Ekspresionline.com–Warga negara adalah orang yang diakui sebagai anggota suatu negara. Dengan sebutan ini, seseorang memiliki hak dan tanggung jawab pada negara. Menurut Koerniatmanto S., hak dan tanggung jawab warga negara menjadi sebuah hubungan timbal balik kepada negara.
Salah satu kewajiban warga negara adalah membayar pajak. Bahkan, dalam salah satu postingan di laman Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, dinyatakan bahwa membayar pajak adalah kewajiban serta hak masyarakat Indonesia. Membayar pajak dinyatakan sebagai hak karena masyarakat berpartisipasi dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
Namun, dalam situasi di mana pemerintah gencar menggiatkan agar warga negara taat membayar pajak, mereka lalai akan tanggung jawabnya. Pajak-pajak yang dibayarkan warga negara sebagai salah satu kewajibannya, tak dibalas pemenuhan hak yang memadai. Hak-hak tersebut dirampas, bahkan dilecehkan.
Perampasan hak ini bahkan menjadi fenomena umum yang kerap dimaklumi warga Indonesia. Tak usah susah payah, contohnya bisa kita lihat pada jalanan yang ada di Indonesia. Jalanan berlubang, marka jalan hilang, bahkan jalan yang digunakan untuk perjalanan antarkota kondisinya sangatlah miris.
Padahal, seharusnya warga negara memiliki hak atas akses yang mudah, aman, dan memadai ke jalan raya, baik dalam mobilitas maupun transportasi.
Perbaikan jalan pun bukan perkara mudah. Perlu perjuangan, bahkan hingga merogoh kocek sendiri. Ada banyak kasus ketika pemerintah “enggan” memperbaiki jalan, maka masyarakat atas kesadaran nurani, mereka menggunakan dana pribadi dan memperbaiki jalan rusak tersebut.
Pajak Kendaraan Bermotor Untuk Apa?
Kondisi jalan yang rusak bahkan tak layak dilalui tentunya bukanlah hal yang wajar, meski umumnya masyarakat hanya memakluminya. Warga negara, khususnya pemilik kendaraan pribadi, diwajibkan membayar Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) setiap tahunnya.
Dilansir dari laman Samsat Digital, penerimaan PKB digunakan salah satunya untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan. Lalu, jika PKB memang digunakan untuk pemeliharaan jalan, mengapa masih banyak jalan di Indonesia yang rusak?
Disebut pula dalam laman tersebut, paling “sedikit” anggaran dari PKB ini yang akan digunakan untuk pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum ialah 10%. Wah, bukankah sangat menjanjikan?
Sayangnya, di lapangan praktiknya sama sekali jauh dari tulisan tersebut. Sering kali warga harus mengeluarkan uang dua kali. Pertama untuk PKB, lalu kedua untuk iuran sesama warga untuk perbaikan jalan.
Warga bahkan harus “menuntut” pemerintah hanya untuk mendapatkan haknya. Salah satu kasusnya adalah warga Godean, Yogyakarta yang mengadakan aksi untuk menuntut pemerintah memperbaiki sepanjang Jalan Godean yang kerap memakan korban jiwa.
Jawaban Sultan Yogyakarta atas tuntutan tersebut pun sangat tidak memuaskan. Melansir artikel Kompas.com, Sultan mengatakan perbaikan Jalan Godean belum dilakukan karena terkendala dana.
Menurut saya, jawaban ini terasa sangat miris. Melansir Harian Jogja, pada awal Oktober 2023 lalu, pendapatan DIY dari PKB ialah sebesar Rp738 miliar. Sementara dana yang dianggarkan pemerintah untuk memperbaiki Jalan Godean dengan jarak 1,5 km ialah Rp11 miliar.
Ya, anggaplah jika pemeliharaan jalan bukan hanya berfokus pada memperbaiki jalanan yang rusak, tetapi juga fasilitas-fasilitas yang lain, seperti marka jalan, lampu lalu lintas, dan sebagainya. Namun, apakah marka jalan atau lalu lintas di wilayah Yogyakarta sudah baik? Rasa-rasanya tidak juga.
Lalu, dari sekian banyak pajak yang telah dibayar masyarakat Indonesia kepada negara, mengapa menuntut sarana jalan yang baik dan nyaman saja rasanya sulit sekali? Jika alasannya itu, maka mengapa harus ada PKB? Bukankah alasan diadakannya PKB salah satunya adalah menyediakan sarana jalan yang baik untuk masyarakat?
Jalanan Diaspal Sebelum Kaesang Nikah
Di tengah banyaknya problematika jalanan yang jauh dari kondisi bagus, terdapat kasus yang sangat tidak masuk akal pada 2022 lalu. Anak ketiga Presiden Jokowi, Kaesang menggelar pernikahannya. Istrinya, Erina Gudono adalah masyarakat Yogyakarta yang bertempat tinggal di sekitar Jalan Kaliurang.
Sebelum pernikahan keduanya dilaksanakan, secara serempak terdapat perbaikan aspal di sepanjang Jalan Kaliurang. Tak hanya Jalan Kaliurang, perbaikan aspal juga dilakukan di sepanjang Jalan Ringroad dari Monjali hingga perempatan Jalan Kaliurang.
Sebelumnya, banyak masyarakat mengeluhkan adanya resapan air yang berada di jalur lambat Jalan Ringroad tersebut. Namun, seperti biasa, tak ada tanggapan atau aksi yang muncul dari pemerintah.
Adanya resapan air dinilai sangat mengganggu sebab posisinya yang lebih tinggi dari jalanan. Beberapa kendaraan, khususnya yang melintas di jalur lambat, harus melintas di pinggir, menghindari resapan air. Kondisi ini tentunya sangat tidak nyaman, bahkan terkadang pada busy-hour, kondisi ini memperparah kemacetan.
Perbaikan aspal itu akhirnya membuat jalan sama tingginya dengan resapan air yang ada. Kini, kendaraan yang melintas di jalur lambat tak lagi harus menghindari resapan air. Namun, kondisi ini cukup mengherankan. Mengapa perbaikan jalan dilakukan begitu cepat ketika anak sang presiden akan menikah?
Jika dibandingkan antara aksi yang dilakukan masyarakat Godean dengan perbaikan jalan ngebut sebelum pernikahan Kaesang, tentu hasil akhirnya sangat berbeda. Pemerintah seolah-olah melakukan yang terbaik dengan secepatnya pada kasus pernikahan Kaesang. Sementara pada kasus masyarakat Godean, pemerintah dinilai terlalu pasif, tak terlalu responsif menanggapi keluhan masyarakat.
Lalu, apakah kita harus menunggu Kaesang-Kaesang yang lain untuk mendapat yang terbaik?
Tak Sebatas Itu
Kasus-kasus di atas yang telah dijabarkan hanyalah contoh kecilnya saja. Masih banyak perampasan hak yang dilakukan negara kepada warganya sendiri. Ringkasnya, akun X (dulunya Twitter) milik @ardisatriawan pada 25 Juni 2024 membagikan postingannya terkait apa saja pajak yang dibayarkan warga, juga apa balasan dari negara.
Pajak Bumi dan Bangunan tiap tahunnya, hingga biaya bea cukai yang harus dibayar warga negara pula. Begitu banyak pungutan-pungutan yang diambil negara dari warganya. Namun, rasa-rasanya tak ada timbal balik dari hal itu.
Malah rasa-rasanya, tiap hari ada saja berita yang makin membuat masyarakat semakin was-was, semakin kehilangan kepercayaan pada negara yang menaungi. Yang paling terbaru ialah kasus ransomware yang menyerang sistem Pusat Data Nasional (PDN).
Kasus-kasus semacam ini tak hanya terjadi pada PDN saja. Sebelumnya, sudah banyak organisasi pemerintah lainnya yang menjadi sasaran para hacker. Bahkan, salah satu artikel yang diunggah laman Kementrian Komunikasi dan Informasi berjudul “Indonesia Diserang Hacker Miliaran Kali Tiap Hari”.
Tentunya, terjadinya kasus hacking patut dipertanyakan kepada pemerintah. Bagaimana bisa data-data krusial warganya mampu dengan mudah, sebab kebobolan terjadi berulang kali, dicuri oleh para hacker? Lalu, apa gunanya Indonesia memiliki Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN)?
Rp2 triliun anggaran yang digelontorkan tiap tahunnya untuk BSSN pun menjadi tanya. Organisasi yang dikatakan memiliki tugas melindungi ranah dunia maya Indonesia dari ancaman serangan siber nyatanya hanya formalitas.
Ketidaknyamanan sarana publik, hingga hilangnya keamanan data pribadi membuat warga negara selalu was-was tiap harinya. Negara tak menjamin rasa aman dan nyaman pada warganya. Lalu, mau ke manakah hak-hak warga negara?
Rosmitha Juanitasari
Editor: Nugrahani Annisa