Ekspresionline.com–Warisan telah sampai di rumahnya ketika suara azan isya mulai berkumandang di masjid-masjid yang berada di Desa Gumuk Candi, Kecamatan Songgon, Banyuwangi. Ia baru saja selesai berkebun seharian dan memberi makan hewan ternak. Selain rasa lelah, ia juga pulang membawa perasaan gelisah.
Ia telah mendengar kabar dari tetangga bahwa desa kelahirannya, Pakel, yang terletak di sebelah utara Desa Gumuk Candi, telah diserbu tadi pagi. Penyerbuan itu dilakukan oleh polisi dengan jumlah ratusan, tepat di hari kemerdekaan.
Kamis, 17 Agustus 2000, puluhan pria dewasa di Desa Pakel ditangkap dan dibawa ke Polres Banyuwangi, sementara yang lainnya melarikan diri.
“Dek, saya mau lari, bagaimana?” tanya Warisan kepada istrinya. Ia berniat melarikan diri.
“Kamu mau lari kemana, kita nggak punya uang,” jawab sang istri.
Warisan akhirnya berencana untuk kabur ke hutan. Ketika malam telah larut dan keadaan desa sudah sangat sepi, ia akan pergi seorang diri. Di hutan tak perlu uang. Ia bisa mencari makan di sana secara cuma-cuma, cukup dengan membawa senapan, parang, dan korek api.
Setelah selesai membersihkan badan dan bersalin pakaian, Warisan merebahkan badan di atas ranjang. Ia ingin beristirahat sejenak untuk mengisi tenaganya sebelum melarikan diri nanti. Sejak pukul delapan malam, Warisan sudah terlelap.
Jam baru menunjukkan pukul sembilan, tetapi sang istri sudah membangunkannya. Ada tamu yang datang. Ia pun bangkit dari ranjang dengan badan yang masih lemas karena kelelahan.
Tiga orang polisi tanpa seragam dan satu orang dengan penutup wajah telah menunggu di ruang depan. Warisan tahu mereka polisi dengan mengenali ciri-cirinya: berbadan kekar dan berambut cepak. Namun, ia tidak tahu siapa orang yang memakai penutup wajah itu.
Warisan cukup kaget. Ia tahu bahwa polisi akan datang menangkapnya, tapi tidak sedini ini. Ia memperkirakan baru esok hari polisi akan datang mencarinya. Perkiraannya ternyata meleset. Rencana pelariannya pun gagal total.
Para polisi itu mengajak Warisan pergi ke Polsek Songgon untuk diperiksa. Kata mereka, tidak akan sampai dipenjarakan. Warisan pun tidak menolak apalagi melawan. Warisan pasrah, jika memang bersalah, ia tidak takut akan hukuman, bahkan sekalipun itu hukuman mati.
Dengan menggunakan sepeda motor, Warisan dibonceng dengan posisi diapit oleh kedua polisi itu. Sementara itu, polisi satunya berboncengan dengan orang yang memakai penutup kepala.
Jarak dari rumahnya ke Polsek Songgon tidak terlalu jauh, hanya sekitar dua kilometer. Akan tetapi malam itu, polisi menyetir motor dengan sangat lambat. Sepanjang perjalanan, Warisan dipukuli habis-habisan oleh polisi yang duduk di belakangnya. Kepalanya dihantam berkali-kali dengan kepalan tangan polisi itu.
Setibanya di Polsek Songgon, kedua tangan Warisan langsung diborgol, sementara wajahnya sudah babak belur. Di polsek ia melihat ada empat warga Songgon yang sudah lebih dulu diringkus. Mereka semua, termasuk Warisan, ditangkap karena terlibat aksi penebangan di wilayah hutan Pakel yang diklaim milik Perhutani KPH Banyuwangi Barat pada dua hari sebelumnya.
Sekitar dua belas jam sebelum Warisan ditangkap, Susilo Raharjo sedang bermain di hutan sebelah selatan Jalan Raya Pakel, Dusun Durenan. Ia biasa dipanggil Nyos oleh orang-orang di desa karena mulutnya susah sekali untuk diam, nyerocos terus. Nyerocos disingkat menjadi Nyos. Saat itu, usianya 17 tahun.
Ketika melihat rombongan belasan truk polisi melintas di Dusun Durenan pagi itu, pada mulanya Nyos merasa senang. Sehari sebelumnya, para polisi berjanji akan mengabulkan permintaan warga untuk membebaskan tiga warga Pakel yang telah ditahan seminggu sebelumnya.
Ia ingin menyambut ketiga orang tersebut. Dari Dusun Durenan, yang merupakan dusun paling timur di Pakel, Nyos berlari mengikuti rombongan truk tersebut. Nyos kaget bukan main karena ternyata truk-truk itu berhenti bukan untuk membebaskan ketiga warga yang sebelumnya ditahan, tetapi justru menurunkan ratusan polisi bersenjata lengkap. Secara serampangan, mereka mulai menangkapi satu per satu pria lalu digelandang masuk ke dalam truk.
Nyos juga melihat rumah Sahlan, tetangganya, didobrak oleh polisi. Saat itu, Sahlan sedang tiduran sambil menonton televisi di ruang depan. Seketika itu juga, Sahlan ditendang, dipukul, dan ditarik paksa masuk, ke dalam truk.
Tahu bahwa dirinya juga terancam akan ditangkap, Nyos pun bersembunyi di sebuah warung yang terletak di pinggir jalan. Di situ, Ia menyamar jadi penjaga warung. Ketika polisi datang membeli rokok dan minuman, ia sempat dicurigai.
“Kamu tidak ikut bakar-bakaran, kan?” tanya polisi itu dengan penuh curiga.
“Tidak, Pak, saya kan masih sekolah,” jawab Nyos berkilah, sambil menahan rasa takutnya.
Ketika polisi sudah pergi, Nyos langsung lari ke hutan dengan penuh kepanikan.
Mulham, yang juga merupakan tetangga Nyos lainnya di Dusun Durenan, pagi itu, baru saja selesai mandi. Hanya mengenakan sarung dan bertelanjang dada. Sempak yang ingin ia pakai masih digenggam di tangan kirinya. Acara televisi pada pagi itu membuatnya menunda untuk mengenakan celana dalam.
Brak…. pintu rumah Mulham tiba-tiba didobrak oleh seorang polisi. Ia yang saat itu duduk tepat di samping pintu pun terperanjat.
“Angkat tangan! Jangan bergerak!” teriak polisi itu, sambil menempelkan pistol tepat di atas telinga kirinya.
Mulham pun angkat tangan. Ia diseret keluar rumah sambil ditendangi badannya, lalu digelandang ke dalam truk. Mulham belum juga sempat berpakaian. Ia masih mengenakan sarung, bertelanjang dada, sambil menggenggam sempak di tangan kirinya.
Sepanjang Jalan Raya Pakel, polisi terus menangkapi para pria yang rumahnya berada di tepi jalan.
Aksi penangkapan yang dilakukan aparat kepolisian di hari kemerdekaan itu pun usai. Rombongan polisi itu sempat berhenti di terminal desa yang berada di Dusun Taman Glugo, sebelum akhirnya sekitar jam sebelas siang, mereka berputar balik menuju ke Polres Banyuwangi.
***
Tepat 75 tahun sebelum hari penangkapan itu, atau 20 tahun sebelum Indonesia merdeka, pada 1925, sesepuh Desa Pakel telah mengajukan surat permohonan izin membuka lahan di hutan Sengkan-Kandang dan Kaseran di Kecamatan Kabat (sekarang Pakel masuk wilayah Kecamatan Licin), kepada Pemerintah Hindia Belanda. Doelgani-lah yang saat itu menghadap Bupati Banyuwangi R.A.A.M Achmad Notohadi Suryo untuk meminta izin tersebut.
Empat tahun setelahnya, 11 Januari 1929, permohonan warga Pakel pun dikabulkan oleh Bupati. Lahan seluas 3000 hektare, yang berada di hutan Sengkan-Kandang dan Kaseran, telah diizinkan untuk digarap oleh para Warga Pakel, melalui terbitnya surat Acte Van Verwizing. Warga menyebutnya Akta 29.
Baru tiga bulan membuka lahan di hutan tersebut, Asisten Wedono Kabat, pembantu camat pada zaman Pemerintahan Hindia Belanda, datang ke Pakel bersama polisi lalu tiba-tiba merampas Akta 29 itu dari warga.
“Tiga hari lagi saya akan periksa ini surat”, kata Asisten Wedono kepada para warga Pakel. Ia berdalih ingin memeriksa lagi batas dan luas hutan, apakah sudah sesuai dengan jumlah penduduknya atau tidak. Namun, ia tidak mengatakan kapan bakal mengembalikan akta tersebut.
Setelah melewati waktu yang dijanjikan, Asisten Wedono tak juga memberikan kejelasan. Doelgani dan beberapa warga lain akhirnya mendatangi Kantor Wedono yang terletak di Rogojampi. Mereka meminta kejelasan dan pengembalian akta tersebut. Namun, Wedono tidak mau memberikannya, dengan alasan belum ditandatangani oleh Kepala Kantor Boswezen, Dinas Kehutanan Karesidenan Besuki era Pemerintahan Belanda.
Setelah tidak ada kejelasan dari Kantor Wedono, wargapun muak. Mereka akhirnya memilih untuk melakukan aksi pendudukan serta melanjutkan babat alas.
Pada 8 Januari 1930, belasan warga Pakel ditangkap dan diperiksa oleh Kontrolir Banyuwangi–pengawas yang kedudukannya di bawah asisten residen. Berdasarkan Soerat Memorie yang ditulis oleh Mr. Tjan Gwan Kie, pendamping hukum warga Pakel pada waktu itu, Kontrolir Banyuwangi menangkap warga dengan tujuan ingin memeriksa peta-peta di Akta 29.
Hasilnya, Kontrolir Banyuwangi menetapkan bahwa seluruh hutan Sengkan-Kandang dan Kaseran masuk dalam perizinan Akta 29. Asisten Wedono dipersalahkan karena telah merampasnya dari warga.
Kontrolir Banyuwangi akhirnya menyuruh para warga Pakel untuk pulang dan melanjutkan babat alas. Ia berjanji beberapa hari mendatang Pemerintah Hindia Belanda bakal mengembalikan Akta 29 kepada warga.
Lagi-lagi warga Pakel merasa tertipu sebab yang dijanjikan oleh kontrolir ternyata tidak juga dipenuhi. Akta 29 tak kunjung mereka terima. Demi tetap bisa bertahan hidup, warga Pakel pun tetap melanjutkan penggarapan lahan hutan Sengkan-Kandang dan Keseran serta mendirikan pondok-pondok pertanian.
Aksi babat alas yang dilakukan itu justru membuat warga Pakel kerap mendapat intimidasi dan kriminalisasi dari Pemerintah Hindia Belanda. Puluhan warga kerap dipenjarakan tanpa proses pengadilan. Mereka dituduh telah melakukan aksi komunisme, tanpa dasar yang jelas.
Di tengah-tengah banyaknya penangkapan tersebut, Doelgani dan beberapa warga lainnya memilih untuk tetap menagih kejelasan dari pemerintah. Mereka pergi mondar-mandir ke beberapa kantor pemerintahan.
Di kantor Boswezen yang ada di Malang, Doelgani dan warga lain tidak mendapat jawaban apapun. Beberapa waktu kemudian, mereka datang ke Kantor Karesidenan Besuki di Situbondo, tetapi tak juga mendapat kejelasan. Mereka juga sudah mendatangi Kantor Gubernur Jawa Timur di Surabaya dan Kantor Gubernur Jenderal yang ada di Jakarta. Namun, tuntutannya tak juga dipenuhi.
Perjuangan warga Pakel dalam menuntut haknya berlanjut di era Pemerintahan Kolonial Jepang. Warga Pakel bersama Mr. Tjan dan Notohadi Suryo, mantan Bupati Banyuwangi yang menerbitkan Akta 29, kembali melaporkan kasus sengketa tanah tersebut kepada Syutyokan (jabatan setara Residen Besuki di zaman kolonial Jepang) pada 9 April 1943. Namun, karena ada dua bom milik sekutu yang jatuh di Banyuwangi, Syutyokan tidak bisa melanjutkan penindakan atas laporan tersebut.
Selepas Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, keadaan pun tidak berubah. Beberapa kali warga Pakel mendatangi kantor pemerintahan untuk memperjuangkan hak mereka, tetapi hasilnya tetap nihil. Mereka tidak juga mendapatkan hak tanahnya.
Pada 1960, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Sebuah regulasi yang mengatur tentang dasar-dasar dan ketentuan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria untuk kepentingan rakyat. Akan tetapi, undang-undang tersebut ternyata tidak juga membuat warga Pakel mendapatkan hak atas tanahnya.
Bahkan, di masa-masa awal UUPA diberlakukan, Perhutani, yang baru dibentuk pada 1961, mengklaim sepihak lahan hutan Sengkan-Kandang seluas 716,5 hektare. Sementara itu, sebagian lainnya, yakni seluas 262 hektare, juga diklaim sepihak oleh Perkebunan Pagoda–sekarang telah berganti nama menjadi PT Perkebunan Bumi Sari.
Lima tahun setelah berlakunya UUPA, meletuslah sebuah peristiwa genosida di Indonesia pada 1965. Peristiwa tersebut membuat warga Pakel bungkam dan tidak berani menggarap lahan hutan Sengkan-Kandang dan Keseran, karena takut dicap sebagai anggota PKI.
***
Ahmad Sajidi masih menjadi santri setingkat SMP di pesantren Manba’ul Falah Kedungliwung, Banyuwangi, pada 1998. Pada suatu pagi di bulan Desember tahun itu, ia kebetulan sedang berada di rumahnya yang terletak di Dusun Pakel. Ketika Sajidi sedang ngobrol dengan teman-temannya di ruang depan, tiba-tiba datang tiga orang berbadan tegap, besar, dan berambut cepak.
“Dek, Pak Slamet-nya ada?”, tanya salah satu polisi itu ke Sajidi.
“Bapak sedang berada di kebun,” jawab Sajidi.
Ketiga orang itu pun lantas meminta Sajidi untuk mengantarkannya ke lokasi keberadaan Mohammad Slamet. Sajidi pun langsung mengantarkan ketiga orang itu, sebab ia mengira mereka hanya tamu biasa.
“Pak, ini ada tamu,” ujar Sajidi kepada bapaknya, sambil menoleh ke arah tiga orang tadi, yang berdiri di belakangnya.
Ketiga orang tersebut ternyata adalah anggota polisi. Slamet tiba-tiba diajak ke Polsek Songgon oleh mereka. Karena merasa tidak bersalah, ia pun mengiyakan ajakan itu, tanpa melawan sedikitpun. Katanya, Slamet hanya akan diperiksa sebentar, nanti siang atau sore bakal dipulangkan.
Karena melihat sikap bapaknya yang biasa saja ketika ditangkap, Sajidi tidak bertindak apapun.
Waktu pun berjalan, jam demi jam berlalu. Ketika siang hari tiba, Slamet belum sampai di rumah. Sajidi masih menunggu. Masih ada sore hari, pikirnya, seperti yang dikatakan oleh para polisi tadi pagi. Namun sayangnya, hingga malam datang, bapaknya tak kunjung pulang.
Sejak hari penangkapan itu hingga tiga bulan setelahnya, Slamet tak juga dipulangkan ke rumah. Ia ternyata telah mendekam di penjara.
Lima tahun sebelum hari penangkapan itu, Slamet dan warga pakel lainnya memulai kembali perjuangan merebut hak atas tanah mereka, setelah sekian tahun sebelumnya mereka bungkam karena meletuskan peristiwa genosida 1965.
Di awal ‘90an, tepatnya pada 25 Januari 1993, Slamet sebagai perwakilan warga Pakel, mengirim surat kepada Direktur Pengurusan Hak-hak atas Tanah di kantor BPN Pusat, Jakarta. Suratnya berisi aduan tentang permasalahan sengketa lahan di Pakel. Namun, setelah beberapa bulan berlalu, surat itu tidak kunjung ditanggapi.
Pada tahun-tahun berikutnya, selama Soeharto masih menjadi Presiden, Slamet terus mengirimkan surat-surat ke pemerintah Indonesia. Ada surat untuk Presiden, Wakil Presiden, Menteri Kehutanan, Kepala BPN Pusat, Jaksa Agung, dan Ketua DPR/MPR RI. Sayangnya, semua surat tersebut bernasib sama: tidak menemui titik terang. Sengketa lahan di Desa Pakel masih berlanjut, sementara warga, tak kunjung mendapatkan hak atas tanahnya.
Sejak saat itu, selain terus mengirimi pemerintah dengan surat-surat, warga kembali melanjutkan aksi pendudukan lahan dengan bercocok tanam. Mereka menanam cabai, kacang, sayur, dan jagung, di bawah pepohonan milik Perhutani. Lahan-lahan inilah yang membuat banyak warga Pakel memperoleh kesejahteraan yang layak dengan menjadi petani, bukan buruh. Aksi tersebut berlanjut hingga memasuki era reformasi.
Tiga bulan pasca Soeharto turun dari kekuasaannya, selain tetap melakukan aksi pendudukan lahan, warga juga menggelar demonstrasi di jalanan. Tepatnya pada Jumat pagi, 3 September 1998, sekitar pukul delapan, ribuan warga Pakel membentangkan spanduk bertuliskan “Tanah Ini Bukan Milik Perhutani” dan “Kembalikan Tanah Ini Kepada Rakyat” di sepanjang Jalan Raya Pakel.
Usai pasang spanduk, warga mulai memasuki wilayah Perhutani yang telah diduduki sejak 1993. Parang dan kapak mulai berdetak. Satu per satu pohon mahoni dan pinus ditebangi. Aksi tersebut baru selesai menjelang jumatan.
Warga terus melakukan aksi penebangan hingga sepuluh hari setelahnya. Dalam rentang waktu itu, ratusan pohon mahoni dan pinus, di atas lahan seluas sebelas hektare, tumbang bergelimpangan. Aksi penebangan itu berlanjut dalam skala kecil hingga dua bulan kemudian.
Buntut dari aksi tersebut, pada 2 Desember 1998, terbitlah surat perintah penangkapan dari bupati bernomor 590/581/439.013/1998. Surat itu ditujukan kepada Polres Banyuwangi untuk menangkap beberapa warga Pakel dengan dalih pengendalian situasi. Slamet termasuk di antara mereka yang ditangkap saat itu.
***
Senin malam, 14 Agustus 2000, puluhan warga duduk bersila membentuk beberapa lingkaran sambil memejamkan mata dan berpegangan tangan. Nyos termasuk salah satu di dalamnya. Mereka tengah menggelar ritual “pengisian” di masjid dekat rumah Slamet di Dusun Durenan. Ritual tersebut dilakukan untuk mempersiapkan aksi pada keesokan harinya.
Sebelum melakukan ritual, Nyos telah meminum air yang sudah “dibacakan” doa-doa oleh seorang Kyai. Setelah itu, Nyos memejamkan mata. Sang Kyai yang berada di tengah-tengah puluhan warga kemudian membacakan doa-doa dan mantra untuk mengisi tubuh Nyos dan warga lainnya dengan kekuatan supranatural.
Setengah jam berlalu, ritual pengisian pun usai. Setelah itu waktunya pembuktian. Sang Kyai akan mencoba menebas tubuh Nyos beberapa kali dengan sebuah pedang.
“Apa kamu yakin?” tanya si Kyai kepada Nyos.
“Aku yakin. Ini demi perjuangan,” Jawab Nyos dengan yakin.
Sebuah pedang sepanjang 1,75 meter ditarik keluar dari sarungnya oleh si Kyai. Nyos membuka baju. Perut Nyos pun ditebas. Sekali, dua kali, sampai tiga kali tebasan. Tidak terjadi apa-apa; perut Nyos tidak mengeluarkan darah sama sekali, apalagi terbelah. Ia juga mengaku tidak merasakan sakit.
Seminggu sebelum ritual itu digelar, tiga warga Pakel yaitu Muasin, Mansam, dan Amani, ditangkap polisi atas laporan dari Perhutani.
Suwarno dan beberapa warga Pakel lain menghampiri kantor Perhutani KPH Banyuwangi Barat cabang BKPH Rogojampi, yang terletak di Desa Lemahbangdewo, Kecamatan Rogojampi. Mereka menuntut Perhutani untuk segera membebaskan ketiga warga itu.
“Segera bebaskan ketiga warga kami!” tuntut Suwarno kepada seorang karyawan Perhutani yang menghampirinya di depan kantor.
“Ketiga orang itu, bukan wewenang kami untuk membebaskannya. Itu wewenang polisi,” jawab si karyawan kepada Suwarno dan beberapa warga lainnya.
Beberapa hari setelahnya, tanaman warga Desa Gumuk Candi dirusak. Cabai, kacang, dan jagung yang berada di lahan sengketa telah hancur. Hal itu membuat mereka semakin geram terhadap Perhutani.
Pagi hari setelah malam ritual “pengisian” itu, sekitar pukul delapan, ribuan warga berkumpul di Dusun Durenan. Mereka tidak hanya berasal dari Desa Pakel tetapi juga banyak dari desa lain seperti Gumuk Candi, Kluncing, Songgon, Macan Putih, Sigobang, dan lainnya.
Beberapa ember besar berisi air, yang telah “dibacakan” doa, ditaruh di sekitaran rumah Slamet. Mereka pun secara bergantian menyiduk air dari ember-ember tersebut lalu meminumnya dengan gelas.
Satu jam kemudian, dengan membawa parang dan kapak, ribuan warga beranjak menuju hutan yang tengah dikuasai sepihak oleh Perhutani. Tiga truk pengangkut kayu milik Perhutani terlihat terparkir ketika mereka sampai di sana. Supir dan para pekerja penebang serta pengangkut kayu lari ketakutan ketika melihat ada ribuan warga datang berbondong-bondong.
Tanpa banyak cincong, warga langsung melakukan aksi penebangan. Berhektare-hektare pohon pinus dan mahoni digasak oleh mereka. Sama seperti aksi yang pernah dilakukan pada dua tahun sebelumnya.
Sementara itu, Nyos dan beberapa warga melihat ada jeriken berisi solar berukuran 30 liter di dekat truk-truk itu. Nyos pun langsung mengambil dan menyiramkannya ke dalam tiga truk itu, tepat di jok supir. Korek gas yang berada di sakunya, ia nyalakan. Nyos pun mencoba langsung membakar truk-truk itu, dimulai dari jok supir.
“Kok tidak nyala-nyala ya. Kenapa lama sekali ini terbakarnya,“ gumam Nyos, ketika mengetahui bahwa solar tidak sama seperti bensin, yang cepat terbakar. Butuh sekitar setengah jam lamanya untuk membuat ketiga truk itu terbakar habis.
Belum puas membakar truk, Nyos pindah ke gudang penyimpanan getah pinus milik Perhutani. Kali ini ia pergi sendirian, berniat membakarnya juga. Nyos sama sekali tidak memiliki rasa takut waktu itu, yang ada hanyalah amarah. Ia geram kepada Perhutani yang telah menguasai ratusan hektare tanah warga Pakel. Membuat banyak keluarga, termasuk keluarganya, tidak memiliki tanah untuk digarap. Akibatnya, Nyos jadi tidak bisa melanjutkan sekolah sebab orang tuanya tidak sanggup membiayai.
Di dalam gudang, Nyos mengambil segumpal getah pinus yang telah kering, lalu membakarnya. Setelah terbakar, ia melemparkannya ke dalam sebuah tong penuh berisi getah pinus. Hanya dalam hitungan menit, satu tong yang dibakar Nyos merembet ke tong-tong yang lain.
Nyos pun berlari keluar. Sebuah bukit kecil di dekat gudang menjadi tujuan Nyos selanjutnya. Di tengah jalan menuju puncak bukit, letusan demi letusan dari tong-tong yang dibakarnya tadi terdengar bersahutan di telinga Nyos.
Setibanya di puncak bukit, Nyos menyaksikan kobaran api setinggi sekitar 100 meter membakar habis gudang penyimpanan getah pinus itu. Hatinya, diselimuti perasaan lega, sebab amarahnya terhadap Perhutani yang tertahan selama bertahun-tahun, akhirnya terlampiaskan.
Sekitar jam empat sore, Nyos pulang ke rumah, sendirian. Semenjak pergi membakar gudang, ia sudah memisahkan diri dengan ribuan warga lainnya.
Keesokan harinya, di jam yang sama pula, ribuan warga kembali menggelar aksi serupa: menebangi pohon-pohon milik Perhutani.
Saat jam istirahat tiba, warga beristirahat di Nongkoan. Sebuah wilayah hutan yang banyak ditumbuhi pohon nangka. Mereka menyantap bekal yang dibawanya dari rumah. Ada yang membawa nasi bungkus, singkong, jagung, dan kopi.
Mulham waktu itu tidak membawa bekal. Namun beberapa warga lain mau berbagi makanan dengannya. Mereka pun menikmati makan siang bersama.
Belum habis nasi yang mereka santap, ratusan polisi bersenjata, berperisai, lengkap dengan helm, tiba-tiba datang. Para polisi itu membentuk sebuah barisan guna menghadang warga. Jarak antara warga dan polisi sekitar seratus meter.
Bukannya mundur, amarah warga malah semakin membuncah. Mulham melempar nasi yang belum habis dimakannya ke tanah. Lalu dengan segera ia mengangkat parang miliknya dan diacungkan ke atas.
“Allahu Akbar!” teriak Mulham dan ribuan warga lainnya.
Tiba-tiba, letusan senjata terdengar bersahut-sahutan. Gas air mata bertebar dengan cepat, menutupi pandangan setiap orang. Peluru memberondong ke segala arah, membabi buta. Semua terkejut.
Sebutir peluru melesat, menancap di kaki kiri Mulham. Namun ia tidak sadar telah tertembak, apalagi merasa kesakitan Mulham hanya merasa pahanya lengket dan merah berlumur darah. Pikirnya, darah yang keluar deras dari paha kaki kirinya itu berasal dari goresan bambu yang ditancapkan untuk menyangga pohon cabai.
Mulham pun segera dibopong lalu dibawa oleh beberapa warga menggunakan mobil jeep milik Perhutani yang terparkir di jalan pinggiran hutan. Mobil itu melaju cepat menuju puskesmas
Setibanya Mulham di sana, seorang mantri segera membawanya ke ruang pemeriksaan. Beberapa warga yang mengantarnya menunggu di luar.
Dengan peralatannya, sang mantri segera melakukan tindakan. Paha Mulham dibersihkan darahnya, lalu disilet hingga lukanya terbuka. Butiran besi terbelah dua yang menancap di paha Mulham diambil menggunakan pipet. Ditaruh di sebuah mangkuk besi dan di bawa ke tempat lain.
Bekas tembakan di pahanya hanya diperban. Tidak dijahit. Setengah jam berlalu. Mulham masih tidak merasakan rasa sakit. Ia kemudian dibawa pulang oleh beberapa warga lainnya kembali ke desa.
Sementara itu, ribuan warga yang masih berada di hutan Perhutani, tengah berunding dengan pihak kepolisian. Polisi meminta warga untuk bubar. Warga mengiyakan tetapi dengan syarat ketiga warga yang ditangkap seminggu sebelumnya harus dibebaskan secepatnya. Kalau tidak, warga akan terus melakukan aksi penebangan pohon. Polisi pun mengiyakan permintaan itu.
“Warga, sekarang juga harus bubar. Besok (17 Agustus 2000), kami akan melepaskan ketiga orang tersebut,” kata seorang polisi.
Warga pun menghentikan aksinya pada hari itu. Sekitar jam dua siang, warga membubarkan diri dan kembali ke desa.
***
Kamis, 17 Agustus 2000, sekitar pukul sebelas siang, puluhan pria yang ditangkap, termasuk Mulham, telah tiba di Polres Banyuwangi. Saat itu, Mulham masih bertelanjang dada sambil memegang sempak di tangan kirinya.
Setibanya di sana, mereka dipaksa berjalan jongkok, dari parkiran ke halaman depan Polres yang jaraknya sekitar seratus meter. Sambil jalan jongkok, mereka disambut para polisi dengan tendangan dan pukulan menggunakan popor senjata.
Warga pun dijemur di halaman polres. Mereka disuruh duduk bersila. Waktu itu matahari sedang terik-teriknya. Waktu itu matahari sedang terik-teriknya. Mulham sempat meminta izin untuk mengenakan sempaknya.
“Pak, boleh saya pakai sempak sebentar?” pinta Mulham kepada polisi yang berdiri di depannya.
“Tidak boleh!” bentak seorang polisi itu sambil menendang Mulham.
Mulham pun diam. Tidak melawan. Di tengah terik matahani itu, hanya sehelai sarung yang menempel di tubuhnya. Bertelanjang dada dan masih juga menggenggam sempaknya.
Tak lama kemudian, warga disuruh berdiri dalam posisi “istirahat di tempat”. Di posisi itu, mereka kembali dihajar habis-habisan. Ditendang kakinya, dipukul perutnya, dihantam wajahnya. Banyak warga yang sudah tidak jelas bentuk mukanya.
Ketika hari menjelang sore, warga disuruh masuk ke dalam aula. Lalu, satu per satu dari mereka dipanggil masuk ke sebuah ruangan untuk proses penyidikan.
Tibalah waktunya Mulham. Di dalam ruang penyidikan, sudah ada dua polisi yang siap mencecar Mulham dengan berbagai pertanyaan. Ia pun duduk dengan tangan yang masih menggenggam sempak. Ia disidik dengan kondisi bertelanjang dada, hanya mengenakan sarung.
“Apa benar saudara Mulham bertani di wilayah Perhutani?” kata penyidik memulai pertanyaan.
“Tidak Pak,” jawab Mulham. “Saya kan bertani di wilayah Pakel. Tidak ada Perhutani di wilayah Pakel,” gumamnya.
“Apa benar saudara Mulham mencuri pohon milik Perhutani seperti pinus, mahoni, dan damar?” desak si penyidik.
“Tidak Pak,” jawab Mulham kembali. “Saya kan hanya menebangi, tidak saya bawa pulang atau jual,” pikirnya.
Jawaban Mulham membuat salah satu penyidik naik pitam. Penyidik itu telah mengepalkan tangan dan siap menghantam wajah Mulham.
“Silahkan saja tonjok, Pak. Apa yang saya katakan itu benar,” kata Mulham menanggapi kepalan tangan itu.
“Saudara Mulham kalau tidak mau mengaku, akan saya tembak,” ancam penyidik itu, ketika gertakan kepalan tangan tadi tidak mempan.
“Silahkan tembak. bapak nanya sama saya, sudah saya jawab yang sebenar-benarnya. Kalau bapak tembak, terus saya mati, sama saja, toh besok-besok saya juga akan mati. Silakan kalau berani tembak,” tantang Mulham dengan berani sambil menatap mata si penyidik.
Pertanyaan demi pertanyaan pun kembali dilontarkan. Proses penyidikan Mulham baru kelar sekitar satu jam kemudian. Ia pun keluar dan kembali duduk di aula bersama warga lainnya.
Malam telah larut, lantai aula polres yang berbahan keramik membuat kulit siapapun yang menyentuhnya akan merasa kedinginan. Apalagi bulan Agustus adalah fase puncaknya kemarau pada waktu itu. Siang teramat terik, sementara malam, suhu udara akan berbalik menjadi sangat dingin.
Tubuh Mulham pun menggigil kedinginan. Ia kembali meminta izin kepada polisi untuk mengenakan sempaknya. Lagi-lagi, permintaannya ditolak. Bahkan, kemudian ia dipaksa bertelanjang bulat.
“Saudara Mulham harus telanjang. Tidak boleh pakai sarung,” paksa polisi itu sambil merampas sarung dan sempak Mulham.
Selain kedinginan, Mulham juga merasa sangat malu. Selama dua hari dua malam berikutnya, Mulham sama sekali tidak mengenakan pakaian. Tak ada sehelai kain pun yang menutupi tubuhnya. Baru setelah tiga hari di polres, Mulham dibolehkan mengenakan pakaian.
Keesokan harinya, warga desa lain, yang juga ditangkap dan sebelumnya ditahan di Polsek daerah masing-masing, tiba di polres. Di antara belasan orang itu, ada Warisan. Kedua tangannya diborgol. Wajahnya sudah babak belur ketika menginjakan kaki di aula polres. Ia habis dipukuli di Polsek Songgon.
Namun, itu baru di Polsek Songgon. Polres Banyuwangi belum mendapatkan jatah memukuli belasan orang itu. Mereka pun disuruh maju ke depan aula. Warisan dan belasan orang lainnya kembali disikat dengan kepalan tangan maupun tendangan kaki oleh para polisi di depan puluhan warga Pakel. Mereka seolah dijadikan tontonan dan hiburan oleh aparat kepolisian pada pagi itu.
Hari menjelang siang. Kini, tiba giliran Warisan dipanggil masuk ke ruang penyidikan. Ia berjalan sempoyongan. Kedua matanya telah bonyok sehingga pandangannya pun berbayang. Dua polisi yang menyeret Warisan ke ruang penyidikan, dilihatnya berjumlah empat.
Di dalam ruang penyidikan, selain soal aksi yang dilakukan warga pada dua hari sebelumnya, Warisan juga ditanyai soal ancaman pembunuhan.
“Saudara Warisan, apakah anda pernah ingin membunuh petugas Perhutani?” tuduh si penyidik.
Pertanyaan itu membuat Warisan teringat kejadian beberapa hari sebelum aksi penebangan. Saat itu, ada seorang petugas Perhutani yang tiba-tiba menghampirinya dan melontarkan beberapa pertanyaan. Emosinya sempat terpancing karena adu cekcok dengan si petugas. Namun, tidak ada kata-kata yang mengarah pada ancaman pembunuhan yang keluar dari mulut Warisan saat itu.
Oleh karena itu, Warisan tidak mengakui tuduhan dari penyidik. Setelah itu, pertanyaan demi pertanyaan yang tidak jauh berbeda dengan apa yang ditanyakan penyidik ke Mulham pada malam sebelumnya, juga ditanyakan ke Warisan. Satu pertanyaan, satu pukulan. Mau benar atau salah, Warisan tetap dipukul.
Setelah semua warga selesai disidik, mereka ditempatkan di sel-sel tahanan yang ada di polres. Dua puluh satu hari lamanya para warga Pakel ditahan di sana. Selama itu pula, warga sangat menderita.
Setiap hari pasti ada satu atau dua polisi yang tiba-tiba masuk ke sel, memukuli tahanan sampai bonyok. Selain itu, waktu yang diberikan kepada warga untuk ke kamar mandi, juga sangat terbatas, yaitu pukul tujuh pagi dan empat sore. Selain di dua waktu itu, para tahanan dilarang keluar. Jika kebelet, mereka terpaksa harus buang air kecil di dalam botol, atau buang air besar di kresek.
***
Malam hari setelah peristiwa penangkapan itu, suara tembakan yang bersahutan di Desa Pakel, terdengar nyaring di telinga Aminatun. Ibu yang sedang hamil muda itu menjadi ketakutan. Ia pun menangis di dalam kamar sambil memeluk erat Sri Maryati, anak pertamanya yang waktu itu baru duduk di bangku kelas dua SD.
Saat itu,suami Aminatun sedang bersembunyi di dalam hutan bersama ribuan pria lainnya, yang juga terpaksa meninggalkan anak-istri di rumah.
Di depan rumah Aminatun, ada puluhan orang tak dikenal, mengenakan baju biasa, yang menembakkan senjata yang mengarah ke udara. Mereka semua sedang mencari suami Aminatun yang bernama Suwarno.
“Suwarno, keluar kamu. Kalau tidak, rumah kamu akan kami tembaki,” teriak orang-orang itu. .
Teriakan mereka terdengar hingga ke kamar Aminatun, tetapi ia memilih berdiam diri, tidak berani keluar. Ia tidak tahu hutan sebelah mana suaminya bersembunyi. Kalau pun tahu, ia tidak akan memberitahu ke orang-orang itu. Sebesar apapun ancamannya. Aminatun sudah pasrah kalaupun bakal ditembak mati oleh mereka.
Pagi hari sebelumnya, ketika peristiwa penangkapan terjadi, Aminatun dan beberapa ibu-ibu lainnya sedang berada dalam perjalanan menuju desa sebelah untuk menghadiri acara tujuh bulanan kelahiran seorang bayi. Di tengah jalan, mereka disusul oleh seorang warga, yang lantas memberitahunya bahwa di Pakel telah terjadi penangkapan besar-besaran. Mereka pun berbalik arah, berlari kembali ke desa
Di sepanjang Jalan Raya Pakel Aminatun melihat banyak anak-anak dan ibu-ibu menangis di pinggir jalan. Para polisi pergi membawa ayah dan suami mereka. Ia pun gelisah memikirkan bagaimana nasib suaminya.
Ketika sampai di rumah, tetangganya memberitahu bahwa Suwarno berhasil melarikan diri ke hutan bersama yang lain. Hatinya pun lega.
Sementara itu, Siti Sugiyati, anak tetangga Aminatun yang saat itu baru lulus SD, sedang berada di sawah milik pamannya di Desa Macan Putih, ketika rombongan truk polisi datang. Ia sempat melihat rombongan truk itu menuju Pakel.
Siti baru pulang dari sawah pamannya sekitar jam empat sore. Sesampainya di rumah ia melihat ibunya menangis seorang diri.
“Ibu kenapa? Bapak kemana?” tanya Siti yang kebingungan melihat kondisi ibunya.
“Nanti kalau ada orang yang menanyakan Bapak di mana, kamu jawab saja ‘Bapak sudah meninggal’”, jawab Ibunya. Sama halnya seperti suami Aminatun, bapaknya Siti juga pergi bersembunyi di hutan.
Malam harinya, ketika ada orang-orang yang bersenjata datang mengepung rumah Aminatun, Siti dan ibunya pergi ke hutan, membawakan pakaian ganti serta bekal makanan buat sang ayah. Butuh waktu sekitar 45 menit untuk bisa menemukan lokasi persembunyian itu.
Setibanya di lokasi persembunyian, leher Siti tiba-tiba dikalungi sebuah celurit oleh seseorang yang terlihat panik. Ia kaget, takut bukan main, lalu menangis. Orang yang mengalungi leher Siti itu sedang bertugas berjaga.Beberapa saat kemudian ia baru baru sadah bahwa mereka ternyata bukan musuh.
Siti dan Ibunya pun diantarkan ke tempat persembunyian Di sana, sudah ada ratusan pria yang sedang duduk dengan tatapan siap siaga. Mereka duduk beralaskan dedaunan dan beratap pepohonan. Nyos pada malam itu juga ada di sana, ikut bersembunyi bersama warga lainnya.
Ibunya Nyos juga datang menghampiri membawakan makanan dan minuman. Supaya Nyos tidak kedinginan, sang ibu juga membawakan sebuah sarung. Waktu melarikan diri ke hutan, Nyos hanya memakai sandal jepit dan sesetel pakaian yang melekat di tubuhnya. Terlebih saat itu adalah masa-masa puncak kemarau. Siang hari matahari menyengat begitu terik, sementara ketika malam tiba suhu udara akan membuat tubuh siapapun menggigil kedinginan.
“Jangan keluar. Di desa masih banyak polisi. Kamu hati-hati,” kata ibunya Nyos mewanti-wanti anaknya.
Sejak saat itu, di malam-malam selanjutnya Ibu-ibu lainnya pun melakukan hal serupa; menjenguk suami mereka di hutan persembunyian.
Sementara itu, sebagian ibu-ibu lainnya, harus rela ditinggalkan para suami dan anak mereka pergi ke luar kota untuk melarikan diri. Susiati salah satunya. Ia beserta anaknya ditinggalkan sang suami melarikan diri ke Bali selama berbulan-bulan. Mereka pun kesulitan menghidupi diri sebab suaminya tak bisa mengirimkan uang selama masa pelarian.
Ladang yang sebelumnya diperjuangkan oleh Susiati dan warga Pakel lainnya, telah dirampas kembali oleh Perhutani. Tanaman-tanam warga dan pondok-pondok pertanian telah dihancurkan. Setelah hari penangkapan itu, tidak ada satupun warga yang berani kembali menduduki lahan dan bercocok tanam.
Sementara itu lahan warisan dari orang tua suami Susiati, saat itu sedang disewakan. Susiati juga tidak bisa bekerja sebagai buruh tani. Waktu itu, usia anaknya baru sekitar tiga tahun, sehingga membuatnya sulit untuk menyisihkan waktu untuk bekerja.
Setiap hari Susiati hanya makan sekali. Itupun hanya dengan rebusan singkong, ubi, talas, atau tanaman umbi-umbian lain. Semuanya berasal dari tegalan milik orang tuanya. Sementara itu, sang anak makan nasi dari beras yang stoknya sudah menipis. Kadang dicampur kecap, garam, atau santan.
Susiati pun sampai rela menjual semua ayamnya demi menghidupi diri dan anaknya. Dari penjualan tersebut ia belikan beras, sementara sisanya untuk membeli susu, serta segala keperluan anaknya. Begitu seterusnya, selama berbulan-bulan, sampai ayamnya habis.
***
Setelah tiga hari tiga malam berada di hutan, hari berikutnya, Nyos pergi meninggalkan Pakel bersama beberapa warga lainnya. Pada mulanya ia pergi ke Ketapang, tempat saudaranya. Nyos ke sana berjalan kaki, jaraknya sekitar 30 kilometer dari Pakel, sehingga memakan waktu cukup lama: sekitar satu minggu lebih. Ia tidak berani naik angkot, sebab semua kendaraan umum waktu itu dipantau oleh polisi.Jika ketahuan ada pria asal Pakel di dalamnya, akan ditangkap.
Sementara itu, sebagian warga lainnya memilih tetap berada di hutan, sambil menunggu kondisi desa aman dari kepungan polisi. Selain takut, mereka juga tidak meninggalkan hutan karena sama sekali kehabisan uang.
Setelah beberapa hari di Ketapang, ada orang-orang tak dikenal yang datang ke rumah saudara Nyos untuk menanyakan tentangnya. Sejak saat itu, Nyos merasa tidak aman. Ia kemudian pindah ke Pondok pesantrennya Sajidi, Manba’ul Falah Kedungliwung, yang terletak di daerah Kecamatan Singojuruh. Kali ini, ia diantarkan saudaranya menggunakan sepeda motor.
Tiga bulan lamanya Nyos bersembunyi di pesantren itu. Mengikuti segala aktivitas di sana, alias menjadi santri. Namun, dalam rentang waktu itu, Nyos masih juga merasa tidak aman. Masih ada orang-orang yang kerap mencarinya.
Di bulan ketiga, Nyos memutuskan untuk pergi ke Surabaya. Ia meminta kiriman uang kepada orang tuanya sebanyak Rp200.000 sebagai ongkos. Uang itu dikirimkan orang tua Nyos melalui Sajidi.
Di Surabaya, Nyos untuk sementara waktu tinggal bersama kakak dari salah satu tetangganya sambil mencari indekos dan pekerjaan. Setelah seminggu tinggal di sana, Nyos akhirnya mendapatkan tempat tinggal sewa. Akan tetapi ia belum juga mendapatkan pekerjaan, sementara Ia harus tetap membayar biaya kos yang perbulannya mencapai 25 ribu. Belum lagi untuk makan sehari-hari. Uang kiriman orang tuanya pun kian hari kian menipis.
Tiga bulan setelahnya, Nyos baru mendapatkan pekerjaan di sebuah pabrik mebel kecil. Namun, hanya lima bulan Nyos bekerja di sana. Ia dipecat karena suatu hari ia pernah izin tidak masuk kerja lantaran sakit.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Nyos pun bekerja sebagai buruh serabutan. Selama tiga tahun lamanya, ia menghabiskan waktu di Surabaya, melakukan pekerjaan apapun yang ia bisa. Kadang sebagai buruh bangunan, kadang jadi kuli panggul di pasar, sesekali menjadi kuli angkut di toko cat. Bayaran dari setiap pekerjaannya tidak seberapa, hanya cukup untuk makan dan bayar sewa indekos.
***
Beberapa minggu setelah peristiwa penangkapan itu, pada suatu malam di awal bulan September 2000, Sajidi pulang dari pesantren ke rumahnya mengendarai sepeda motor. Di perjalanan, setelah melewati hutan Perhutani dan mulai memasuki Dusun Durenan, Sajidi merasakan suasana asing
Sajidi tiba di Pakel sekitar pukul delapan malam. Seharusnya di jam-jam itu, pintu rumah-rumah warga masih terbuka, pikirnya. Dari jalanan, biasanya masih banyak terlihat warga yang duduk-duduk di teras rumahnya. Pos-pos ronda di pinggir jalan harusnya diisi oleh sekumpulan pria yang berjaga, entah sambil main remi, ataupun sekadar ngopi santai. Ia sadar, malam itu, tidak seperti malam-malam ketika Sajidi pulang ke rumah beberapa bulan lalu.
Sesampainya di rumah, ketika pintu depan dibuka, Sajidi disambut oleh isak tangis ibunya. Sambil sesenggukan, ibunya mengatakan bahwa sang ayah kembali ditangkap oleh polisi, bersama puluhan warga lainnya. Sementara pria dewasa sisanya berhasil melarikan diri. Saat itu, Desa Pakel hanya menyisakan ibu-ibu anak-anak. Sajidi merasa bahwa Pakel telah menjadi “Kampung Janda”.
Reza Egis
Reporter: Reza Egis
Editor: Fadli Muhammad