Ekspresionline.com–Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) merupakan salah satu perguruan tinggi yang membuka akses belajar terhadap penyandang disabilitas. Menjelang pelaksanaan Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB), penyediaan layanan bagi calon mahasiswa baru penyandang disabilitas penting untuk diperhatikan sebagai bentuk kesediaan UNY dalam menerima mereka dengan lingkungan yang inklusif.
Pengadaan lingkungan kampus yang ramah bagi penyandang disabilitas selaras dengan Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016 yang mengatur kesetaraan hak-hak penyandang disabilitas, salah satunya hak pendidikan. UNY sendiri menetapkan panduan layanan disabilitas dalam Peraturan Rektor Nomor 9 Tahun 2023.
Pada Pasal 4 Peraturan Rektor tersebut dinyatakan bahwa ruang lingkup layanan bagi mahasiswa penyandang disabilitas di UNY dimulai sejak penerimaan mahasiswa baru, yang mana kegiatan PKKMB termasuk dalam rangkaian agenda penerimaan mahasiswa baru.
Pendampingan Panitia PKKMB Tahun 2023
Rosmeylla, salah satu panitia PKKMB tingkat fakultas menyatakan bahwa tidak ada fasilitas khusus bagi mahasiswa baru penyandang disabilitas saat orientasi tingkat fakultas. Namun, panitia memberikan pendampingan ketika rangkaian acara berlangsung.
“Kalau buat treatment-nya sendiri, tuh, nggak ada yang khusus ya, guys. Karena, ya, kita kan mengandalkan temen-temen mahasiswa. Cuma itu aja, sih. Mungkin kalau misal lagi acara didampingi, sih,” ungkap Rosmeylla pada wawancara (11/07/2024).
Hal ini ditegaskan oleh Violita, mahasiswa Tuli yang menjalani PKKMB tahun 2023. Ia mengungkapkan bahwa pemandu gugusnya saat itu senantiasa memberikan pengarahan dan kooperatif selama rangkaian acara berlangsung.
“Aku dapat banyak effort dari Kakak-Kakak Gugus. Pokoknya bener-bener diarahin. Ini yang di fakultas,” terangnya dalam wawancara pada (13/07/2024) melalui chat Whatsapp.
Akan tetapi, Violita juga menyebutkan kesulitannya saat pembinaan softskill dan technical meeting yang dilaksanakan sebelum PKKMB karena nihilnya juru bahasa isyarat saat pemaparan materi, sehingga Violita harus menggali informasi dan materi melalui teman. Adapun penggunaan transkripsi, hasilnya tidak ditampilkan persis dengan yang disampaikan karena kendala suara yang kurang jelas.
“Tapi kalau pas PKKMB, ada juru bahasa isyarat, tapi ya nggak full, gitu,” tambahnya.
Arwan Nur Ramadhan, selaku Staff Ahli Wakil Rektor Bidang Akademik, mengklaim bahwa pihak kampus telah menjamin kegiatan PKKMB yang berjalan inklusif.
Ia menyebutkan bahwa ada pendataan bagi mahasiswa penyandang disabilitas, sehingga mereka mendapat pendampingan khusus dari panitia PKKMB dan kebutuhannya terfasilitasi.
“Pake indra yang mereka bisa [Indra yang tidak memiliki hambatan], kita fasilitasi dari situ,” ungkapnya saat wawancara (11/07/2024).
Ia juga mengatakan bahwa pihak Kemahasiswaan telah memberikan pelayanan berupa juru bahasa isyarat bagi mahasiswa baru penyandang tunarungu. Namun, mereka tidak bisa menyediakan jalur pemandu khusus untuk tunanetra, maka dari itu panitia kembali diandalkan untuk mendampingi mahasiswa baru tunanetra.
Peran PLB Dalam Mengakomodasi Layanan Disabilitas UNY
UNY memiliki jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) yang memiliki peran dalam memberikan layanan disabilitas dalam kampus dan beberapa agenda kemahasiswaan, termasuk pelaksanaan PKKMB. Dalam hal ini, penempatan mahasiswa-mahasiswa relawan dilakukan pada PKKMB tingkat fakultas. Namun, yang terjangkau oleh relawan dari laboratorium PLB hanya Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi (FIPP). Sedangkan di fakultas lain, mahasiswa difabel mengandalkan bantuan teman ataupun panitia yang berjaga.
Ishartiwi, Ketua Unit Layanan Disabilitas (ULD) mengungkapkan bahwa pihak kampus dan ULD bekerja sama dalam menghadirkan lingkungan inklusif sebagai program dari kampus.
“Sudah, kalau itu sudah [bekerja sama dengan pihak kampus]. Karena itu jadi programnya UNY , ya, yang memang untuk mahasiswa disabilitas perlu ada pendampingan. Karena kita berada di dalam satu rumah, maka menjadi kewajiban bersama,” tuturnya saat wawancara dengan awak Ekspresi (10/07/2024).
Ishartiwi mengatakan bahwa PLB sudah lama dilibatkan dalam penerimaan mahasiswa baru untuk menanggulangi pelayanan disabilitas. UNY sendiri menerima mahasiswa penyandang disabilitas sejak tahun 1964, yang mana sistem ujian belum menggunakan komputer.
Saat itu, panitia khusus yang mendampingi calon mahasiswa difabel disesuaikan dengan kondisi masing-masing peserta. Bagi peserta tunanetra, pendamping akan membacakan soal dan menyampaikan jawaban peserta. Sedangkan peserta tunagrahita diberikan tambahan waktu dan ruang khusus.
Adapun peserta yang memiliki kondisi low vision diizinkan melakukan ujian di bawah sinar matahari untuk membantu penglihatannya.
Ishartiwi juga menyampaikan bahwa teknis penerapan layanan bagi penyandang disabilitas saat penerimaan mahasiswa baru disandarkan pada Panduan Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) dan Panduan Pelayanan Publik yang memayungi kebijakan disabilitas.
“Itu kan semua [teknis pelayanan disabilitas] sudah diatur di dalam panduan tersebut. Kalau proses ujiannya kan sama, ya. Tapi kalau panduan mendampingi anak ini harus seperti apa, anak ini harus seperti apa, itu kan tidak ada kekhususan sebetulnya. Karena kalau ujian itu kan lebih ke arah general, ya, yang penting terbacakan soalnya dan terjawab isinya. ‘kan seperti itu,” ujarnya.
Selain itu, para relawan dan pendamping yang ditugaskan terikat dengan kredibilitas komitmen untuk tidak membantu atau merugikan peserta ujian.
Kurangnya Kesadaran Warga Kampus Mengenai Kebutuhan Penyandang Disabilitas
Ishartiwi mengklaim bahwa akomodasi layanan disabilitas di UNY sudah cukup baik. Akan tetapi, tidak diimbangi dengan kesadaran warga kampus perihal kebutuhan disabilitas; dalam hal ini, dosen termasuk di dalamnya.
“…. belum semua [petugas] administrasi memahami [kebutuhan disabilitas]. Jadi, kadang-kadang datang ke situ [mahasiswa maupun wali] nggak bisa ngomong, akhirnya nggak ada pendamping [untuk menjalani proses penerimaan]. Termasuk dosen, kemungkinan ada sesuatu [alat bantu] kuliahnya, pakai misalkan hp karena dia [mahasiswa] menggunakan sistem speech-to-text, dikiranya main hp, dimarahi,” ungkapnya.
Minimnya kesadaran penduduk kampus berdampak pula pada akomodasi yang sudah disediakan untuk penyandang disabilitas, seperti parkir atau kursi disabilitas yang justru digunakan oleh orang non-difabel. Banyaknya mahasiswa yang masih belum concern terhadap hal ini. Ishartiwi menduga hal ini terjadi karena banyak mahasiswa yang tidak merasa berkaitan dengan penyandang disabilitas sehingga perasaan simpati menjadi minim.
Mengenai proses pembelajaran inklusif di dalam kelas yang belum merata, Ishartiwi, selaku Ketua ULD mengungkapkan upayanya untuk mensosialisasikan sistem. Yaitu dengan cara data mahasiswa difabel diberikan suatu kode atau tanda tertentu pada presensi atau data kelas, sehingga dosen yang mengampu kelas tersebut bisa memberikan ruang pembelajaran yang inklusif.
Ishartiwi juga mengungkapkan salah satu tantangan ULD dalam memperjuangkan pemahaman perihal kebutuhan disabilitas. “Persoalan lain, pengambil kebijakan ‘kan berganti-ganti, yang dulu paham [persoalan disabilitas], yang baru ini belum paham. Persoalannya di mekanisme,” tuturnya.
Selain minimnya kesadaran warga kampus, hal yang bisa menjadi evaluasi bagi pihak kampus adalah penempatan beberapa akomodasi disabilitas yang dirasa hanya disediakan untuk memenuhi kehadiran tanpa memerhatikan fungsi. Contohnya adalah jalur landai di area yang penempatannya tidak pas sehingga menyulitkan pengguna kursi roda melewati selasar.
Terkait hal ini, Ishartiwi mengakui bahwa ULD tengah merancang langkah untuk mengadakan panduan-panduan teknis pelayanan disabilitas.
Najwa Aulia Fatihah
Reporter: Najwa Aulia Fatihah, Aini Rizka Rahmadini, Dita Iva Sabrina, Lutfiya Lamya Dauratul Hikmah
Editor: Danang Nugroho