Ahmad Nashih Luthfi, dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Negara (STPN) Yogyakarta, mengatakan bahwa kasus pertanahan di Yogyakarta sudah memasuki ranah pelanggaran HAM. Ia menyayangkan rekomendasi yang dikeluarkan oleh lembaga penegak hak asasi manusia di Indonesia ini lemah dan tidak mengikat. “Masalahnya posisi Komnas HAM tidak punya kekuatan eksekusional yang mengikat. Komnas HAM hanya memberikan rekomendasi dan yang menjalankan tetap pemerintah,” tegasnya saat ditemui di kantornya (15/6).
Hal itu tercermin dari sikap Kepala Biro Hukum Sekretaris Daerah DIY, Dewo Isnu Broto, yang mengatakan bahwa Pemda DIY menolak rekomendasi Komnas HAM. Dewo bersikukuh, pihaknya tidak akan melaksanakan surat rekomendasi Komnas HAM hingga ada keputusan pengadilan. Menurutnya, Komnas HAM sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk memerintahkan pencabutan Instruksi Kepala Daerah 1975 tersebut. “Kecuali kalau putusan pengadilan saya harus mencabut. Pemda tidak akan menanggapi sampai ada keputusan pengadilan yang sesungguhnya seperti apa,” tegas Dewo dilansir dari Harian Jogja (16/9).
Ditanya terkait dengan penolakan Pemda DIY tersebut via telepon, salah satu Komisioner Komnas HAM, Dianto Bachriadi, mengatakan, Komnas HAM secara resmi belum menerima surat penolakan dari Pemda DIY. “Kami tidak pernah mendapatkan surat yang menyatakan bahwa Pemda DIY menolak rekomendasi kami,” tegasnya (12/11). Kalaupun memang iya, kata Dianto, penolakan tersebut belum dinyatakan secara formal oleh Pemda DIY kepada Komnas HAM.
Meskipun demikian, Dianto membenarkan bahwa Komnas HAM tak memiliki kuasa apapun untuk menuntaskan sebuah kasus pelanggaran HAM. “Sebagai sebuah lembaga, Komnas HAM memang masih sangat lemah,” terang Dianto. Lemahnya kuasa Komnas HAM atas sebuah kasus, terang Dianto, membuat keberadaannya tak lebih dari sebuah lembaga pengawasan.
Sebelumnya, pada tanggal 11 Agustus 2014, Komnas HAM mengeluarkan surat rekomendasi bernomor 037/R/Mediasi/VIII/2014. Surat itu berisi imbauan agar Gubernur DIY segera menyatakan tidak berlaku lagi atau mencabut Instruksi Kepala Daerah 1975. Rekomendasi tersebut muncul menanggapi surat yang dikeluarkan Sekretarus Daerah DIY bernomor 593/00531/RO.I/2012 yang dikeluarkan tanggal 08 Mei 2014. Dalam surat itu, Pemda DIY menyatakan Instruksi Kepala Daerah 1975 masih berlaku sebagai sebuah affirmative policy guna melindungi warga pribumi agar kepemilikan tanah tidak beralih kepada warga atau pemodal yang secara finansial memiliki kemampuan lebih atau kuat.
Setahun kemudian, karena rekomendasi tersebut diabaikan, Komnas HAM kembali mengirim rekomendasi yang kedua kepada Gubernur DIY. Kendati demikian, surat bernomor 069/R/Mediasi/VIII/2015 itu juga tak kunjung ditindaklanjuti.
Dianto menambahkan, Komnas HAM memang tidak memiliki kapasitas lebih dari pemberian rekomendasi. Menurutnya, jika rekomendasi memang belum direspons, tindakan yang paling mungkin untuk dilakukan adalah pemberian surat rekomendasi lanjutan yang sifatnya lebih keras, “Kewenangan Komnas HAM memang hanya sebatas pemberian rekomendasi, tidak lebih.”
Keluhan mengenai minimnya wewenang yang dimiliki Komnas HAM sebenarnya sudah diutarakan sejak lama. Saat Peristiwa Lima Belas Januari (Malari), keluarga korban saat itu menyayangkan tidak ada banyak hal yang bisa dilakukan Komnas HAM untuk mengusut tuntas kasus tersebut. Terbatasnya upaya Komnas HAM dikarenakan kewenangan penyidikan dan penuntutan atas pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Jaksa Agung.
“Masalahnya posisi Komnas HAM tidak punya kekuatan eksekusional yang mengikat. Komnas HAM hanya memberikan rekomendasi dan yang menjalankan tetap pemerintah,” Ahmad Nashih Luthfi.
Wewenang Komnas HAM memang belum bisa sebanyak komisi-komisi lain yang dibentuk pemerintah. Tidak seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mempunyai hak untuk melakukan penyidikan higga penetapan tersangka korupsi. Wewenang tersebut diberikan pada KPK karena menurut UU Nomor 30 Tahun 2002, KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Berbeda halnya dengan Komnas HAM. Meskipun secara hierarki Komnas HAM memiliki posisi sejajar dengan komisi-komisi lain bentukan negara, tapi dalam pelaksanaan fungsi, tugas dan kewenangan Komnas HAM harus memberikan laporan kepada presiden dan DPR.
Tugas dan kewenangan Komnas HAM diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Pada Pasal 89 dijelaskan bahwa wewenang Komnas HAM sebatas untuk memberikan rekomendasi mengenai pembentukan, perubahan, dan pencabutan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Rekomendasi tersebut, terang Dianto, sangat mungkin untuk diterima maupun ditolak. Meskipun demikian, Dianto mengungkapkan bahwa sikap Pemda DIY yang urung untuk mencabut Instruksi Kepala Daerah 1975, sama artinya telah melanggengkan diskriminasi di Yogyakarta.
Bayu Hendrawati
Laporan oleh Aziz
Tulisan ini kali pertama tayang di majalah EKSPRESI Edisi XXIX November 2016 “Diskriminasi Rasial Pertanahan Yogya”