Ekspresionline.com—Setiap kali saya merasa kesal atau galau karena hal-hal tertentu, saya memilih pergi keliling ring road sambil mendengarkan musik melalui Spotify yang kadang-kadang belum premium itu, ataupun saya biasa menulis di buku harian. Setelah itu, perasaan saya menjadi cukup lega hingga saya bisa kembali berpikir dengan cukup jernih lagi. Apa yang saya lakukan merupakan bentuk penyaluran emosi negatif yang dalam bahasa psikologi disebut katarsis.
Katarsis dalam bahasa sederhananya adalah penyaluran emosi atau agresi yang terpendam, bisa juga diartikan sebagai bentuk pelampiasan atas kecemasan dan ketegangan yang ada di dalam diri seseorang.
Katarsis berasal dari bahasa Yunani “kathoros” yang artinya untuk membersihkan. Teori katarsis diperkenalkan pertama kali pada kisaran tahun 1960-an dalam tulisan yang berjudul “The Stimulating Versus Cathartic Effect of a Victorious Aggressive Activity” yang dipublikasikan dalam Journal of Abnormal Social Psychology. Teori ini berdiri atas teori psikoanalisa Sigmund Freud yang mengatakan bahwa emosi yang tertahan bisa menyebabkan ledakan emosi berlebihan, maka dari itu diperlukan penyaluran emosi yang terpendam tersebut. Pada masa itu, Freud berpikir bahwa pelepasan emosi yang tertahan dapat menjadi suatu efek terapeutik yang menguntungkan (Corsini & Wedding, 1989).
Masing-masing orang memiliki cara yang berbeda dalam menyalurkan emosinya, bisa dengan melukis, bepergian, mendengarkan musik, maupun ada yang menulis di buku harian. Bentuk-bentuk tersebut merupakan contoh katarsis yang disalurkan dengan cara yang baik.
Lantas apakah katarsis juga ada yang buruk? Katarsis dikatakan buruk ketika dilakukan secara berlebihan dan dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain. Pernahkah kamu menemukan seseorang yang mengunci diri dikamar berhari-hari bahkan sampai tidak makan karena sedang kecewa? Itu adalah salah satu bentuk contoh katarsis yang buruk karena kegiatan-kegiatan lain akan terbengkalai serta akan berimbas terhadap kesehatanya. Tentu saja masih banyak sekali bentuk-bentuk katarsis entah itu bentuk baik maupun buruk.
Media Sosial Sebagai Wadah Curhat
Jika dahulu ungkapan keresahan, kekecewaan, kesedihan, dan kebahagiaan biasa ditulis melalui buku harian yang sifatnya sangat pribadi dan jauh dari jangkauan orang lain. Namun dengan perkembangan teknologi dan informasi, membuat masyarakat sangat dekat dengan penggunaan media sosial, sehingga membuat cerita-cerita keresahan, kekecewaan, kesedihan, dan kebahagiaan tidak lagi ditulis di buku harian atau diceritakan ke teman-teman terdekat dan keluarga, melainkan dituangkan dalam media sosial.
Ada beberapa dorongan yang membuat seseorang memilih curhat di media sosial, salah satunya rasa kemarahan dan keterlukaan yang membuat seseorang memerlukan validasi eksternal, berupa ungkapan dukungan ataupun ungkapan simpati. Dengan melakukan curhat di media sosial, mampu memberikan perasaan lega dan bahagia jika feedback atau balasan dari netizen sesuai ekspektasinya.
Selain itu, ada beberapa orang yang tidak mudah untuk bisa menyampaikan uneg-uneg atau keluhanya secara langsung ke orang yang bersangkutan. Melalui media sosial, seseorang bisa menuliskan keluhannya tanpa menyebut nama orang yang bersangkutan, sehingga hal itu menjadi opsi untuk seseorang menyampaikan uneg-unegnya hingga merasa lega, walaupun rasa lega itu hanya bersifat sementara.
Merujuk pada NYTimes, sebanyak 81% alasan orang-orang membagikan cerita pribadinya di media sosial ialah karena adanya keinginan untuk berinteraksi dan kebutuhan untuk didengar. Ketika seseorang merasa suaranya didengar dan mendapatkan respon yang positif, maka akan menimbulkan perasaan senang dalam diri seseorang.
Namun, media sosial dengan beragam pikiran orang-orang di dalamnya, berpotensi memberikan respon yang tidak sesuai harapan yang justru malah akan menjadi boomerang bagi seseorang. Salah satu contohnya adalah saat seseorang butuh dukungan dengan curhat di media sosial, tetapi ada yang merespon dengan mengatakan “caper” atau “alay”, hal itu artinya respon yang terjadi tidak sesuai dengan ekspektasi. Hal ini bisa memperburuk keadaan seseorang itu sendiri.
Selain itu, seseorang yang menulis curhatannya di media sosial, dapat menimbulkan rasa bersalah dan rasa malu pada kemudian hari hingga akan menimbulkan pertanyaan “kenapa saya menuliskan hal-hal pribadi ke media sosial?” ketika masalahnya sudah mereda.
Media sosial pada era ini memang menjadi sarana yang penting dalam berinteraksi, bahkan seringkali bergeser menjadi tempat curhat masalah pribadi. Maka dari itu, kita perlu menggunakannya dengan bijak dan sadar dalam artian mengerti dan menyadari hal-hal yang seharusnya boleh dan tidak untuk dibagikan, serta sadar betul bahwa akan ada risiko-risiko yang akan terjadi jika masalah pribadi dibagikan ke media sosial.
Memendam emosi negatif seperti keresahan, kemarahan, kekecewaan, dan kesedihan memang tidak baik untuk kesehatan jiwa, karena emosi-emosi terpendam tersebut akan menumpuk dan meledak di kemudian hari. Oleh karena itu, kita sebaiknya dapat menyalurkannya dengan menggunakan katarsis kita dengan cara-cara yang positif dan minim resiko. Selain disalurkan, penerimaan terhadap emosi negatif juga diperlukan. Bentuk penerimaan tersebut dapat berupa kita terbuka untuk menyadari dan merasakan perasaan tidak nyaman tanpa adanya perlawanan dan penyanggahan diri terhadap emosi yang dirasakan.
Nuriyah Hanik Fatikhah
Editor : Kamela Z. Afidah
Referensi :
Nisrina, Kajian Literatur Psikologi: Katarsis Sebagai Bentuk Ekspresif Diri Mahasiswa Pada Masa Pandemi Covid-19. Fakultas Kedokteran, Universitas Lambung Mangkurat.
Nurudin, U. M. M. (2015). Media Sosial Sebagai Katarsis Mahasiswa. Komunikator, 7 (2)