Dikuasai rezim militeristik Orde Baru selama lebih dari tiga dekade membuat bangsa ini dirasuki ideologi-ideologi militer. Militerisme selama ini dibiarkan menyelinap ke berbagai bidang kehidupan. Salah satunya adalah pendidikan—yang seharusnya resistan tapi ternyata tak luput jua dari benalu militerisme.
Ideologi militerisme ini menyelinap dengan cara yang subtil dalam kurikulum pendidikan kita. Misalnya, dari mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, upacara bendera setiap Senin, hingga program Bela Negara yang dipegang oleh Kementerian Pertahanan. Di perguruan tinggi, jejak manifestasi ideologi ini juga dapat diendus dengan dibentuknya organisasi resimen mahasiswa (Menwa), yang sejarahnya bisa dilacak sampai pada 1959.
Pendidikan memang tempat yang pas untuk menyemai beragam benih. Namun, ia haruslah benih demokrasi, benih jiwa-jiwa yang bebas, bukan militerisme yang mengandalkan kepatuhan berdasar hierarki. Kita tahu, sejak era Orde Baru, pendidikan sebagai medium sosial-politik telah dikendalikan oleh wacana militerisme. Sebagai pihak dari pemerintah yang dominan, upaya-upaya militerisasi berdiri dengan ditopang oleh birokrasi, lembaga teritorial, institusi ekstrakonstitusional dan forum-forum yang memberi tempat strategis pada militer. Militerisme mendapatkan panggungnya di era ini.
Militerisme memang tak hanya bermula sejak Orde Baru, tapi era tersebutlah yang melegitimasi militerisme. Untuk itu, kita perlu melongok sejarah terlebih dulu. Militer di dunia ketiga—mencakup negara-negara baru bekas jajahan kolonial—memang memiliki kekuasaan dan memainkan kekuatan. Harold Crouch, penulis buku Militer dan Politik di Indonesia, mengatakan, mayoritas negara di dunia ketiga memang diperintah oleh militer yang otoriter, sebagian kecil diperintah oleh partai politik dominan atau pemimpin kharismatik, hingga beberapa lainnya dikuasai oleh monarki yang masih bertahan.
Lantas, mengapa militer terus bertumbuh menjadi kekuatan dominan? Sebab pada penghujung abad ke-20, sebelum negara-negara dunia ketiga ini muncul, terjadilah perlawanan militer. Di sinilah militerisme bermula.
Militer yang dibentuk pada masa awal republik ini adalah gabungan dari tiga kekuatan militer berbeda. Pertama, KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) bentukan kolonial Belanda. Kedua PETA (Pembela Tanah Air) bentukan fasis Jepang. Terakhir adalah tentara rakyat yang berisikan laskar-laskar rakyat. Namun, pada 1948 Mohammad Hatta yang saat itu menjabat sebagai perdana menteri cum menteri pertahanan mengeluarkan kebijkan yang bertajuk program Reorganisasi dan Restrukturisasi dalam Angkatan Bersenjata (Rera).
Rera ini pada prinsipnya adalah memangkas jumlah angkatan bersenjata menjadi kelompok-kelompok yang pernah mengikuti pendidikan militer saja. Sejak saat itulah, laskar-laskar rakyat, yang tidak pernah mendapatkan pendidikan militer secara legal—tidak ada akademi formal—diberhentikan sepihak. Militer Indonesia kemudian berisikan orang-orang KNIL dan PETA.
Seiring berjalannya waktu, pemimpin politik kharismatik, Sukarno, tidak bisa terus-menerus menjaga posisinya yang perlahan tapi pasti cenderung ke kiri. Maka, 20 tahun selepas Indonesia merdeka, militer berupaya melakukan kup dan benar-benar menunjukkan kekuatannya. Selepas itu, selama tiga dekade, militer adalah nahkoda bangsa ini. Tiga puluh dua tahun bukanlah waktu yang sebentar, itu sudah mampu membikin satu generasi lupa akan masa lalu. Belum lagi ada politik kebudayaan tersendiri yang dilakukan oleh militer.
Hingga akhirnya pada 1998, ketika Suharto lengser dari tampuk kekuasaan, rakyat menuntut agar militer kembali ke barak. Agar militer tidak ikut campur dalam perpoilitikan Indonesia. Itu adalah salah satu cita-cita reformasi.
Militer dalam ospek UNY
Ospek UNY 2017, yang bakal diadakan pada 21 s.d. 24 Agustus, berencana menghadirkan panglima TNI, Gatot Nurmantyo, sebagai pemateri pada sesi pertama. Tampaknya, hal ini tidak terlepas dari anjuran dalam Surat Edaran menteri riset teknologi dan pendidikan tinggi (menristekdikti) untuk menghadirkan pembicara yang dirasa mampu menambah rasa cinta tanah air, nasionalisme, sekaligus menangkal radikalisme. Barangkali dalam pandangan UNY juga menristekdikti itu, sosok tersebut termanifestasikan dalam diri panglima TNI.
Sepintas, tidak ada yang salah dengan “cinta tanah air, nasionalisme, dan menangkal radikalisme”. Namun, jika militer didapuk sebagai yang paling mengerti nasionalisme tentu salah kaprah sekaligus melecehkan supremasi sipil. Terlebih lagi, kampus serta mahasiswa UNY tidak mampu melihat persoalan lebih jauh. Misalnya, misi apa yang diemban oleh panglima yang dengan baru-baru ini sering roadshow ke kampus-kampus? Begitu pula terkait isu pencalonan Gatot dalam pilpres dua tahun mendatang. UNY sebagai institusi akademik harusnya tidak terjebak dalam isu-isu politik praktis semacam ini.
Hal ini juga membuktikan tatanan politik kita sebenarnya masih sama dengan era Orde Baru. Mengundang TNI di acara ospek adalah sifat-sifat Orba (Anda ingat cita-cita reformasi yang saya singguh di atas, bukan?), di mana militer diberikan tempat-tempat strategis untuk bicara. Lantas mengapa UNY tidak mengundang seorang yang ahli dalam, misalnya, literasi, yang saya pikir jauh lebih bermanfaat untuk mendongkrak minat literasi mahasiswa ketimbang militer untuk membicarakan nasionalisme?
Kenyataannya militer sampai saat ini masih saja tidak mau mengakui kejahatan HAM yang sudah mereka perbuat. Genosida 1965, pembantaian di Timor Timur, pembunuhan di Aceh, pembantaian di Papua serta keterlibatan mereka dalam berbagai konflik agraria. Itu sudah menjadi landasan yang kuat mengapa institusi ini tidak bisa dibiarkan kembali menyelinap dalam pendidikan Indonesia.
Belum lagi, dihilangkannya belasan aktivis pada 1998 juga menambah kasus HAM yang mereka perbuat, dan sampai saat ini tidak pernah ada kejelasan soal itu semua. Lalu apakah kita tetap bersepakat dengan mereka, atau bahkan mengatakan bahwa “datangnya militer ke UNY adalah kesempatan yang baik sebagai ajang bagi mahasiswa bernegosiasi dengan militer”? Bangun dulu kawan, hari sudah terang.Tak perlu kita bernegosiasi. Kita—sipil—sudah berkali-kali digilas dan ditindas oleh militer. Sekarang saatnya menegakkan supremasi sipil. Pukul mundur militer. Kembalikan militer ke barak!
A.S Rimbawana