Banyak konflik agraria terjadi di Yogyakarta karena terdapat kerancuan hukum pertanahan yang diikuti. “Di Yogyakarta memang lain, ewuh pekewuh masih kental sekali,” tutur Laksmi A. Savitri, dosen Antropologi Universitas Gadjah Mada. Menurut Laksmi, hal tersebut membuat orang-orang di pemerintahan sungkan menegur gubernur jika memang terdapat kesalahan dalam kebijakan maupun pengambilan keputusan. Hal ini terjadi karena Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta juga menjabat sebagai pemimpin Kasultanan Yogyakarta.
“Jika dengan Suharto yang kita hadapi adalah ketakutan, dengan Sultan yang kita hadapi adalah kesungkanan,” ungkap Kus Sri Antoro, Sekretaris Gerakan Anak Negeri Anti Diskriminasi (Granad). Menurutnya, Sultan Hamengkubuwono X memiliki kekuatan yang mampu menghegemoni kesadaran. “Bukan soal takut, tapi pekewuh,” tambahnya. Sehingga, menurutnya tidak banyak Lembaga Swadaya Masyarakat di Yogyakarta yang berani memperjuangkan kasus agraria.
Sungkan menjadi faktor yang membuat Badan Pertanahan Nasional DIY mau mengikuti Instruksi Kepala Daerah 1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah kepada WNI Nonpribumi. Hal itu disampaikan Ni’matul Huda, dosen Hukum Tata Negara Pascasarjana Universitas Islam Indonesia saat ditanya terkait posisi BPN dalam pelaksanaan Instruksi Kepala Daerah 1975. “Jika BPN mendiamkan saja, itu enggak benar. Jangan sampai BPN ewuh pekewuh,” ungkap Ni’matul saat ditemui di kantornya, Selasa (31/10).
BPN DIY tidak wajib mengikuti aturan tersebut karena saat ini instruksi bukanlah produk perundang-undangan yang sah. Lagi pula, kata Ni’matul, BPN itu garis koordinasinya langsung dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang, bukan kepala daerah. Tidak ada landasan hukum yang membenarkan tindakan BPN.
Beberapa kasus agraria yang juga terjadi di Yogyakarta bersumber dari tidak adanya landasan hukum yang jelas. Di Pantai Watu Kodok misalnya, warga yang membuka lapak dan bercocok tanam di pesisir sempat diusir pada 2014. Mereka dipaksa pergi dengan dalih tanah-tanah tersebut merupakan Sultan Ground yang sudah disewa oleh investor. Padahal, hingga saat ini dasar hukum berupa Peraturan Daerah Istimewa mengenai pertanahan yang dijadikan acuan hidupnya Sultan Ground belum rampung dibahas oleh DPRD.
“Jika BPN mendiamkan saja, itu enggak benar. Jangan sampai BPN ewuh pekewuh,” ungkap Ni’matul
Melalui Undang-Undang Keistimewaan, Kasultanan menjadi badan hukum khusus sehingga dapat memiliki tanah. Badan hukum ini bernama Badan Hukum Warisan Budaya dan bersifat swasta. Padahal, menurut Ni’matul, “Kasultanan dan Pakualaman dalam perundang-undangan bukan bagian dari Badan Hukum yang berhak atas tanah.” Ni’matul Huda merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang Dapat Mempunyai Hak Milik atas Tanah.
Sebetulnya, menurut Ni’matul Huda, UUK adalah produk hukum yang mengatur pemerintahan. Sementara urusan pertanahan tetap harus berlandaskan Undang-Undang Pokok Agraria. Namun, menurut Eko Suwanto, Ketua Komisi A DPRD DIY yang mengurusi tata pemerintahan, UUK didasarkan pada sejarah panjang bergabungnya Kasultanan dengan Republik Indonesia dan pengorbanan Sultan Hamengkubuwono IX di dalamnya. Sehingga pemberian keistimewaan pada Yogyakarta untuk kemudian mengurusi pertanahannya sendiri amat pantas. “Yogyakarta kan lahir sebagai daerah berdaulat sebelum Indonesia, sehingga wajar,” tambah Eko.
Sementara itu, Granad menolak fakta sejarah tersebut. Hal itu disampaikan melalui Surat Nomor 004/GRANAD/XI/2014 perihal Permohonan Pencabutan Perda Istimewa DIY Nomor 1 Tahun 2013. Surat itu ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia. Salah satu alasan pencabutannya adalah fakta sejarah. Berdasarkan catatan sejarah, melalui perjanjian Giyanti 1755 dan perjanjian Paku Alam 1813, Kasultanan dan Pakualaman dijadikan badan hukum swapraja. Kasultanan berada di bawah kedaulatan penjajah dan tidak pernah memiliki hak milik atas tanah. Willie menambahkan, “Kerajaan Mataram telah diserahkan pada VOC (Vereenigde Oostindische Company, Red.) sejak 11 Desember 1749 oleh Paku Buwono II. Sehingga ketika Belanda menyerahkan kedaulatan jajahannya pada Indonesia, secara langsung Yogyakarta sebagai bagian dari Belanda jatuh pada Indonesia,” tuturnya.
Ganjilnya BPN di Yogyakarta
Dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, urusan pertanahan diatur oleh Pemerintah Daerah. “Namun, UU tersebut telah dicabut oleh Presiden Gus Dur,” kata Ni’matul Huda. Menurutnya, alasan pencabutan tersebut karena bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 Pasal 28 yang mengatur bahwa bumi dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. “Kemudian urusan pertanahan diserahkan pada BPN yang memiliki kantor wilayah di masing-masing daerah,” jelasnya.
BPN adalah bagian dari Kementrian Agraria dan Tata Ruang RI yang bertugas sesuai undang-undang yang berlaku, salah satunya UUPA. “Atas dasar apa kemudian BPN Kanwil DIY tidak memberi izin hak milik tanah kepada warga keturunan etnis Tionghoa? Ewuh pekewuh?” tanya Ni’matul Huda.
Selain itu, Willie menceritakan, diskriminasi terhadap etnis keturunan Tionghoa sudah terjadi sebelum Instruksi Kepala Daerah 1975. “Pasca lengsernya Sukarno,” tutur Willie, “Sekolah etnis Tionghoa diserang oleh Kesatuan Mahasiswa Indonesia yang kemudian sekolah itu menjadi SMA 1 Bopkri.” Sehingga waktu itu, ia bersama teman-temannya keturunan Tionghoa kebingungan mencari sekolah pengganti.
Instruksi Kepala Daerah 1975 adalah alasan BPN tidak memberikan sertifikat tanah bagi WNI yang dianggap nonpribumi. Termasuk di dalamnya warga keturunan etnis Tionghoa. Menurut Kus, status instruksi sebagai dasar hukum saat ini tidaklah tepat. Instruksi dinilai hanya relevan untuk internal lembaga dan tidak mengikat publik. “Jika instruksi tersebut digolongkan sebagai diskresi, yaitu aturan yang perlu kemudian belum diatur dalam undang-undang dan memang tidak menabrak undang-undang lain. Maka Instruksi 1975 tidak bisa disebut dikresi,” ungkapnya. Menurutnya, sudah jelas melalui Perda DIY No. 3 Tahun 1984, diatur bahwa pertanahan Yogyakarta mengacu pada UUPA.
BPN DIY memang mengatakan Instruksi Kepala Daerah 1975 adalah affirmative action untuk menjaga penguasaan tanah dan melindungi kelompok ekonomi miskin. Namun, di lapangan, menurut Kus, banyak kelas ekonomi miskin dipersulit ketika menggunakan tanah negara yang diklaim Sultan Ground dan Pakualaman Ground. “Warga Kulonprogo, Parangkusumo, Watu Kodok dan bantaran Kali Code adalah contohnya,” jelas Kus.
Ketetapan MPRS Tahun 1966 Nomor 20 tentang Perundang-undangan memang menyatakan instruksi sebagai produk hukum yang mengikat. Namun, Ketetapan MPRS Tahun 1966 Nomor 20 berlaku hanya sampai 2004. Sebab, kemudian ia digantikan oleh UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam pergantian peraturan tersebut, Ni’matul Huda menjelaskan, “Wajar jika ketika diterbitkan, Instruksi 1975 ini dianggap sebagai produk hukum.” Namun, setelah reformasi ketika Ketetapan MPRS Tahun 1966 No 20 dicabut, instruksi sebagai produk hukum gugur. Dalam UU No. 10 Tahun 2004, lanjut Ni’matul, tidak disebutkan bahwa instruksi adalah produk hukum yang mengikat.
Menurut Laksmi A. Savitri, klasifikasi warga negara dengan pribumi dan nonpribumi sudah tidak relevan. “Memang siapa yang bisa menilai warga itu pribumi dan nonpribumi,” ungkapnya. Ia menambahkan, proses akulturasi dan asimilasi yang sudah terjadi berabad-abad dalam perjalanan bangsa menjadikan seseorang tidak bisa dinilai pribumi atau nonpribumi. “Siapa yang bisa menjamin silsilah seseorang? Apa pembuktian yang jelas tentang asal seseorang? Bagaimana menarik kesimpulan bahwa orang tersebut nonpribumi?” ujarnya.
Laksmi menyayangkan masih berlakunya Instruksi Kepala Daerah 1975. Baginya peraturan tersebut diskriminatif. Acuan peraturan tersebut juga dinilai tidak relevan. “Atas peraturan yang seperti Instruksi Kepala Daerah 1975, Sultan Ground, dan Pakualaman Ground, pastilah warga Yogya tahu bahwa itu tidak adil, lihat saja pergerakan di Parangkusumo, Kulonprogo dan Watu Kodok,” tambahnya. Baginya, contoh tersebut menunjukkan bahwa tidak selamanya warga Yogyakarta hanya menerima keadaan dan patuh pada rajanya.
Triyo Handoko
Laporan oleh Aziz dan Rimba
Tulisan ini kali pertama tayang di majalah EKSPRESI Edisi XXIX November 2016 “Diskriminasi Rasial Pertanahan Yogya”