Ekspresionline.com–“Penerbit perguruan tinggi (university press) pada prinsipnya merupakan “noble industry,” yaitu sebuah industri yang bertujuan memuliakan manusia, meningkatkan kualitas hidupnya, yang dikelola para pekerja pengetahuan (knowledge worker),” tulis Yoseph Yapi Taum, kini Ketua Asosiasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia (APPTI) korwil Jateng-DIY dalam sebuah dokumen. Dokumen ini dipresentasikan saat musyawarah kerja wilayah (mukerwil) APPTI Jateng-DIY di Tegal pada Agustus lalu.
Dalam dokumen tersebut, Yoseph menambahkan bahwa penerbit perguruan tinggi harusnya menjadi barometer kemajuan ilmu pengetahuan. Penerbit perguruan tinggi diharapnya menjadi center of excellence dan berguna untuk mendongkrak martabat universitas.
Akan tetapi, di Indonesia, penerbit perguruan tinggi masih jauh dari yang dicita-citakan Yoseph. Pria yang juga menjabat Kepala Sanata Dharma University Press (SDU Press) itu merasakan kesulitan dalam mengelola penerbit yang dibawahi universitas. Umumnya, kata Yoseph, permasalahan penerbit perguruan tinggi adalah modal cekak, SDM kurang, dan susah menembus pasar yang lebih luas.
“Saya kadang-kadang sampai putus asa kayak Jokowi. Perguruan-perguruan tinggi kita ini kok melempem,” kata Yoseph kala ditemui di kantor SDU Press, Rabu (4/9/2019).
Silang Sengkarut Pengelolaan
Di lingkup APPTI Jateng-DIY, Yoseph mengaku bahwa dia menemui problem profesionalisme kelola yang cukup fundamental. “Dilihat dari struktur, kedudukan, dan fungsi dari university press di masing-masing perguruan tinggi itu beda-beda. Itu saja sudah kacau,” ucapnya.
Kata dia, di lingkup Jateng-DIY, ada penerbit yang dibawahi yayasan, menjadi badan layanan umum (BLU), di bawah rektorat sebagai lembaga sendiri, di bawah Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM), di bawah Wakil Rektor (WR) I bidang akademik, bahkan ada yang di bawah WR IV bidang kerja sama.
Hal senada diutarakan Bambang Trimansyah, aktivis perbukuan sekaligus Ketua Institut Penulis Indonesia. Sebagai aktivis perbukuan yang berkecimpung sejak 1991, ia menilai kebanyakan penerbit perguruan tinggi tidak dikelola dengan baik.
Bambang menggarisbawahi bahwa mayoritas penerbit perguruan tinggi punya problem permodalan, profesionalisme, dan kemampuan berbisnis. Menurutnya, sekalipun punya sumber daya dosen-peneliti yang sanggup membuat karya ilmiah mumpuni, keluarannya akan buruk jika tidak dikelola secara profesional.
“Soal lain adalah soal manajemen karena mungkin saja pimpinan penerbit perguruan tinggi yang terpilih justru orang yang tidak mengerti perbukuan. Berbeda halnya dengan penerbit-penerbit perguruan tinggi di luar negeri, para pemimpinnya adalah orang-orang mumpuni di bidang penerbitan buku,” lanjutnya via surel.
Silang sengkarut struktur tersebut ditambahi dengan minimnya SDM di penerbit perguruan tinggi. Berdasarkan reportase Ekspresi, kebanyakan penerbit perguruan tinggi mengandalkan pekerja lepas (freelance) untuk menjalankan penerbitnya. Sedangkan staf penuh waktu hanya berjumlah 2-3 orang termasuk pimpinan.
Di lingkup Yogyakarta, penerbit perguruan tinggi dengan struktur paling gemuk adalah UGM Press. Penerbit ini dikelola oleh 37 staf termasuk pimpinan. Pada April lalu, penerbit ini diganjar Anugerah Buku ASEAN kategori institut riset/universitas.
Tata kelola penerbit yang berdiri sejak 1971 ini pun dikenal cukup profesional di kancah penerbit perguruan tinggi. Awal tahun ini, UGM Press mulai merintis tata kelola berbasis sistem informasi agar lebih efisien. Hal tersebut dikemukakan oleh Direktur UGM Press, I Wayan Mustika.
Namun, ketika ditanya soal profesionalisme kelola mayoritas penerbit perguruan tinggi, I Wayan Mustika enggan menjawab banyak. Ia menyatakan, dari sisi proses dan keluaran, kebanyakan penerbit perguruan tinggi relatif sama.
“Apa yang membedakan? Inputnya. Di UGM banyak penulis aktif, ada penulis yang punya tulisan laris di pasaran; itu sebagai modal awal kita membangun penerbitan yang baik,” kata dia saat ditemui di kantor UGM Press, Kamis (26/9/2019).
UGM Press sendiri dijadikan koordinator bidang pengembangan SDM dan organisasi di APPTI korwil Jateng-DIY. Hal tersebut termaktub dalam Kesepakatan Kaliurang, hasil konferensi penerbit perguruan tinggi lingkup Jateng-DIY pada November 2014.
Konferensi tersebut merupakan upaya APPTI untuk mengatasi carut-marut tata kelola penerbit perguruan tinggi. Dalam dokumen Kesepakatan Kaliurang yang diterima Ekspresi, APPTI korwil Jateng-DIY menjanjkan asistensi ke penerbit yang belum punya kapabilitas dan pengalaman.
APPTI membuat serangkaian program prioritas mulai tahun 2015. Program-program kerja sama tersebut meliputi empat bidang, yaitu pengembangan SDM dan organisasi; pengembangan bisnis; humas, publikasi, CSR, dan kerja sama; serta penelitian dan pengembangan. Program-program tersebut ditujukan untuk mengatasi problem profesionalisme kelola yang, menurut Yoseph Yapi Taum, masih menjadi “PR besar”.
Ditinggalkan Subsidi, tetapi Gamang Bersulih Fungsi
Umumnya, kebanyakan penerbit perguruan tinggi didirikan untuk keperluan internal. Ia menjadi unit penunjang yang disubsidi untuk menerbitkan bahan ajar. Adhe Ma’ruf, aktivis perbukuan sekaligus pendiri Penerbit Octopus, menilai bahwa hal tersebut menyebabkan banyak penerbit perguruan tinggi tidak dikelola secara serius.
“Dari dulu, [penerbit perguruan tinggi] nyaris tidak merasa perlu bersinggungan dengan pasar secara serius menurutku. Karena mereka hidup dari subsidi kampus itu sendiri,” katanya di O.TH Library, Rabu (7/8/2019).
Seiring perkembangan zaman, subsidi penerbitan bahan ajar mulai ditinggalkan perguruan tinggi. Pasalnya, dosen sudah tidak mencetak diktat atau modul ke penerbit, tapi membaginya dalam bentuk dokumen elektronik atau meminta mahasiswa mencetaknya. Subsidi buku ajar kuliah dan buku pesanan pun mulai ditinggalkan perguruan tinggi.
Penerbit perguruan tinggi dipaksa beralih peran dari penerbit buku kuliah bersubsidi menjadi penerbit mandiri. Menanggapi perkembangan tersebut, sejumlah penerbit mulai bersulih fungsi. UGM Press, SDU Press, dan UII Pres misalnya. Mereka mulai menggantungkan keberlanjutan finansial lewat buku ajar yang dijual bebas, serta menambah koleksi monograf dan buku referensi.
Salah satu penerbit yang baru beranjak dari penerbitan bersubsidi adalah UNY Press. Shendy Amalia, manajer UNY Press, menuturkan bahwa kini pihaknya sudah tidak disubsidi untuk menerbitkan buku kuliah. UNY kini mengedarkan buku elektronik (e-book) pegangan mata kuliah umum (MKU) dalam format CD.
Sebelumnya, subsidi penerbitan buku ajar MKU dan pesanan seperti buku wisuda adalah sumber pendapatan utama UNY Press. Program tersebut membuat UNY Press mampu mencetak secara offset dan ada kepastian diserap pasar.
Penerbitan buku ajar—termasuk untuk MKU—mencapai 90% dari keseluruhan terbitan UNY Press. Tanpa subsidi, pemasaran mandiri dan kerja sama penerbitan dengan dosen atau perguruan tinggi lain menjadi sumber pendapatan UNY Press sekarang. Namun di sisi lain, Shendy mengaku bahwa minat pasar terhadap buku ajar cenderung berkurang. “Sekarang mahasiswa frekuensi beli buku ajar jarang. Tapi kalau buku yang sesuai passion sering,” tuturnya di Plaza UNY, Rabu (2/10/2019).
Tak Punya Taring di Pasar Buku
Dalam dokumen yang diterima Ekspresi, Yoseph Yapi Taum menulis bahwa pangsa pasar penerbit perguruan tinggi tergolong sempit, terbatas di kalangan akademisi. Di bidang pemasaran, buku terbitan perguruan tinggi umumnya berkategori very slow moving (buku yang tidak laku, hanya dibaca oleh pakar sebidang ilmu) dan moderate moving (lumayan laku, dibaca kalangan yang lebih luas).
Selain itu, kemampuan pemasaran kebanyakan penerbit perguruan tinggi belum memadai. Direktur UII Press, Ajeng Yuliastri, menuturkan bahwa belum banyak penerbit perguruan tinggi yang melakukan pembacaan pasar. “Ini juga masukan bagi anggota APPTI yang lain, harus ada analisis apakah buku itu laku di pasar atau tidak, sehingga tidak menumpuk di gudang,” tuturnya ketika ditemui di Fakultas Teknologi Industri UII pada Selasa (24/9/2019).
Termaktub di Kesepakatan Kaliurang, UII Press merupakan koordinator bidang pengembangan bisnis bagi penerbit perguruan tinggi Jateng-DIY. Dalam pemasaran, UII Press mengandalkan rekanan toko buku, media sosial, dan marketplace.
Kendala lain yang disorot Ajeng adalah tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dari penerbit perguruan tinggi. Kata dia, banyak penerbit ini yang masih menerbitkan sekadar untuk penilaian angka kredit dosen. Angka kredit ini merupakan indikator penilaian kenaikan pangkat dosen.
“Bagaimana caranya menggugah semangat dari dosen itu agar daya tulisnya tidak hanya untuk kum [angka kredit kumulatif] saja? Tetapi juga niatannya untuk menambah wacana, publikasi atas ilmunya dia yang di dalam buku,” kata Ajeng.
Beradaptasi dengan Era Digital
Munculnya kanal pemasaran alternatif, seperti media sosial dan marketplace, diakui cukup membantu penerbit perguruan tinggi yang sudah memikirkan pemasaran. “Kalau mengandalkan distributor atau toko buku besar, kita dikesampingkan terus terang,” ucap Samsul Maarif, koordinator divisi penerbitan UGM Press.
I Wayan Mustika menambahkan, dengan situs web, media sosial, dan jejaring e-commerce, UGM Press sudah siap dengan pasar daring. Tiga penerbit lain yang ditemui Ekspresi, SDU Press, UII Press, dan UNY Press juga mulai merambah internet sebagai jalur distribusi buku.
Ajeng Yuliastri menambahkan bahwa UII Press cukup sukses di e-commerce. Sedangkan untuk media sosial dan web, kebanyakan penerbit perguruan tinggi belum menggarapnya secara maksimal. Jumlah pengikut di media sosial pun masih terbilang kalah dibanding penerbit komersial mayor maupun indie.
APPTI korwil Jateng-DIY sendiri sudah mencanangkan pengembangan situs web bagi anggotanya sejak konferensi di Kaliurang. Sejak konferensi tersebut, APPTI korwil Jateng-DIY juga membuat situs web sendiri. Namun, situs web tersebut masih berbasis blogspot dan terakhir diperbarui pada April 2016.
Sementara itu, Yoseph Yapi Taum menilai bahwa penerbit perguruan tinggi harus menerbitkan buku elektronik. Menurutnya, buku elektronik merupakan komoditas tepat bagi pembaca digital. Sebagai Ketua APPTI korwil Jateng-DIY, ia mendorong penerbit perguruan tinggi untuk beralih ke buku elektronik.
Dalam Kesepakatan Kaliurang pun, APPTI korwil Jateng-DIY disebut sudah bekerja sama dengan PT Woolu Aksara Maya untuk memasarkan buku elektronik lewat platform distribusi MOCO. Namun, kata Yoseph, kerja sama tersebut “belum tampak hasilnya”.
Terkait buku elektronik, tanggapan berbeda diberikan oleh Shendy Amalia. Menurutnya, pasar buku elektronik belum terlalu menguntungkan untuk dimasuki. “E-book itu nggak semanis yang dibayangkan,” katanya.
Dibajak atau Difotokopi Mahasiswa Sendiri
Selain problem internal, kebanyakan penerbit perguruan tinggi juga mengeluhkan maraknya tindak pembajakan yang merugikan mereka. “Hampir semua bestseller-nya APPTI itu dibajak. Kita sudah ngurus ISBN, HAKI, dan macam-macam itu tapi malah dibajak,” tutur Ajeng Yuliastri.
Hasil bajakan tersebut tidak hanya dipasarkan lewat lapak konvensional, tapi juga sudah merambah ke media sosial dan marketplace. Samsul Maarif menambahkan, ia sering melaporkan buku bajakan UGM Press ke penyedia jasa marketplace. “Tapi itu kan mudah bikin lapak lagi di marketplace?” kata dia.
Kendati dirugikan, Samsul mengakui bahwa sulit bagi penerbit untuk memberantas pembajakan. “Ya kita mau nuntut gimana? [Kalau] nuntut nanti waktu dan energi habis,” tambahnya.
Senada dengan Samsul, Yoseph Yapi Taum mengeluhkan pembajakan yang seolah menjadi habitus masyarakat. Bahkan, pelaku pembajakan bukan hanya dari luar, tapi mahasiswa juga sering memfotokopi buku ajar. “Kita di Indonesia itu right-to-copy, seolah-olah mahasiswa kopi satu buku itu enggak merasa bersalah, karena habitusnya begitu semua di sini!” protesnya.
Yoseph menambahkan, perkara pembajakan menjadi salah satu pokok bahasan dalam mukerwil APPTI korwil Jateng-DIY di Tegal lalu. “Jadi yang frustasi tidak hanya IKAPI, itu satu tantangan bersama,” ucapnya.
Dianaktirikan Otoritas Pendidikan Tinggi, Dikesampingkan Peneliti
Sejak didirkan pada 2012, jumlah anggota APPTI berkisar antara 200-300 penerbit. Hal tersebut diutarakan oleh Ketua APPTI pusat, Ricardi S. Adnan, yang akan demisioner pada November mendatang.
Ricardi menambahkan, sulit untuk mendata anggota APPTI karena tidak semua penerbit perguruan tinggi terdaftar. Penerbit yang terdaftar pun tidak semua membayar keanggotaan dan memperpanjang keanggotaan.
APPTI sendiri didirikan untuk meningkatkan pembinaan terhadap penerbit perguruan tinggi di Indonesia. Pada 3 September 2019, APPTI melakukan registrasi badan hukum perkumpulan ke Ditjen Adminstrasi Hukum Umum Kemenkumham. Ke depannya, Yoseph Yapi Taum menyebut perkumpulan ini akan bernama Aliansi Penerbit Perguruan Tinggi.
Asosiasi profesi ini dinilai berperan penting dalam pembinaan penerbit perguruan tinggi di Indonesia. Hal tersebut diutarakan oleh Bambang Trimansyah. Bambang menambahkan, di sisi lain, perhatian Kemenristekdikti terhadap penerbit perguruan tinggi amatlah minim.
“Kemenristekdikti belum berperan begitu banyak, kecuali menyediakan dana hibah/insentif untuk penerbitan buku secara perseorangan. Adapun untuk pembinaan penerbit perguruan tinggi, belum ada. Mungkin organisasi seperti APPTI harus menjemput bola, memperkenalkan diri dengan Kemristekdikti dan membuat program bersama,” tulisnya.
Selain minim perhatian otoritas, penerbit perguruan tinggi juga mengeluhkan minimnya minat dosen untuk menulis buku. Dari 302.947 dosen di Indonesia, hanya sedikit dosen yang berminat mengembangkan penelitian atau gagasannya menjadi buku. Per 23 Oktober 2019, mengutip data SINTA Kemenristekdikti, hanya terdapat 27.707 judul buku karya dosen yang teregistrasi.
I Wayan Mustika menyebut salah satu faktornya adalah kecenderungan dosen untuk mempublikasikan hasil penelitian ke jurnal. Selain itu, Wayan menilai belum banyak dosen yang bisa dan mau mengembangkan hasil penelitiannya menjadi buku.
Senada dengan Wayan, Ajeng Yuliastri menuturkan bahwa banyak dosen yang belum punya motivasi menulis buku. “Dari naskah yang masuk ke kami, banyak naskah yang sense of writing-nya kurang,” katanya.
Kebanyakan dosen pun cenderung mempublikasikan hasil penelitian ke jurnal dibanding mengkonversinya menjadi buku. “Saingan kita itu aslinya jurnal. Jadi penulis kalau punya tulisan larinya pertama ke jurnal. Tapi setelah jurnal kelamaan, baru ke buku,” tutur Samsul Maarif.
Terlebih lagi, belakangan Kemenristekdikti cenderung mendorong dosen untuk melakukan publikasi di jurnal ilmiah internasional. Publikasi jurnal pun menjadi tren. Pasalnya, selain mendapat insentif, publikasi di jurnal juga mendapat nilai kredit maksimal yang relatif setara atau bahkan lebih tinggi dari penerbitan buku.
Ricardi pun menilai bahwa Kemenristekdikti dan kebanyakan universitas lebih memfavoritkan publikasi jurnal. Selain itu, faktor lain yang ia garisbawahi adalah tradisi menulis yang relatif rendah.
“Di dalam penilaian kinerja dan angka kredit dosen, penilaian terhadap tulisan di jurnal lebih tinggi daripada di buku. perguruan tinggi yang saat ini mengejar ranking dari lembaga akreditasi nasional [atau] internasional lebih mengapresiasi artikel jurnal daripada tulisan di buku,” tulisnya via surel.
Dalam Pedoman Angka Kredit (PAK) Dosen 2019, standar minimal penilaian kum yang dirilis Kemenristekdikti; publikasi jurnal mendapat nilai antara 15-40 poin, sedangkan buku 20-40 poin.
Untuk publikasi di jurnal internasional yang terindeks di basis data yang dianggap bereputasi oleh Kemenristekdikti (Scopus/Web of Science), sebuah artikel mendapat nilai 30-40. Sedangkan publikasi di jurnal terakreditasi SINTA Dikti, sebuah artikel mendapat nilai antara 15-25. Di sisi lain, penerbitan buku ajar dan monograf dinilai 20 poin, sedangkan buku referensi mendapat 40 poin.
Di bidang penerbitan buku sendiri, peran pemerintah dirasa amat kurang. Di UU Sistem Perbukuan, penerbit perguruan tinggi sekilas disinggung dalam dua pasal. Namun, regulasi turunan seperti PAK Dosen dinilai masih kurang mengakomodasi penerbit perguruan tinggi.
Ricardi menyebut bahwa APPTI telah meminta Kemenristekdikti agar memasukkan asosiasi profesi tersebut ke dalam pedoman PAK. Hal tersebut dianggap penting, pasalnya, sepenuturan Yoseph, penerbit anggota APPTI masih dianggap sebelah mata di kebanyakan perguruan tinggi.
“Di regulasi tentang PAK itu, disebutkan buku memiliki nilai tertinggi apabila buku itu diterbitkan oleh penerbit anggota IKAPI, itu eksplisit. Dan tidak ada APPTI di dalam itu! Nah ini APPTI harus jadi anggota IKAPI dulu apa gimana?” protes Yoseph menanggapi peran pemerintah.
Lebih lanjut, Yoseph menuturkan bahwa penerbit perguruan tinggi hanya bisa berkembang jika dipedulikan oleh pimpinan universitas. Sejauh ini, menurutnya, tak banyak rektor yang menganggap penting lini penerbitannya. “Ada pimpinan yang memperhatikan, banyak pimpinan yang nggak memperhatikan,” tandasnya.
Ikhsan Abdul Hakim
Reporter: Ikhsan Abdul Hakim, Reza Egis, Sabine Fasawwa, Rizal Amril, Fiorentina Refani
Koreksi: Tulisan ini sebelumnya menyebut Shendy Amalia sebagai direktur UNY Press. Keterangan tersebut tidak tepat, karena Shendy Amalia merupakan manajer UNY Press, bukan direktur.
Laporan 2: Industri Buku dan Evolusi Sistem Tata Niaga
Laporan 3: Digitalisasi Industri Buku: Dari Distribusi hingga Konsumsi
Laporan 4: Wattpad: Dari Media Sosial ke Industri Buku Cetak
Laporan 5: Buku dalam Bayang-Bayang Negara
Laporan 6: Kancah Suram Penerbit Perguruan Tinggi
Laporan 7: Masih Ada Pendidik yang Jual Buku Pelajaran ke Murid
Laporan 8: Sekolah dan Tenaga Kependidikan Dilarang Jual Buku Pelajaran
Laporan 9: Dari Jogja, Mereka Melawan Pembajakan
Opini: Pratik Jual Beli Buku Pelajaran Adalah Bentuk Pengabaian terhadap Hak Siswa