“Kekerasan terhadap jurnalisme, merupakan bagian dari proses yang banal,” kata Tri Guntur Narwaya dalam diskusi publik yang dilaksanakan di kampus Universitas Islam Indonesia (UII), Jalan Cik Di Tiro no.1 Yogyakarta, Kamis (16/08/2018). Dalam diskusi yang bertujuan memperingati 22 tahun kematian wartawan Udin, Guntur mengutarakan kekhawatirannya tentang kondisi saat ini. Kondisi di mana makin meluasnya rezim kekerasan—yang berakibat pada ketiadaan dalam menghormati hak asasi manusia.
Menurut Guntur, saat ini sedang ada kemunduran yang luar biasa dalam hal kebebasan pers. Ia juga mengatakan bahwa kita sedang hidup di dalam arus pasar, liberalisasi media yang makin dianggap wajar oleh masyarakat kita.“Salah satu ciri dari eksistensi manusia adalah bicara, bersuara, dan itu telah dibungkam. Suara suara kebenaran harusnya diberi tempat di negeri ini,” lanjutnya.
Anang Hermawan, dosen Ilmu Komunikasi UII mengamini hal tersebut. “Saat ini dari 193 negara, Indonesia menempati peringkat 124 dalam kebebasan pers. Artinya, kita bukan negara yang baik dalam hal kebebasan pers,” kata Anang.
Guntur menganggap, kematian Udin menjadi bukti banalitas yang fulgar. “Hingga hari ini kita semua belum tahu kejelasannya,” lanjut Guntur. Masih menurut Guntur, apa yang dilakukan Udin sebenarnya dalam konteks menyampaikan pendapat, harusnya dilindungi oleh undang-undang.
Bambang Muryanto, wartawan The Jakarta Post sependapat dengan Guntur. “Kita harus mengingatkan pada publik, kasus ini harus dituntaskan,” kata Bambang. Ia pun memiliki cara tersendiri. Bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bambang mendaftarkan Udin agar mendapatkan penghargaan dari UNESCO pada 2019. “Harapannya jika ini berhasil, kasus Udin akan menjadi isu dunia, membantu kita dalam mengingat bahwa telah terjadi hal seperti ini,” tutur Bambang.
Sementara itu,Guntur berpendapat lain. Menurutnya, untuk menuntaskan kasus Udin tidak bisa dilakukan dengan cara-cara legal formal atau instrument hukum. “Harus ada gerakan massa, sudah banyak bukti bahwa cara-cara legal saja tidak cukup,” kata pria yang aktif di Pusat Studi Hak Asasi Manusia UII tersebut.
Rofi Ali Majid
Editor: Riri Rahayu