Judul : Kitab Pagebluk
Penulis : Ambiyah
Ilustrator : Faalfarouq
Penerbit : Sulur Partikelir
Cetakan : I, Juli 2020
Ekspresionline.com–Muh. Hamzah yang kerap dikenal dengan Ambiyah dan Faisal Al Farouq yang biasa dipanggil Faalfarouq adalah mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Sebelas Maret (UNS). Keduanya lahir pada tahun 1997 dan bertempat tinggal di Klaten. Dalam buku yang berjudul Kitab Pagebluk, mereka berkolaborasi untuk menghasilkan suatu karya di samping kegiatan mereka saat #dirumahsaja.Di saat pandemi Covid-19 melanda hampir di seluruh belahan dunia dan membuat siapa saja harus berjarak, siapa yang tak rindu?
Kitab Pagebluk, sebuah kumpulan puisi dengan ilustrasi menarik serta unik yang mengambil kisah dari kondisi dan situasi yang terjadi saat pandemi Covid-19. Lahir dari tulisan-tulisan puisi Ambiyah dan ilustrator Faalfarouq yang telah menempuh pertapaan selama berbulan-bulan di masa pandemi, karya sastra ini mengajak kita untuk menikmati pandemi dengan tetap menjadi manusia dengan kompleksitasnya.
Buku Kitab Pagebluk ini tidak berisi mantra-mantra sakti mandraguna untuk melawan Covid-19, bukan pula primbon yang meramal masa depan. Namun, buku ini berisikan untaian kata dan goresan yang penuh makna dan tersirat layaknya isyarat.
Buku ini juga memberikan informasi terkait penambahan kasus orang yang terpapar Covid-19, dari yang sembuh hingga meninggal. Seperti pada halaman 132.
20-05-2020
Positif: 19.189
Meninggal: 1.242 Sembuh: 4.573
Senja Indah, Kesenjangan Parah?
Kumpulan puisi yang berjudul Kitab Pagebluk ini berisikan sekitar 126 buah puisi Ambiyah yang terdiri dari puisi sindiran, kekasih, ibu, teman, serta keadaannya sendiri, bahkan hubungannya dengan Tuhan. Salah satu puisi sindirannya yaitu “Kepada Yogya.”
…
Kepada Yogya
Kusaksikan senjamu yang indah
Sebab kusaksikan kesenjanganmu yang parah.
Pada bagian ini, Ambiyah memberikan pendapatnya terhadap Kota Yogyakarta. Di balik pemandangan senjanya yang indah, kita dapat melihat kesenjangan perekonomian yang parah. Di kala pandemi Covid-19 ini, tidak sedikit pedagang pasar tradisional yang tidak beroperasi, bahkan banyak pasar yang ditutup. Padahal, kebanyakan dari mereka merupakan pedagang kecil. Contoh penutupan pasar akibat Covid-19 yang terjadi adalah penutupan Pasar Beringharjo. “Kasus Covid-19 di Malioboro Berlanjut, Sebagian Pasar Beringharjo Ditutup,” dikutip dari Tempo.co (14/09/2020). Di sisi lain, pusat perbelanjaan modern di kota ini masih tetap saja buka, dengan syarat tetap memenuhi protokol kesehatan. Hal itu menandakan bahwa kesenjangan perekonomian di masa pandemi dapat dengan jelas dijumpai di Yogyakarta.
Kerinduan Mahasiswa Jalur Corona
Tiap larik, tiap bait puisi Ambiyah bisa membawa siapa pun terbang bebas dalam cakrawala sastra. Seperti saat saya menikmati puisi yang berjudul “Kampus”. Terdapat tempat yang terletak di Fisipol UGM, Taman Sansiro, yang juga merupakan salah satu tempat pelipur bagi mahasiswa untuk melepas ketegangan saat kuliah maupun rasa penat. Di sana, mahasiswa dapat bersantai, berdiskusi masalah mata kuliah, hingga merokok. Mungkin kerinduan terhadap kampus juga saya alami, sebagai korban lulusan jalur Corona yang belum mengintip dan menikmati suasana kampus.
…
Barangkali, hanya dedaunan kering Taman Sansiro
yang akan menyambut kedatanganku
Buku-buku di perpustakaan menjadi pendiam
Seorang cendekiawan tak ubahnya seperti ahli nujum
Dan burung-burung tetap cerewet mengomentari perihal zaman
Di sana selalu ada rindu yang sulit diterjemah
Di situ selalu ada diri yang sukar dijamah
Di sini aku selalu saja payah
Perkuliahan daring membuat mahasiswa angkatan 2020 merasakan hal yang berbeda dari mahasiswa angkatan sebelumnya, yaitu ketika mahasiswa lama dapat menikmati suasana pembelajaran di kampus, makan di kantin, berolahraga di fitness center HSC UNY, hingga menjelajahi berbagai gedung yang ada di kampus. Hal itu cukup membuat iri mahasiswa baru (rantau) yang ingin segera menginjakkan kakinya di kota pelajar. Namun, semakin meningkatnya kasus positif Covid-19 di Yogyakarta menambah rasa skeptis mahasiwa jalur Corona untuk mewujudkan hari ketika mereka dapat berkuliah secara luring.
Kelihaian sang Penulis
Dikatakannya, Ambiyah mendapatkan wangsit yang kemudian dicurahkan dalam bentuk rentetan puisi pada kertas bekas laporan skripsinya. Hal penting yang kita dapat dari wangsit Ambiyah yaitu rasa dalam jiwa memerlukan pengelolaan dan pengendalian yang seksama agar keinginan dan emosi tak meledak akibat bertahan #dirumahsaja. Pengelolaan dan pengendalian ini dapat dilakukan dengan berserah diri kepada Yang Maha Agung serta menafakuri diri yang nyatanya tak berdaya upaya kecuali atas kuasa-Nya. Sabar atas keadaan dengan doa, sebar kebaikan dengan cinta.
Ambiyah memainkan kata-kata isyarat dalam setiap larik puisinya. Penggunaan beberapa majas menambah teka-teki apa yang ingin ia maksudkan. Hal itu ia lakukan untuk membuat penasaran para pembaca. Seperti yang Ambiyah sebut dengan “kekasih”. Beberapa kali kata tersebut terulang dalam puisinya. Namun, masih belum diketahui siapa sosok kekasih yang dimaksud oleh Ambiyah. Mungkinkah Zahra?
Selain itu, di sepanjang bacaan puisinya, tersurat latar belakang tempat pembuatan, seperti di kamar tidur, teras rumah, kamar mandi, langgar, ruang tengah, ruang makan, dan ruang tamu. Dari situ, kita tahu bahwa Ambiyah menorehkan pikirannya di lingkup rumah. Meskipun hanya berada di rumah, Ambiyah tetap produktif dalam membuat karya sastra.
Berekspresi dengan Ilustrasi
Sang ilustrator, Faalfarouq, menggambarkan isi dari puisi dengan begitu unik. Kombinasi dari beberapa objek yang teliti nan rumit terkadang membuatnya menjadi sulit dipahami. Terdapat satu gambar yang menjadi sorot perhatian saya. Di halaman 34, Faalfarouq memberikan ilustrasi sepasang manusia yang saling bercumbu rayu. Di samping halaman tersebut juga terdapat larik puisi Ambiyah yang menceritakan temannya yang menikah. Mengingatkan bahwa di saat pandemi Covid-19, tidak sedikit orang memutuskan untuk menikah. Entah karena bosan di rumah atau kurang kerjaan, bahkan mungkin itu menjadi tren saat pandemi Covid-19.

Situasi pandemi Covid-19 membuat sebagian besar masyarakat merasa jenuh karena harus bekerja atau belajar dari rumah. Bagi pelajar yang masih berada di bangku SMP maupun SMA, tak sedikit dari mereka yang merasa jemu dengan pembelajaran jarak jauh atau biasa dikenal dengan PJJ. Siswa merasa bosan dengan sistem pembelajaran yang hanya melalui grup Whatsapp maupun tatap muka melalui Google Meet atau Zoom. Belum lagi jika mereka tidak memiliki paket data.
Dengan kondisi pembelajaran dari rumah yang membosankan, biaya pendidikan yang terus berlanjut walaupun luring, ditambah lepasnya pengawasan orang tua, membuat para siswa memilih untuk menikah muda. Keputusan tersebut merupakan salah satu akibat pademi yang tidak kunjung usai. Hal ini menandakan kasus pernikahan dini di kalangan pelajar akan semakin meningkat. “Covid-19 ternyata punya dampak negatif besar pada kehidupan wanita di beberapa negara. Salah satunya adalah tambahan 10 juta pernikahan anak pada dekade ini,” bunyi pernyataan yang dikutip dari CNN Indonesia (08/03/2021).
Ilustrasi pada sampul buku yang menggambarkan rumah dengan kaki manusia serta api yang melingkar di atasnya sepintas memberikan gambaran keseluruhan isi puisi Ambiyah, yaitu mengisahkan tentang pagebluk wabah Corona. Pagebluk inilah yang menyebabkan semua umat manusia harus berdiam diri di rumah dengan suasana di luar yang semakin memanas.
Tulisan saya ini merupakan ekspresi analisis sederhana dari hasil pembacaan saya pada buku Kitab Pagebluk secara (mencoba memahami) menyeluruh, mulai dari sampul, puisi-puisi di dalamnya, hingga sumber berita pasien Covid-19. Menurut saya, kumpulan puisi dalam buku Kitab Pagebluk ini cocok menjadi referensi bacaan masyarakat Indonesia, terutama generasi muda, karena mereka perlu mengenal dan mengerti kondisi pagebluk Corona ini. Selain itu, buku ini juga cocok untuk menemani waktu luang di masa pagebluk yang entah sampai kapan. Tetap patuhi protokol kesehatan, cuci tangan, jaga jarak, pakai masker, dan terapkan pola hidup sehat.