Ekspresionline.com–Sudah satu tahun lebih sejak pandemi COVID-19 merajalela di Indonesia. Pandemi ini telah menuntut Indonesia untuk melakukan perubahan dan beradaptasi pada keadaan, terutama di bidang ekonomi, social, dan pendidikan. Perubahan ini sudah diupayakan oleh pemerintah dengan membuat berbagai kebijakan agar kehidupan semua masyarakat di Indonesia dapat berjalan dengan baik. Telah kita rasakan juga dampak dari berbagai kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah ini. Pertanyaannya, apakah dampak yang kita rasakan ini lebih banyak positif atau negatifnya?
Pendidikan Anak Bangsa yang Dipertaruhkan
Pendidikan adalah salah satu sektor yang paling terdampak dari kejadian ini. Sistem pendidikan yang sudah ada kemudian dipaksa untuk berevolusi agar tetap bisa memberikan ilmu dan mengembangkan kemampuan para pelajar di seluruh daerah. Hingga saat ini, sudah banyak kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim, antara lain penghapusan Ujian Nasional (UN), penggunaan metode Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), pemberian bantuan kuota belajar, dan peringanan beban Kurikulum 2013 untuk siswa.
Kebijakan-kebijakan ini tampaknya memberikan lebih banyak dampak positif bagi para pelajar. Bayangkan saja, kita tidak perlu bangun pagi untuk mandi dan bersiap-siap ke sekolah atau ke kampus, bisa menyarap sembari mendengarkan penjelasan dari para guru, tidak perlu membeli kuota karena sudah disediakan oleh pemerintah, materi pelajaran akan dibuat lebih mudah, bahkan untuk anak-anak tahun terakhir di SD maupun SMP, mereka tidak perlu menambah ekstra waktu untuk belajar dan mempersiapkan UN. Menarik, karena di masa pandemi seperti ini orang-orang pasti menginginkan kemudahan dalam segala hal. Kita saja sudah cukup “tersiksa” karena harus di rumah terus, bukankah keringanan tersebut setidaknya bisa mengurangi beban pikiran?
Ekspektasi Tidak Sesuai dengan Realita
Apakah kemudian ekspektasi yang sudah ada benar terjadi? Iya, tapi tidak semuanya. Kenyataannya, kebijakan ini membawa banyak pro-kontra. Permasalahan utama yang kemudian menjadi buah bibir masyarakat adalah pemberlakuan PJJ yang sudah berjalan selama hampir 1 tahun 5 bulan sejak pandemi virus COVID-19 datang ke Indonesia. Jika menengok keadaan saat ini, sistem PJJ memang menguntungkan, namun rupanya banyak anak yang merasa tidak mendapatkan apa-apa selama PJJ diberlakukan.
Sistem belajar-mengajar yang dilakukan secara online ini membatasi kemampuan mereka untuk bertanya kepada guru mengenai detail-detail yang belum mereka pahami. Pertanyaan yang dahulu bisa langsung ditanyakan secara rinci kepada guru di depan kelas, sekarang tidak bisa didapatkan secara mendetail karena terbatasnya waktu dan komunikasi via daring. Hal ini banyak dirasakan oleh para siswa. Dampak kontinunya, tentu mereka tidak memahami pelajaran yang sudah disampaikan guru dengan baik seperti saat mereka mendapatkannya di pembelajaran luring sebelum pandemi.
Apakah dengan ini anak dapat disalahkan? Belum tentu. Menurut saya, pembelajaran via daring ini tidak menjamin semua anak untuk bisa mengikuti materi dengan baik seperti halnya saat kita melakukan pembelajaran tatap muka, apalagi dengan kemampuan anak yang berbeda-beda, guru semakin sulit mengontrol dan memantau perkembangan para siswa. Bagi anak-anak yang kurang mampu memahami materi dengan baik waktu pembelajaran tatap muka, akan dirasa sangat melelahkan bagi mereka.
Dengan kesulitan yang dihadapi guru ini, guru kemudian “membantu” perkembangan siswa dengan memberikan tugas tambahan, dengan harapan dapat memahamkan siswa mengenai materi yang sudah disampaikan sebelumnya dengan lebih baik. Kontroversi lain pun muncul. Para siswa semakin lelah dengan sistem pembelajaran ini, para guru dianggap tidak memahami kemampuan dan beban siswa.
Guru menganggap mereka bisa mengerjakannya dengan bantuan orang tua, karena pandemi ini menuntut orang-orang untuk tetap di rumah, sehingga orang tua pasti memiliki waktu lebih banyak bagi anaknya. Hal ini juga tidak bisa sepenuhnya dibenarkan, karena kesenjangan sosial dan kondisi ekonomi yang ada di kalangan masyarakat jelas menunjukkan perbedaan rutinitas hidup keluarga mereka. Mungkin keluarga yang berkecukupan tidak harus bekerja keras sehingga bisa mendampingi anaknya, tapi keluarga yang kurang mampu jelas harus bekerja lebih keras untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Terlebih di masa pandemi ini di mana perusahaan dan toko ditutup, dilarang untuk keluar rumah, serta ketakutan akan dirazia, semakin menyulitkan mereka. Dari sini, kita bisa beranggapan bahwa orang tua keluarga yang kurang mampu tidak memiliki cukup waktu untuk mendampingi anaknya dalam belajar.
Orang Tua: Kami Juga Punya Kegiatan Lain
Adanya keterlibatan orang tua dalam proses belajar anak memang sangat dibutuhkan, apalagi di masa pandemi seperti sekarang. Berbagai kontroversi yang ada jelas semakin menyulitkan orang tua dalam mendampingi anak. Dan rupanya, kesulitan ini tidak hanya dirasakan oleh orang tua dengan kondisi ekonomi yang kurang mampu. Bahkan, orang tua dengan kondisi ekonomi yang bisa dibilang berkecukupan juga mengalami kesulitan.
Saya sempat mendiskusikan hal ini dengan ibu saya. Beliau mengatakan, “Orang tua sudah punya habbit sendiri dalam kegiatan sehari-harinya, termasuk waktu untuk mendampingi anak belajar. Apalagi untuk seorang ibu, mereka punya pekerjaan 24 jam non-stop. Mulai dari membereskan rumah, memasak, mencuci baju, bekerja- jika mereka harus membantu mencari nafkah, dan mengurus anak. Sehari itu pun juga sudah melelahkan. Jika kemudian di masa pandemi orang tua harus meluangkan waktu lebih banyak untuk mendampingi anak, yang paling memungkinkan adalah mengambil waktu istirahat mereka.”
Ibu saya kemudian melanjutkan, “Jadi jangan heran kalau kemudian banyak kasus orang tua yang melakukan kekerasan pada anak. Kamu bayangkan saja, mereka sudah lelah seharian bekerja dan menjalankan rutinitas mereka, kemudian mereka harus mendampingi anak untuk membantu mereka mengerjakan tugas atau bahkan menjelaskan materi yang belum tentu paham. Otak capek, badan capek, ditambah anak susah memahami atau ngeyel. Akhirnya orang tua membentak anak tersebut, tanpa sadar bahwa mereka sudah melakukan kekerasan pada anak walau itu hanya hal kecil.”
Masuk akal. Saya pribadi pun mungkin melakukan hal yang sama ketika saya harus mengajarkan seseorang, apalagi anak, disaat saya harusnya beristirahat. Menjadi orang tua pun sudah cukup sulit, jadi paling tidak anak bisa membantu meringankan beban orang tua mereka. Namun, apakah kemudian kejadian ini dapat dimaklumi? Sudah jelas tidak. Nyatanya, kejadian ini tidak hanya tentang membentak atau memarahi anak, banyak orang tua yang sampai melakukan kekerasan fisik kepada anak karena lelah dengan kelakuan anak mereka yang susah memahami materi pelajaran. Dengan begitu, kekerasan ini memang menjadi suatu permasalahan yang cukup kompleks karena saya tidak hanya mendengar satu-dua cerita, namun berbagai cerita dengan kasus yang sama. Alasannya? Orang tua juga kelelahan dengan rutinitas tambahan mereka.
Kemampuan Anak dan Komunikasi Sangat Penting
Sama halnya dengan orang tua, anak juga pasti memiliki alasan sendiri ketika mereka meminta tolong kepada orang tua mereka. Entah mereka kurang paham mengenai materi tersebut atau meminta bantuan dalam mengoreksi tugas yang sudah diberikan oleh guru. Mengapa kekerasan masih bisa terjadi, karena setiap pihak memiliki latar belakang keadaan yang berbeda satu sama lain. Jika kita mengambil sudut pandang salah satu pihak, kita juga tetap menyimpulkan yang paling salah. Dalam alur berjalannya pendidikan di tengah pandemi ini, instansi sekolah (guru), orang tua, dan anak adalah peran utamanya.
Secara sederhana, alurnya seperti ini: “anak tidak memahami materi – anak sudah bertanya kepada guru tapi masih kurang memahami – anak merasa bisa mendapatkan jawaban lewat orang terdekat (orang tua) – ketika ditanya orang tua tidak tahu dan tidak bisa membantu – anak mendapat nilai jelek karena kurangnya pemahaman – orang tua marah – kekerasan terjadi.” Dari sini, saya dapat mengatakan bahwa anak mendapatkan dampak yang paling besar.
Dengan begitu, hal yang paling tepat untuk dilakukan adalah dengan mengomunikasikan antara anak, guru, dan orang tua. Guru harus bisa menerima masukan mengenai kemampuan para siswanya, menyesuaikan kuantitas tugas, dan siap memberikan penjelasan sebaik mungkin kepada para siswa jika ada dari mereka yang menanyakan lebih lanjut materi tertentu. Orang tua harus menjaga emosi dan jika mereka tidak bisa membantu anak secara keseluruhan, mereka bisa membicarakan hal ini dengan anaknya, sehingga anak bisa memahami rutinitas dan kesibukan orang tua. Orang tua juga tidak bisa memaksakan anaknya untuk selalu mendapat nilai bagus, intinya, jangan mematok ekspektasi terlalu tinggi agar tidak membebankan anak. Pentingnya komunikasi antar guru, orang tua dan anak ini juga ditujukan agar anak bisa lebih menikmati waktu belajar mereka yang sudah cukup menguras energi dan pikiran mereka. Dengan komunikasi yang baik, semua pihak akan merasa nyaman, dan proses pembelajaran anak dapat berkembang lebih baik dan efisien.
Amelinda Salsabila Laily
Editor: Arizqa Shafa Salsabila