Ekspresionline.com–“Mereka adalah bapak-bapak gabut,” ujar seorang kawan, sambil mengarahkan pandangannya ke arah rumah, yang terasnya dipenuhi oleh lelaki usia paruh baya. Tidak ada nama, logo, maupun keterangan tentang apa sebenarnya perkumpulan bapak-bapak itu.
Mungkin karena itulah jawaban seorang kawan, saat aku tanya siapa bapak tersebut hanyalah “bapak-bapak gabut”. Salah satu yang menjadi petunjuk, setiap bapak memegang satu alat musik yang berbeda.
Lantunan jari tua nan lentik terlihat piawai memetik celo. Tak kalah dalam urusan memetik, di antaranya juga terampil mendendangkan bass, serta melengkingkan suara cak dan cuk yang saling bersahut-sahutan. Sedang jari-jari tua nan lentik yang lain, dengan lincahnya menggesekkan stik ‘bow’ pada senar nilon biola.

Perpaduan alat musik yang sangat jarang terdengar, namun tidaklah asing. Alat yang sering dibicarakan pada narasi-narasi dan buku-buku sejarah Indonesia masa kolonial. Keroncong, kata yang terlintas saat melihat dan mendengar harmoni yang tercipta dari perpaduan beberapa alat musik yang dimainkan oleh para bapak itu. Senyum tak henti terpanjatkan, mata tak henti mengisyaratkan kekaguman.
Bak remaja yang tertangkap basah sedang mengagumi lawan jenisnya, mataku teduh tengah menangkap ekspresi kekaguman. Lantas, dibalaslah kekagumanku dengan senyum manis nan menenangkan, dari bibir manis yang bergaris, menandakan usia yang menginjak paruh baya. Sambil berjalan mendekat dengan tangan yang penuh oleh cemilan dan wedangan.
Mata sayu berubah menjadi tatapan kekhawatiran “ibu” yang melihat anaknya telat makan. “Ayo dimaem, Nduk. Wedange diombe,” kalimat yang dilontarkan oleh si Mata Sayu. Seakan tidak ingin mendengar kata penolakan, dua piring gorengan disuguhkannya sekaligus disertai segelas wedang.
Di tengah harmoni keroncong dan lantunan lirik yang berbahasa Jawa, si Mata Sayu mendekat dan berbisik, “Dari mana, Nduk?” ia anggukkan kepala pasca kulontarkan jawaban, “UNY, pak.”
“Kerasan yo, Nduk di sini,” sambungnya sembari memberikan sentuhan halus di lenganku. Sentuhan itu bak kain sutra yang lembut dan terasa menenangkan. Lalu, ia melangkah menjauh dan menghilang di balik pintu masuk rumah itu.
Kaum pedagang selalu.. naik itu perahu..
Lirik terakhir, sebelum semua alunan musik berhenti dengan satu ketukan nada yang sama.
Selang berapa waktu, semua mata tertuju pada satu titik, ia melepas kaitan jarinya pada celo lalu tatapannya terkunci pada satu titik.
Di lain sisi, suara hentakan halus kertas yang berwarna kuning tua dan sedikit lecet dan terlihat kuno, membuat pandangan teralih sambil menerka dalam hati, “Apakah itu kumpulan lirik?”
Hentakan kertas pun berhenti, lalu terdengar ucapan, “Bengawan Solo”.
Disaut oleh petikan cak, membuat obrolan hangat itu buyar dan ia kembali mengencani celonya lalu mengaitkan jari lentik tuanya pada lekukan celo.
Mata airmu dari Solo
Terkurung gunung seribu
Air mengalir sampai Jauh
Akhirnya ke laut
Lirik yang sangat-sangat tidak asing. Lirik dengan iringan musik yang sering dijuluki “bikin ngantuk” sekarang terdengar sangat berbeda.
Setiap petikan nadanya membawa serpihan kejadian dari masa lalu, yang sebagiannya tertulis dalam Sejarah. Lalu sebagiannya menjadi pertanyaan, gugatan, bahkan kebencian yang harus segera disusun kebenarannya.
Musik ini menjadi bukti, bahwa kesenian adalah sesuatu yang murni dan tulus, ia tidak tertaut dengan kekuasaan, kejahatan, dan keserakahan. Bagaimana bisa para penjelajah samudra itu menyebarkan hal lain selain dari “Gold, Glory, dan Gospel”. Hal yang sangat indah, yang menjadikan perbedaan bersatu dalam harmoni fado dari Portugis yang sekarang diakuisisi oleh masyarakat kita sebagai musik keroncong.
Sekar Tanjung
“Sekar Tanjung”, dua kata yang tersorot dari uraian Pak Eko selaku pemimpin perkumpulan grup musik keroncong itu. Sekar Tanjung sekaligus menjadi nama bagi perkumpulan tersebut. Berdiri sejak tahun 2002, kala itu beranggotakan 9 orang dengan usia empat puluh sampai enam puluh tahun. Terbentuk dari keresahan Pak Eko dan beberapa rekannya yang lain tentang mulai menghilangnya musik klasik Indonesia–salah satunya keroncong.

“Kok, keroncong sebagai musik klasik makin tidak terdengar, padahal itu musik warisan pendahulu kita,” ujar pak Eko dengan nada suara yang meninggi dengan cengir tipis di bibirnya. Ia pun mengekspresikan belasungkawanya dengan menyampaikan hal miris yang diketahuinya tentang musik keroncong.
“Saya lihat Jepang, ada yang memainkan musik keroncong dengan lagu Bengawan Solo sebagai andalannya,” kemudian ia menunduk seraya berkata, “Jangan sampai orang luar lebih tahu tentang budaya kita dibandingkan kita sendiri”.
Kesadaran akan pentingnya seni, membuat seutas senyum tercetus dariku sembari memandangi wajah paruh bayanya. Pertanyaan tentang dari manakah pantikan tentang kesadaran terhadap seni itu muncul, tidak dapat dielakkan. Bak para tokoh renaisans yang terinspirasi dari kesenian dan kejayaan masa Yunani-Romawi, yang mana berusaha dihadirkan kembali dengan harapan adanya kemajuan di tengah masa kegelapan Eropa ‘dark age’. Itulah yang tengah dilakukan pak Eko dan kawan sebayanya.
“Mbah saya angkatan pertama keroncong di desa ini. Kemudian bapak saya, lalu dilanjutkan oleh saya.”
Sejak kecil, Pak Eko tidaklah asing dengan musik keroncong. Sebab pada tahun ‘70-an, kakeknya menjadi pemangku seni musik keroncong di Dusun Karang Duwet, Desa Tanjungan Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten. Dalam ingatan masa kecilnya, Pak Eko sering melihat orang berdatangan di rumahnya untuk melihat penampilan keroncong. Bapaknya pun ikut serta memainkan alat musik cak pada waktu itu.
Selang beberapa puluh tahun, terjadi kekosongan kesenian di dukuhnya. Ia juga tidak ingat apa penyebabnya. Kemudian sekitar tahun ‘90-an, bapaknya kembali menghadirkan kembali kesenian. Namun yang kedua nampak berbeda. Terekam jelas dalam ingatannya bagaimana perubahan minat warga terhadap musik keroncong. Sambutan mereka tak seantusias kali pertama musik keroncong hadir di desanya. Terlebih dengan usia yang menginjak lansia, bapaknya sudah tidak bisa mengampu kesenian di dukuh tersebut. Semakin runyam lah kondisinya.
Perjalanan Setelah Penghidupan Kembali
Tidak berbeda jauh dengan iklim keroncong saat diampu oleh ayahnya, Pak Eko dkk. para pencetus perkumpulan musik keroncong memiliki masalah yang serupa. Perbedaan generasi dan makin menurunnya pengetahuan kolektif tentang musik klasik menjadi kendala utamanya.
Pada awal pembentukannya, Pak Eko mengaku tidak mengalami kendala dengan pendanaan. Menurutnya, pendanaannya cukup untuk membeli beberapa alat musik, walau tidak lengkap. Waktu itu, perkumpulannya baru mempunyai alat musik cak, cuk, dan gitar.
Namun berita baiknya, perkumpulan keroncong tersebut mendapatkan perhatian dari pemerintah setempat. Dihibahkanlah sejumlah dana untuk mengembangkan perkumpulan keroncong tersebut. Sebagai ucapan syukur, pada 2002, perkumpulan keroncong tersebut diberi nama “Sekar Tanjung”. Dukungan dari pemerintah setempat membuat grup keroncong Sekar Tanjung menambah koleksi alat musiknya, yaitu violin, bass dan celo. Kembali bersemangatlah mereka semua.

Namun tak berlangsung lama, gempa sebesar 5,6 skala Richter melanda Klaten dan sekitarnya–termasuk Desa Tajungan–pada 2006. Akibatnya, alat-alat musik keroncong rusak tak tersisa.
Namun musibah gempa tak membuat Sekar Tanjung menciut semangatnya. Berkat dukungan dari pemerintah setempat juga warga, akhirnya sampai sekarang, perkumpulan musik keroncong Sekar Tanjung masih terus berlangsung, bahkan menjadi ikon kesenian Desa Tanjungan. Sampai saat ini, grup musik keroncong Sekar Tanjung sudah memiliki alat musik keroncong yang lengkap. Bahkan, mereka juga dipercayai oleh warga sekitar untuk menampilkan keseniannya pada acara-acara yang diadakan oleh warga.
Kendati demikian, grup keroncong ini tidak ingin ketinggalan zaman. Mereka juga mengaransemen musik pop dengan nada keroncong. Harapannya, musik keroncong tak hanya dapat dinikmati oleh golongan tua, tetapi juga para anak muda. Sehingga, genre musik keroncong tidak punah dan tetap lestari pada generasi selanjutnya.
Hayatun Nufus
Editor: Abi Mu’ammar Dzikri