Ekspresionline.com—Tindakan represif yang dilakukan aparat saat demonstrasi penolakan Omnibus Law merupakan bukti bahwa pemerintah telah menyalahi konstitusi dengan memfungsikan aparat sebagai alat pemerintah, alih-alih sebagai alat negara. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Asfina Wati, perwakilan Fraksi Rakyat Indonesia (FRI), saat konferensi pers Jejaring Gerakan Rakyat pada 12 Oktober 2020. Agenda tersebut diadakan secara daring melalui Zoom dan siaran langsung Youtube.
Menurutnya, sebagai alat negara, polisi seharusnya membersamai dan melindungi rakyat dalam situasi apa pun, termasuk dalam unjuk rasa.
Dalam kesempatan yang sama, Tim Advokasi untuk Demokrasi yang diwakili oleh Muhammad Afif Abdul Qoyyim mengungkapkan bahwa pola pengendalian massa yang dilakukan aparat cenderung ngawur. Polisi terkesan mengancam massa aksi secara tidak langsung ketika berkumpul dan menyuarakan aspirasinya di muka umum.
“Di beberapa tempat kita menemukan fakta. Selama massa aksi berkumpul, tidak jauh dari titik kumpul, sekitar 200 meter di depan, itu kelompok-kelompok petugas berpakaian hitam sudah siap dengan senjata dan tameng, seperti hendak berlawanan dengan massa aksi,” jelas Afif.
Afif juga menegaskan bahwa tindakan aparat yang seperti itu telah dilegitimasi melalui Surat Telegram Kapolri tertanggal 2 Oktober 2020. Isi dari Surat Telegram Rahasia (STR) Kapolri ini merupakan perintah mengerahkan fungsi intelejen untuk melarang demonstrasi serta upaya kontranarasi.
“Sebetulnya, semua kekerasan yang kawan-kawan sebutkan tadi [para pembicara konferensi pers] sudah direncanakan. Perencanaan itu bisa dilihat dari Surat Telegram Kapolri. Kriminalisasi dan kontranarasi itu ada dalamnya. Kontranarasi ini mereka lakukan setidak-tidaknya melalui framing, pemelintiran kebencian, dan fitnah seperti mengatakan ada hoaks”
Akumulasi Gerakan Rakyat dari Aksi-aksi Sebelumnya
Menurut Ikhsan Kamil, perwakilan dari Geger Banten, rentetan aksi tersebut dilakukan bukan disebabkan hoaks atau pun ada penunggang di baliknya. Aksi itu murni sebagai akumulasi keresahan rakyat yang telah jauh-jauh hari menolak adanya Omnibus Law. Negara dianggap telah gagal dalam menjalankan fungsinya memenuhi hak-hak rakyat.
“Aksi yang telah berlangsung beberapa waktu lalu selama tanggal 6-8 Oktober 2020, di mana aksi-aksi tersebut menurut kami merupakan suatu aksi-aksi yang dibentuk atas akumulasi kemarahan rakyat, atas ideologisasi, atas edukasi, atas propaganda kemarahan-kemarahan rakyat terhadap kegagalan negara dalam menjamin kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan seluruh rakyat Indonesia,” tutur Ikhsan.
Hal tersebut senada dengan pernyataan Anisa sebagai perwakilan dari Paramedis Jalanan. Ia juga menyesalkan tidak adanya respons positif dari pemerintah meskipun penolakan terhadap undang-undang tersebut sudah dilakukan sejak lama.
“Kami melihat bahwa aksi yang telah terselenggara adalah aksi yang datang dari suara rakyat. Bermula dari 2019 akhir sampai awal 2020, sudah ada banyak penolakan tapi tidak digubris. Terbaru, ada kabar bahwa banyak massa dituduh sebagai orang-orang yang terkena hoaks.”
Pernyataan Sikap
Dalam konferensi pers tersebut juga dilakukan pembacaan pernyataan sikap Jejaring Gerakan Rakyat oleh Nining, perwakilan dari Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak). Ada pun isinya antara lain:
- Tetap turun aksi ke jalan untuk memberikan tekanan politik kepada rezim dan negara hingga dicabutnya UU Cipta Kerja Omnibus Law.
- Membangun persatuan gerakan rakyat akar rumput nasional untuk menguatkan barisan perlawanan dan pembangkangan sipil yang lebih besar dan masif, serta meningkatkan posisi tawar di hadapan publik.
- Tetap melakukan jejaring koordinasi, konsolidasi, dan membentuk perlawanan dengan berbagai macam taktik menyelesaikan kekhususan wilayah masing-masing untuk fokus menolak Omnibus Law sampai batal.
- Perlawanan atas tindakan kekerasan, intimidasi, kriminalisasi, teror, dan pembungkaman kebebasan berbicara dan berserikat serta pengerahan kekuatan berlebih dalam penanganan-penanganan aksi langsung di jalan, di kampus, di kawasan industri yang dilakukan oleh negara terhadap rakyat sipil.
Selain itu, Aliansi rakyat Bergerak (ARB) yang diwakili oleh Revo juga menyatakan landasan disusunnya pernyataan sikap bersama tersebut. “Pertama, untuk mengintegrasi gerakan melawan narasi yang digaungkan pemerintah. Kedua, kami ingin menyerukan untuk tetap turun ke jalan sehingga akan memberikan nilai tawar yang lebih tinggi dan terus mengajak masyarakat lain agar rezim Jokowi mencabut Omnibus Law. Ketiga, melawan narasi uji materi MK karena itu adalah jebakan yang telah disiapkan oleh pemerintah dan juga melawan narasi penunggangan aksi karena gerakan ini murni dari rakyat. Keempat, melawan cyber patrol dan kekerasan oleh aparat negara atau melawan upaya pembungkaman oleh aparat dan Kemendikbud karena kebebasan berpendapat adalah hak yang harus dijaga. Kelima, pengesahan UU Omnibus Law adalah menjadi puncak kemarahan rakyat yang selama ini tumbuh secara sembunyi-sembunyi atas ketidakadilan dan ketidakberpihakannya dipertontonkan secara nyata oleh penguasa di negeri ini.”
Mengenai tindakan represif yang dilakukan aparat di berbagai daerah yang menggelar aksi, Hakasasi melaporkan data jumlah korban penangkapan di 33 kota yang tersebar di 20 provini. Dilansir di akun Twitternya, sebanyak 4.905 orang ditangkap dalam periode 7-8 Oktober 2020.
Selain terhadap massa aksi, aparat juga melakukan tindakan serupa terhadap jurnalis. Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) melaporkan adanya represi yang menimpa jurnalis, di antaranya ada delapan jurnalis umum dan 28 jurnalis mahasiswa. Padahal, mereka telah mengenakan atribut pers di lokasi demonstrasi.
Fadli Muhammad
Editor: Fiorentina Refani