Ekspresionline.com–Maret 2020 adalah bulan ketika krisis perekonomian mulai menimpa keluarga Ira Nurastuti, mahasiswa Pendidikan Sosiologi, dan Indah Roseravita, mahasiswa Pendidikan Seni Tari. Ira dan Indah adalah mahasiswa yang sama-sama masuk kuliah pada 2017. Penghasilan keluarga mereka menurun signifikan sejak Maret hingga Juni.
Ayah Ira, yang bekerja sebagai pengemudi taksi daring, mengalami penurunan pendapatan lebih dari 1,5 juta rupiah per bulan. Penyebabnya, minimnya penumpang di masa pandemi. Sebelumnya, pendapatan Ayah Ira bisa mencapai angka 1,9 juta perbulan.
Ketika pandemi COVID-19 datang, pendapatan Ayah Ira tidak lebih dari 600 ribu per bulan. Pendapatan tersebut belum dikurangi pajak per trip sebesar 20%, biaya bensin, dan kebutuhan perawatan kendaraan. Jika ditotal, menurut Ira, pendapatan Ayahnya di masa pandemi tidak lebih dari 400 ribu per bulan. Sementara Ibu Ira bekerja sebagai ibu rumah tangga tentu tidak mendapatkan penghasilan.
Indah memiliki kondisi perekonomian yang tidak jauh berbeda dengan Ira. Sebelum pandemi, pendapatan keluarga Indah, bisa mencapai sekitar lima jutaan. Ketika pandemi datang, pada Maret sampai Juni lalu, pendapatan keluarga Indah sama sekali tidak ada.
“Meskipun tidak tentu, di masa sebelum pandemi penghasilan keluarga per bulan bisa sampai lima jutaan. Tapi, pas pandemi ini, pendapatan sama sekali tidak ada. Bener-bener nol rupiah,” terang Indah.
Bekerja sebagai buruh bangunan di Jakarta, Ayah Indah terpaksa harus dirumahkan karena proyek pembangunannya terpaksa berhenti di masa pandemi. Sejak Maret sampai Juni, ia pun terpaksa pulang ke Banjarnegara dan menganggur.
Sementara itu, honor Ibu Indah sebagai guru kesenian tidak dibayarkan oleh sekolah karena tidak adanya kegiatan. Pekerjaan sampingan yang biasa dikerjakannya sebagai tata rias, pelatih sanggar tari, dan penyelenggara acara kesenian pun terpaksa ditiadakan karena protokol kesehatan.
Ira dan Indah, tak pernah berharap adanya pandemi. Pendapatan keluarga mereka menurun drastis secara tiba-tiba. Sementara pengeluaran mereka tetap. Untuk mencukupi kehidupan sehari-hari, membayar UKT, dan membiayai pendidikan adik-adik mereka, keluarga Ira dan Indah harus rela menjual beberapa barang di rumahnya.
Keluarga Indah harus rela menjual satu motor dan beberapa perhiasan. “Pas lagi masa-masa sulit, buat sehari-hari kita kemarin sampai jual satu motor dan perhiasan. Karena berbarengan, engga ada pemasukan dan harus bayar UKT, ya, kita cuman bisa begitu,” terang Indah.
Tidak hanya Indah dan Ira, Ema Melida, mahasiswa Pendidikan Kimia 2018, harus rela menjual garasi rumah untuk membayar UKT guna dapat melanjutkan perkuliahan di semester ini.
“Kami punya garasi tapi modelnya gabung ke tetangga, nah, selama ini tuh disewakan. Terus karena benar-benar kepepet nggak punya uang jadi dijual buat bayar kuliah sama sekolah adek,” jelas Ema.
Hasil yang Tidak Sesuai
Terpuruknya kondisi perekonomian keluarga, membuat Ira dan Indah memutuskan untuk mengikuti sistem penyesuaian UKT di masa pandemi. Sistem tersebut pada mulanya memberikan harapan bagi Ira dan Indah yang ingin mengurangi beban keluarga di masa pandemi. Ditambah, mereka juga sama-sama masih memiliki adik yang juga harus dibiayai pendidikannya.
Keputusan Rektor tentang Juknis Penyesuaian UKT yang keluar pada 20 Mei lalu, adalah rujukan bagi siapa pun yang ingin mengajukannya. Ira dan Indah memilih SKIM 1, satu di antara empat SKIM atau kelompok lainnya dalam penyesuaian UKT. Pilihan tersebut diambil karena mereka merasa SKIM 1 adalah yang paling sesuai dengan kondisi.
SKIM 1 yang dipilih Indah dan Ira adalah pilihan bagi yang ingin mengajukan penurunan UKT. Persyaratannya cukup melampirkan berkas kondisi perekonomian orang tua sedang terpuruk. Tak ada ketentuan mahasiswa semester berapa dan mahasiswa dengan UKT golongan berapa.
Sementara, SKIM 2 adalah pilihan bagi mahasiswa UKT golongan 1 dan 2 yang ingin mengajukan pembebasan biaya kuliah. SKIM 3 juga adalah pengajuan pembebasan UKT, namun hanya mahasiswa yang sedang skripsian saja yang bisa mengajukannya. Terakhir ada SKIM 4, mahasiswa yang hanya ingin mengangsur UKT-nya, bisa memilih SKIM ini.
Setelah hasil penyesuaian UKT keluar, Ira dan Indah merasa kecewa karena hanya bisa turun satu golongan. Hasil tersebut tidak sesuai dengan kondisi perekonomian keluarga mereka di masa pandemi ini. Ira dari UKT 7 sebesar 4,9 juta hanya turun ke UKT 6 menjadi 4,2 juta. Sementara UKT Indah dari golongan 5 sebesar 4,2 juta hanya turun ke UKT 4 menjadi 3,6 juta.
“Cuman turun sekitar 600 ribu, haduh rasanya keberatan. Ya, kecewa aja kenapa cuman bisa turun satu tingkat. Aku kira turunnya bakalan sesuai dengan alasan kita mengajukan penyesuaianan. Ternyata sama sekali enggak sesuai dengan kondisi ekonomi saat ini,” terang Indah menuturkan kekesalannya.
Menurut Ira, Ibunya juga merasa kecewa dengan hasil penyesuaian UKT anaknya. “Ibuku bilang, kok dikit banget ya turunnya? Enggak bisa turun lebih lagi apa, ya? Kata Ibuku lagi, kok turunnya enggak disesuaiin sama kondisi ekonomi yang sebenernya, ya?” jelas Ira yang menirukan perkataan Ibunya.
Malik, mahasiswa FT juga merasakan hal serupa dengan Ira dan Indah. Ayah Malik yang bekerja sebagai buruh salah satu perkebunan di Semarang sudah dirumahkan sejak Desember 2019 dan mulai pensiun pada Februari lalu. Kondisi tersebut, yang berbarengan dengan datangnya masa pandemi, membuat Malik kecewa dengan hasil penyesuaian UKT-nya.
Sementara pendapatan Ibunya yang berprofesi sebagai buruh konveksi di kota yang sama, gaji per bulannya dipotong 30% karena pandemi. Proses pembayaran gajinya pun kini diangsur, tiga kali per bulan. Hal tersebut, mempersulit Malik untuk membiayai hidup sehari-hari dan membayar UKT.
Selain mereka masih ada Buya, mahasiswa FIK 2017 yang juga memiliki kekecewaan pada hasil penyesuaian UKT-nya. Sama-sama hanya turun UKT satu golongan, dari UKT 4 sebesar 3,6 juta ke UKT 3 menjadi 3,2 juta, membuat Buya harus pinjam sana-sini supaya tetap bisa berkuliah. Bahkan, ia sudah gali lubang tutup lubang untuk membayar kuliah semenjak semester lalu.
Pada mulanya, Ira, Indah, Buya dan Ema berharap tidak hanya turun satu golongan. Hanya turun sekian ratus ribu, menurut mereka, tidak terlalu berpengaruh terhadap kondisi perekonomian keluarga. Berdasarkan Juknis Penyesuaian UKT, di SKIM 1 yang mereka pilih, tak ada ketentuan bahwa hanya dapat turun satu golongan. Hal tersebutlah yang membuat mereka memilih SKIM 1 dan berharap tidak hanya turun satu golongan.
Menanggapi hal tersebut, saat ditemui di kantornya pada Jumat, 25 September lalu, Sukirjo, Kepala Bagian Keuangan UNY, mengatakan bahwa SKIM 1 untuk mahasiswa dengan UKT tiga ke atas memang hanya bisa diturunkan satu golongan.
Menurut Sukirjo, mahasiswa dengan UKT golongan tiga ke atas adalah mahasiswa yang masih mampu, sehingga hanya perlu diturunkan satu golongan, kendati di masa pandemi. Hal tersebut memang tidak tertulis di SK, tetapi menurut Sukirjo, sudah disepakati oleh para pimpinan universitas.
Sementara itu, di setiap rapat tim verifikator universitas, Rofidah Qanitah Taqiyyah, Wakil Ketua BEM KM, dan tim verifikator dari BEM lainnya berupaya agar mahasiswa dengan UKT tiga ke atas yang perekonomiannya terpuruk di masa pandemi tidak hanya turun satu golongan. Tetapi, menurutnya, pihak birokrasi selalu menolak pendapat tim verifikator dengan alasan mahasiswa UKT tiga ke atas masih dianggap mampu.
“Kami kesulitan untuk membuat birokrasi mau menurunkan lebih dari satu golongan. Padahal kalau dilihat berkasnya, memang banyak mahasiswa UKT tiga ke atas yang benar-benar membutuhkan. Beberapa ada yang turun bukan berdasarkan golongan UKT, tapi berdasarkan persentase UKT-nya, misal 25%, 50%, dan 75%. Tetapi, hanya sedikit yang sampai penurunan 75%,” jelas Rofidah.
Menyikapi para mahasiswa yang hasil penyesuaian UKT dirasa tidak sesuai, Sukirjo menganggapnya adalah hal yang biasa. Menurutnya ketidakpuasan pada hasil penyesuaian UKT mahasiswa dianggap sebagai sifat dasar manusia. Semua manusia menurutnya memang selalu punya rasa tidak puas.
“Ya, biasa itu. Semua manusia pasti begitu. Kalau ditanya puas atau tidak, pasti semua merasa tidak puas. Namanya orang minta, pasti mintanya besar,” jelas Sukirjo.
Selain itu, Sukirjo juga menyalahkan mahasiswa-mahasiswa yang tidak pernah bersyukur dengan penurunan UKT yang diberikan UNY. Menurutnya, mahasiswa terlalu banyak meminta keringanan UKT ke UNY. Sementara di sisi lain, mahasiswa tidak pernah berpikir bagaimana program-program kegiatan berjalan, bagaimana gedung-gedung baru bisa dibangun.
Sukirjo juga menambahkan jika terlalu banyak memberikan bantuan kepada mahasiswa, UNY terancam bangkrut. UNY di tahun ini, menurutnya lebih banyak pengeluarannya daripada pendapatan. Data tersebut, menurutnya baru bisa dipublikasi ketika di akhir tahun 2020, Desember nanti.
Tidak Adanya Penjelasan
Sudah dua kali Alfin Kurniawan, mahasiswa Pendidikan Luar Sekolah angkatan 2019, mengajukan penurunan UKT ke rektorat. Dua kali pula pengajuan Alfin tidak diterima tanpa penjelasan dari birokrasi. Pertama, ia lakukan pada semester satu, dan yang kedua pada semester tiga ketika adanya sistem penyesuaian UKT di masa pandemi tahun ini.
Pendapatan ayahnya sebagai guru honorer dan Ibunya penjual nasi dan lauk-pauk, di masa pandemi, tak sanggup untuk membayar UKT Alfin. Dengan penghasilan keluarga di masa pandemi sebesar 1,1 juta per bulan, mesti harus dibagi-bagi untuk makan sehari-hari dan membiayai kedua adiknya yang masih bersekolah serta kakaknya yang berkuliah di UGM.
Sejak pengajuan penurunan UKT di semester satu sampai saat ini, semua berkas yang menjadi persyaratan perekonomian telah Alfin lampirkan. Ia melampirkan berkas-berkas berupa: Surat Program Keluarga Harapan (PKH), surat keterangan rentan miskin, surat dari kelurahan tentang penurunan ekonomi, dan surat penurunan gaji dari tempat kerja.
Sementara itu, Indah merasa berkas-berkas yang ia dan mahasiswa lain kumpulkan di sistem penyesuaian UKT, menjadi tidak berguna. Tapi Indah tidak tahu, kenapa hasilnya tidak sesuai dengan kondisi ekonomi keluarga. Apakah berkas-berkasnya kurang membuktikan bahwa perekonomian keluarga sedang terpuruk, Indah juga tak tahu. Apa alasan Indah hanya mendapatkan penurunan UKT satu golongan, ia juga tak pernah tahu. Begitu pula dengan Buya dan Ira, mereka tak pernah mendapatkan penjelasan soal hasil penyesuaian UKT-nya.
“Kalau memang ada berkas yang kurang, yang kurangnya di mana, kan bisa aku lengkapin. Tapi aku enggak tau kenapa turunnya cuman satu golongan,” jelas Ira.
Hal tersebut diamini oleh Rofidah. Menurutnya, mahasiswa yang sudah diterima penyesuaian UKT-nya memang tidak diberikan penjelasan. Sedangkan, penurunan UKT hanya satu golongan di SKIM 1 menurut Rofidah juga termasuk sudah diterima pengajuannya. “Jadi semua yang diterima, termasuk yang hanya diturunkan satu golongan, itu tidak diberikan penjelasan,” kata Rofidah.
Selaras dengan Rofidah, menurut Sukirjo, semua yang ditolak atau dialihkan ke SKIM, kecuali yang diterima, pasti diberikan alasannya. “Semuanya di kolom komentar, sudah kami berikan penjelasannya. Kekurangan berkasnya di mana dan ditolaknya kenapa,” terang Sukirjo.
Akan tetapi, pernyataan Sukirjo bertentangan dengan apa yang dialami oleh Alfin. Ia yang ditolak dan dialihkan ke angsuran tanpa diberikan penjelasan sama sekali oleh birokrasi. Alfin kepada Ekspresi memberikan tangkapan gambar pada sistem penyesuaian UKT-nya. Di situ, tidak terlihat adanya alasan mengapa ia ditolak dan dialihkan ke angsuran.
Tak sanggup membayar angsuran, Alfin tak mau berpusing-pusing dan lebih memilih untuk cuti. “Dari permohonan penurunan itu, saya malah dialihkan ke skim angsuran. Tidak tahu kenapa hasilnya begitu. Ya sudah, akhirnya saya cuti”, jelas Alfin.
Reza Egis
Reporter: Reza Egis dan Fatonah Istikomah
Editor: Abdul Hadi
1. Kisah Muram Pengaju Penyesuaian UKT di Masa Pandemi
2. Minimnya Keterlibatan Mahasiswa dalam Sistem Penyesuaian UKT