Peringatan:
Tulisan ini tidak memiliki muatan berlebihan dalam merespons bencana alam yang dialami masyarakat Cianjur. Selain alasan praksis dan kapasitas pengetahuan, kami tidak menghendaki publikasi ini justru memperlebar trauma yang hari ini belum benar-benar selesai.
Tulisan ini berupaya merespons problem kemanusiaan kita. Problem kemanusiaan yang hadir ketika kami menyaksikan aksi-aksi volunterisme sebagai arus investasi kapital. Lebih dari itu, secara tega membangun lumbung-lumbung politik di sekitarnya, alih-alih berempati terhadap korban bencana alam.
Ekspresionline.com–Belum tuntas problem kemanusiaan yang telah menggenosida ratusan manusia di Kanjuruhan, belakangan kita justru dikejutkan dengan sebuah musibah yang menimpa pengalaman sosial di Cianjur.
Ania Loomba, dalam bukunya Kolonialisme/Pascakolonialisme (2006), memberi penjelasan menarik bahwa kolonialisme bekerja sebagai fenomena yang berulang, bahkan tersebar.
Kolonialisme telah menyebar dan dekat dengan keseharian kita. Ia telah merenggut ruang-ruang vital. Dalam konteks kebutuhan, ia telah mengubah struktur perekonomian kita menuju struktur kapital yang mengokupasi ritme kehidupan kolektif. Dalam konteks pelaku, ia bukan hanya dibebankan pada supremasi kulit putih, melainkan pemegang modal dan kuasa lokal.
Akan sangat mentah apabila historiografi dominan menempatkan kolonialisme sebatas fenomena usang yang sudah lewat atau hanya dilakukan oleh negara-negara Eropa. Sekaligus sangat naif apabila kita kadung mengamini narasi dominan tersebut.
Membongkar Volunterisme Arus Utama
Teknologi dan arus informasi yang cepat hari ini memungkinkan siapapun, bahkan di manapun terlibat dalam aksi-aksi solidaritas. Namun, dua moda besar ini nampaknya justru memfasilitasi kerja-kerja bantuan yang kadung diterima secara massal.
Belum lama ini, kami bersama gerakan-gerakan solidaritas mendapati banyak sekali bantuan yang diterima masyarakat Cianjur. Bantuan berupa sembako, tenda-tenda darurat, hingga infrastruktur darurat lainnya diberikan oleh pemerintah. Para pemegang modal dari berbagai daerah pun tak telat nimbrung.
Urung genap seminggu, kami mendapati Non-governmental Organisation (NGO) dan berbagai yayasan independen lainnya—yang terindikasi sebagai agen kapitalisme—dituntut gencar melaporkan data kepada atasannya. Mereka melakukan pendataan, memasuki setiap tenda-tenda darurat, kemudian memfoto dan mewawancarai korban satu persatu.
Belum berhenti di situ, kegetiran berlanjut ketika data dan trauma yang telah mereka peroleh, dikomersialkan kepada publik melalui media digital.
Melalui kerja-kerja volunterisme semacam ini, trauma berusaha direduksi melalui representasi data dan angka-angka statistik. Trauma berusaha diabadikan melalui foto dan arsip visual tanpa konsensual sama sekali dari pihak korban. Trauma berusaha dialih tukarkan melalui uang dan berbagai upaya penggalangan dana lainnya.
Bersolidaritas tampaknya sebatas dimaknai perputaran arus kapital. Arus kapital menganggap korban sebagai masyarakat liyan yang tengah membutuhkan bantuan materialistik—asupan modal—untuk segera pulih dari keadaan.
Tak berhenti di situ. Kegetiran kembali menyasar kepada pemerintah yang mulai mewacanakan perlunya pembangunan infrastruktur dan proyek penataan ulang lainnya kepada masyarakat Cianjur.
Butuh tenaga dan modal besar demi mewujudkan wacana restorasi semacam ini. Sehingga perlu kiranya untuk mempertanyakan, apakah wacana ini hadir dari buah empati pemerintah yang merepresentasikan kebutuhan korban? Sebaliknya, apakah mereka justru hadir atas kebutuhan modal-modal baru guna membangun sirkulasi kapital yang lebih besar dan masif?.
Jika benar demikian, memakai amal atau bantuan tampaknya menjadi modus alternatif yang lebih efisien untuk melanggengkan arus kapital semacam ini. Tak perlu lagi penggusuran atau bersitegang dengan masyarakat perihal perizinan.
Mereka dimudahkan dengan hancurnya—karena bencana—perkampungan-perkampungan yang dianggapnya kumuh atau tradisional. Selepas itu, pemerintah atau pemilik modal tinggal menyumbul ke permukaan, cari muka ke publik.
Mereka tampil dengan gagasan solutif semu. Maksud kami, kehadirannya bertujuan menganggarkan wacana restorasi pasca-krisis. Kemudian, dibangunlah tatanan baru yang sesuai kebutuhan kapitalismenya.
Hasrat berempati beralih menjadi hasrat investasi kapitalistik. Hasrat untuk membangun posko-posko bantuan dialihkan menjadi hasrat untuk meletakkan identitas politis. Di samping itu, lumbung-lumbung anyar yang lebih “besar” dan “modern” didirikan, lantas menyerap para korban bencana sebagai tenaga kerja baru.
Melampaui Volunterisme Menuju Gotong Royong
Heroisme, merasa berjasa, dan bentuk kejemawaan lainnya menjadi hal memuakkan dari munculnya kerelawanan berdalih narasi amal. Bahwa yang hebat adalah mereka yang “turun ke lapangan” dan “menolong sesama”, sementara konsep “turun” adalah cara berpikir dungu.
Perspektif “turun ke lapangan” berusaha mereproduksi ide bahwa kedudukan pemberi lebih tinggi dibandingkan penerima. Bahwa penguasa lebih adiluhung ketimbang rakyat. Bahwa penolong lebih mulia dari yang ditolong.
Bukankah tolong menolong adalah wajar? Bukankah tolong menolong memang hasrat alamiah manusia? Bukankah saling membantu adalah dorongan natural kita?
Petr Kropotkin, seorang pemikir Rusia, pernah menulis soal ini. Kropotkin berpendapat bahwa tolong menolong adalah hal yang alamiah dalam perkembangan peradaban manusia. Pendapat ini ditujukan untuk melawan teori Charles Darwin yang melihat bahwa berkompetisi (seleksi alam) merupakan perilaku normal. Bagi Darwin, tak akan ada kemajuan peradaban tanpa kompetisi yang melahirkan seleksi alam, memunculkan pemenang tunggal.
Kropotkin tak sepakat dengan ide-ide yang menekankan permusuhan dan persaingan. Gagasan Darwin mengenai survival of the fittest justru digunakan untuk membenarkan kemiskinan, kolonialisme, ketidaksetaraan gender, rasisme, dan perang sebagai proses “alami”—bawaan genetis. Perang, kekerasan, dan penghancuran, dianggap sebagai pendorong bagi kemajuan peradaban manusia.
Kropotkin melihat lebih jauh, manusia sebagai “spesies” bisa bertahan dalam lintasan sejarah karena saling tolong menolong. Justru, spirit kolektif yang membuat kita berevolusi, bukan persaingan, bukan pula kompetisi.
Dengan nada meyakinkan, Kropotkin menulis, “Yang terkuat dalam proses perkembangan peradaban bukanlah yang paling kuat secara fisik, bukan yang paling licik, tetapi mereka yang belajar untuk bekerja sama, sehingga bisa saling mendukung satu sama lain.” (Kropotkin, 1902).
Mewajari tindakan saling tolong menolong dalam peradaban adalah perkara penting. Kita melakukan tindakan itu bukan karena ingin mengejar capaian amal, mengejar prestise, atau mengejar simbol-simbol moral lainnya. Kita melakukannya karena sadar berada dalam proses panjang “menjadi manusia”. Kita mewujudkannya karena “saling tolong menolong” mengalir dalam genetika sosio-kultural manusia.
Setiap terjadi peristiwa kebencanaan, upaya kita “menjadi manusia” digugat. Bencana alam merupakan “tantangan” paling purba dalam peradaban kita. Kebudayaan lokal di seluruh kawasan Nusantara telah merekam cara para leluhur melampaui segenap bencana alam.
Masalahnya kemudian, mengapa volunterisme arus utama terjebak dalam ide-ide yang menormalisasi kolonialisme?
Kemuakan ini semakin berlapis jika ada satu unsur tambahan, yaitu kontestasi kuasa. Agenda saling tolong menolong bisa berubah jadi ajang pencitraan politik. Ketika pemberi, penolong, dan penguasa ditampilkan sebagai manusia yang mampu “mengangkat derajat” populis.
Fotografi dan jurnalisme banal turut melanggengkan persepsi timpang ini. Si penolong masuk dalam bingkai ‘frame’ sebagai sosok menonjol, sementara yang ditolong hanya berada pada pinggiran frame. Seakan-akan, mereka hanya aksesori bagi foto-foto yang tercetak di tajuk utama surat kabar.
Volunterisme arus utama jatuh pada jebakan kuasa. Ia menjadi ruang-ruang yang gampang diintervensi dan ditunggangi oleh mereka—pemegang otoritas dan produser citra politik.
Referensi:
Kropotkin, Petr. (1902). “Mutual Aid: A Factor of Evolution”. Anarchy Archives. London: Heinemann
Loomba, Ania. (2020). Kolonialisme/Pascakolonialisme. Yogyakarta: Narasi.
Howe, David. (2015). Empati. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Keterangan: Redaksi telah mengubah judul tulisan dari “Kolonialisme Berdalih Bantuan: Volunterisme dan Kapitalisasi Bencana” menjadi “Kolonialisme Bantuan: Volunterisme Arus Utama dan Kapitalisasi Bencana” karena alasan teknis dan perspektif wacana.
Suden dan Amos (Kontributor)
Editor: Abi Mu’ammar Dzikri
1. Kolonialisme Bantuan: Volunterisme Arus Utama dan Kapitalisasi Bencana
2. Jurnalis dan Manusia di Tengah Bencana
3. Wisata Gempa