dan Manusia di Tengah Bencana

Ilustrasi oleh Suden/EKSPRESI.

Share on FacebookShare on Twitter

“ … you go out and you see bad things, evil things, and you want to do something about. So, what you do is you take a picture that show that [incident]. But not everybody is gonna like what they see. You have to understand that they might wound to sure the messenger.”

Kevin Carter, 18 April 1994, di sesi wawancara pemenangan Pulitzer Prize.

Ekspresionline.com–Prolog

Kita sorot balik sejenak. Kevin Carter, regu komunitas non-formal, Bang-Bang Club merupakan jurnalis fotografi kenamaan. Rekam jejaknya cukup mentereng. Ia merupakan sedikit dari sekian banyak orang yang berkesempatan menyaksikan—dengan jarak begitu dekat—kebengisan supremasi kulit putih ‘apartheid’ di Afrika Selatan. Dalam hal ini, Kevin bersama tiga regu komunitas lainnya, Greg Marinovich, Joao Silva, dan Ken Oosterbroek, memotret hampir sebagian besar deretan politik apartheid sekurang-kurangnya empat tahun lamanya.

Awal tahun 1993, usai dipecat dari The Star, surat kabar yang membesarkan nama Bang-Bang Club, Kevin melawat ke Sudan. Bersama Joao Silva, ia gunakan lensanya untuk merekam bencana kelaparan yang melanda negara yang terletak di Afrika Utara itu.

Hasil rekaman paling sohor ialah foto lanskapnya yang bertajuk The Vulture and The Little Girl. Lanskap itu menggambarkan gadis kecil tengah berjongkok merintih kelaparan di tengah gurun. Malang bagi sang gadis. Di belakangnya, seekor burung nazar menatap tajam seolah-olah siap menerkam, menuggu sang gadis menemui ajalnya.

The Vulture and The Little Girl (1994)/Flickr.com

Foto itulah yang mengantarkan Kevin menggondol penghargaan paling prestisius bagi jurnalis di AS, Pulitzer Prize. Namun bukan bahagia yang Kevin beroleh. The Vulture and The Little Girl mungkin jadi momok pamungkas yang menuntunnya pada kematian. Pada akhir Juli 1994, ia memarkir mobilnya di tengah taman, memasang selang dari pipa knalpot ke mobilnya, lantas bunuh diri menghirup karbon monoksida.

Sewaktu presentase kemenangannya menyabet Pulitzer Prize pada Maret 1993, ia dicecar banyak pertanyaan oleh awak media. Sebagian menanyakan nasib gadis dalam bingkai fotonya, sebagian lainnya menanyakan naluri kemanusiaan Kevin. Ia buntu. Bukan hanya tak tahu kudu menimpali bagaimana, melainkan bayang-bayang “kematian” dan “pembunuhan” sepanjang hidupnya, ikutan menyemburatkan pikirannya. Ia baru tahu bahwa selama ini, yang dilakukannya hanyalah sekadar memfoto, membingkai, dan menaruhnya di sampul surat kabar.

Sementara di depan matanya, ia melihat tragedi yang sangat jelas. Di Afrika Selatan, ia menjumpai orang-orang kulit hitam dibacok, dirajam, dipenggal kepalanya, dan ditembaki. Di Sudan, perjumpaannya pada bencana kelaparan yang melanda, mengantarkannya pada sang gadis dan burung nazar. Memang, ia dan Bang-Bang Club merupakan jurnalis yang getol memfoto “insiden”. Namun di akhir hidupnya, Kevin menyesal bahwa selama itu pula, dirinya cuma memanfaatkan “insiden” demi materialisme pribadi. Sesekali menjadi penonton tanpa melakukan satu aksi yang pasti.

Tragedi yang Kevin alami perlu direfleksi mendalam. Jurnalisme dan kemanusiaan di tengah bencana adalah problem kompleks. Sebagai jurnalis, Kevin dituntut mematuhi kode etik yang mengharuskan dirinya tak ikut campur—menjadi bagian—dalam segala polemik di foto atau beritanya. Namun karena ia manusia, pandangannya terhadap sadisme, keberpihakan politis, merasa bersalah, dan hasrat menolong manusia lain yang dirundung derita, acap kali menghantuinya. Tak ayal ia amat stres dengan rentetan “kematian” dan “pembunuhan” serta sisi kemanusiaannya dipertanyakan banyak orang.

Mendongkrak Jurnalisme Materialis

Sebagai intermeso, babakan ini mencoba mengupas perspektif jurnalisme di tengah bencana, khususnya Cianjur. Bencana gempa darat yang meratakan rumah dan bangunan lainnya dengan tanah. Lebih dari itu, ia merenggut ratusan nyawa manusia. Malapetaka tak pernah dimau menimpa tanpa tanda-tanda. Belasungkawa saya aturkan sedalam mungkin bagi setiap korban.

Menjadi jurnalis di tengah bencana bukan perkara gampang. Mestinya, ia bijak di laku-laku informasinya. Jangan salah, itu mestinya. Sedang yang dilakukan kerap sebaliknya.

Saya sering menjumpai praktik-praktik jurnalisme macam Kevin dan Bang-Bang Club. Mengorek seeksploitatif mungkin suatu bencana. Kemudian, mereka raup materi dari informasi bencana yang ditampilkannya. Lebih-lebih memperlakukan sang penutur informasi sebagai objek—bukan subjek.

Bak kultur yang normal, setiap kali ada bencana maka di situlah ada jurnalis. Dalam anggapan jurnalis materialis, bencana itu ibarat gula dan ia semutnya. Maka ketika bencana terjadi, mereka berbondong-bondong mendatangi TKP dan dengan sergap memungut informasi yang manis itu.

Kedatangan mereka pasti punya maksud, bisa jadi menambang informasi atau antek materialisme. Maksud pertama, informasi diibaratkan suatu materi yang dapat diekskavasi sampai habis, seperti energi mineral dan batu bara. Tujuannya ada di maksud yang kedua. Informasi yang ditambang itu, disulapnya menjadi berita demi mendulang pundi-pundi rekeningnya. Tak cukup di situ, ia penuhi kantong-kantong pemegang modal media tempatnya memproduksi berita.

Seperti di Cianjur, seorang kawan bertutur, ia kerap menjumpai para jurnalis hilir mudik di sekeliling tenda dan fasilitas darurat peruntukan korban gempa. Tak jarang dari mereka juga masuk ke dalam tenda, mewawancarai korban satu persatu dan menjajaki traumanya. Padahal, trauma itu baru saja memacak psike para korban yang belum pulih dari histerianya.

Mereka tak pernah mengindahkan hal-hal sentimental seperti itu. Di tempurung kepalanya, hanya atensi berupa “klik” dan adsense yang dikejar.

Sementara kesedihan, luka, kehilangan, dan kematian para korban dikemas setekstual dan seaudiovisual mungkin. Dalihnya, “rintihanmu bakal didengar dunia”. Boroknya, jurnalis materialis melupakan aspek empati yang tak dibawakannya dalam berita. Berita dibungkus tanpa perasaan, mengabaikan sisi-sisi kemanusiaan atau meliyankan para korban.

Seringkali, usai menambang informasi, mereka langsung bedol entah ke mana. Mungkin sesegera mungkin memproduksinya agar tak keduluan saingan seprofesi lainnya. Jarang dari mereka yang melebur dengan para korban, menghapus jurang pemisah profesi, perbedaan, agama, keyakinan, materi, dll.

Sementara menyitir memoar kawan di Cianjur, ada ketimpangan yang cukup jelas antara jurnalis materialis dan jurnalis (berhaluan) korban. Kebanyakan dari mereka datang meliput dibersamai konglomerat dan politisi. Bahkan sampai ada yang numpang di balik ketiak keduanya dengan menjadi cecunguk (dibaca: humas), yang khusus memberitakan “baik-baiknya” mereka belaka.

Konglomerat dan politisi ditampilkan “seherois” mungkin. Mereka digambarkan serupa jelmaan mesias yang “turun” di tengah tragedi bencana. Moda utamanya berupa ragam bantuan yang digelontorkan dalam skala besar. Sasarannya jelas, partisan populisme berkedok bantuan. Bantuan-bantuan itu dicapnya sebagai solusi paling meyakinkan pasca-bencana.

Problem ini pernah disinggung oleh Scott Bessenecker dalam bukunya yang berjudul Overturning Tables: Freeing Missions from the Christian-Industrial Complex (2014). Ia menyesalkan praktik-praktik heroisme dengan nama Tuhan (Yesus) yang dijalankan dengan asas materialis.

Bessenecker berpendapat, misi yang dibawa para pemegang modal—yang disimbolkan “mesias”—semata-mata demi kepentingan perut. Polanya macam investasi citra legitimatif dengan memanfaatkan objek yang dituju (biasanya populis). Kelak, objek-objek itu digunakan sebagai sarana industrialisasi atau kepentingan politiknya saja.

Sekalipun sosok paling kentara di situ adalah konglomerat dan politisi, tetapi jurnalis materialis pun sama-sama busuknya. Mereka tahu bahwa praktik pragmatisme dominan sedang digencarkan oleh bos-bos besarnya. Namun seakan pura-pura buta, mereka senantiasa mengais dan merongrong pendapatan dari mereka. Uang dan materi dipandang sebagai kebutuhan paling final, membelakangi nurani dan empati.

Sedangkan sosok lainnya, jurnalis korban, berapa jumlah yang hadir di Cianjur? Berapa jurnalis-jurnalis yang mau berbagi ranjang, makan sepiring, bermain bersama, serta saling berderma suka dan duka dengan para korban? Berapa jurnalis-jurnalis yang menyadari bahwa berita yang ia produksi, sama sekali tak memberikan solusi nyata terhadap korban? “Bisa dihitung jari” mungkin istilah yang bisa dipilih untuk menggambarkan lapangan.

Menjadi Jurnalis dan Manusia

Saya percaya bahwa dalam nurani kecil jurnalis, naluri kemanusiaan sekecil apa pun pasti muncul. Apalagi dihadapkan pada situasi bencana yang carut mengkarut. Saya pun berpikir bahwa jurnalis begitu naif. Seakan-akan, mereka harus menjunjung tinggi profesionalitas—termasuk kode etik—sampai harus abai terhadap jati dirinya, manusia.

Akan tetapi, bagian yang perlu disayat adalah cara mereka memaknai korban bencana. Termasuk framing penempatan manusia, subjek merdeka dan berdikari atau seonggok daging yang “terobjektifikasi”.

Ketika menyajikan informasi di media, mereka punya peran membangun realitas fakta di lapangan. Betul bahwa fakta bisa didapat dari mana saja. Namun, bagaimana fakta itu diproyeksikan? Apakah interpretasi atau “seni memilah” faktanya berorientasi kemanusiaan?

Kendati bukan solusi absolut, prinsip jurnalisme damai perlu jadi pertimbangan. Jurnalisme damai bukan berarti bahwa jurnalis dimaknai sebagai sang juru damai macam diplomat. Tugas jurnalis bukan membawa misi perdamaian, sebab kewajibannya adalah memproduksi lantas mempublikasikan informasi kepada publik. Membebankan misi perdamaian atau kemanusiaan kepada jurnalis saya rasa terlalu berlebihan. Walakin jika sangkil, dengan teramat takzim saya angkat topi kepada siapa pun yang mampu melakukannya.

Di dalam jurnalisme damai, keberpihakan jurnalis patut diuji. Paham ini mengharuskan jurnalis melihat manusia dalam perspektif lebih luas.

Johan Galtung dalam “Violence, peace and peace research” (1969) melihat ada kesalahan konkret dari framing yang mendominasi media. Dalam konteks ini, Galtung dalam tulisannya berusaha mengkritisi para agen jurnalisme propaganda perang yang memantati perdamaian.

Menurutnya, media-media yang dijumpainya melakukan kesalahan fatal, yakni kedapatan memelihara konflik. Orientasi beritanya bertumpu pada kekerasan yang melihat muara perang adalah persoalan “menang dan kalah”. Sementara itu, informasi media yang berkelindan sarat propaganda, agitasi, condong membingkai borjuasi penguasa, dan meminggirkan proletariat.

Senada dengan Galtung, bagi saya, jurnalisme damai berusaha mendongkrak kecacatan perspektif media. Tidak hanya asas faktual yang diusung, tetapi juga keberpihakan pada warga, khususnya memberikan ruang bagi kaum marginal. Jurnalisme hanya hadir sebagai perantara, tetapi warga-lah sang aktor utamanya.

Selain mengenal jurnalisme damai, konsep alternatif menjadi manusia dan jurnalis dapat dilihat dari pendekatannya membaurkan diri dengan warga. Konsep ini menitik beratkan aspek keintiman manusia. Dengan berbaur, warga tak dianggap sebagai objek liyan yang cuma dirangsek ruang kemanusiaannya. Afdalnya, jurnalis punya upaya “menjadi warga”, dengan logika dan perasaan yang setara menyikapi bencana.

Tidak semua informasi yang disampaikan jurnalis ke publik membuat audiensi legawa. Seperti Kevin dalam penuturannya, bahwa foto-foto yang dipublikasikannya lekat kontroversi. Kevin justru merasa bersalah lantaran dirinya tak dapat memosisikan diri—sebagai jurnalis dan manusia sekaligus—dan malah membuat audiensi terluka hatinya. Bahkan terlampau intim dari itu, melukai subjek-subjek yang “terobjektifikasi” di fotonya.

Bencana tidak dapat dimaknai sebagai satu fenomena yang jauh dari jurnalis. Terlebih-lebih pula, menganggap dirinya sebatas pembawa pesan sampai lupa jika ia adalah manusia. Jurnalis harus memiliki misi kemanusiaan dan bukan berlagak misionaris. Artinya, mereka dilarang memberitakan penguasa dan adikuasa modal sebagai “sang Juru Selamat”. Sementara itu, memaknai jurnalis hanya dalam koridor pembawa pesan dan misionaris adalah pemikiran yang sempit dan dungu.

Sumber:

Bessenecker, Scott. (2014). Overturning Tables: Freeing Missions from the Christian-Industrial Complex. Westmont: InterVarsity Press.

Galtung, J., (1969) “Violence, peace and peace research”. Journal of Peace Research, Vol. 6 (3), pp. 167-191.

Silver, Steven. (2010). The Bang-Bang Club. Kanada: Toronto International Film Festival.

Abi Mu’ammar Dzikri

Indeks Tulisan:
1. Kolonialisme Bantuan: Volunterisme Arus Utama dan Kapitalisasi Bencana
2. Jurnalis dan Manusia di Tengah Bencana
3. Wisata Gempa
Previous Post

Kolonialisme Bantuan: Volunterisme Arus Utama dan Kapitalisasi Bencana

Next Post

Insecurity: Sebab Ketidakmampuan Manusia dalam Hidup

Related Posts

Farid Gaban: Saya Melihat Banyak Konsep Pembangunan Kita Keliru

Farid Gaban: Saya Melihat Banyak Konsep Pembangunan Kita Keliru

Thursday, 3 September 2020
Daftar Hitam Jurnalisme Arab Saudi

Daftar Hitam Jurnalisme Arab Saudi

Friday, 26 October 2018
Next Post
Insecurity: Sebab Ketidakmampuan Manusia dalam Hidup

Insecurity: Sebab Ketidakmampuan Manusia dalam Hidup

Ekspresionline.com

© 2022 Lembaga Pers Mahasiswa EKSPRESI UNY

Navigate Site

  • KONTRIBUSI
  • IKLAN
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • TENTANG KAMI
  • HUBUNGI KAMI

Follow Us

No Result
View All Result
  • Sentra
  • Japat
  • Fokus
    • Analisis Utama
    • Laporan Khusus
    • Telusur
  • Berita
    • Lingkup Kampus
    • Lingkup Nasional
    • Lingkup Jogja
  • Perspektif
    • Ruang
    • Opini
    • Resensi
      • Buku
      • Film
      • Musik
  • Wacana
  • Minor
    • Margin
    • Tepi
  • Sosok
  • Foto
  • Infografik

© 2022 Lembaga Pers Mahasiswa EKSPRESI UNY