Oleh Amos
(Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah 2019)
Ekspresionline.com—Mengutip Hegel, mustahil meraih kebenaran sejati tanpa proses dialektika. Dialektika merupakan proses yang didasarkan oleh tesis, lalu dibantah dengan antitesis, yang akhirnya menghasilkan sintesis. Sintesis adalah hasil dari tesis dan antitesis yang saling bertabrakan. Untuk mendapat kebenaran sejati, Descartes juga menerapkan skeptisisme, yaitu proses meragukan segala sesuatu untuk mendapat kebenaran sejati. Atas dasar pemikiran itulah tulisan ini dibuat.
Aksi Gejayan Memanggil dan berbagai aksi di daerah lain masif dilakukan. Ribuan mahasiswa turun ke jalan, berteriak, dan menyuarakan tuntutannya. Media dan pers mahasiswa gencar memberi kabar, mahasiswa rajin unggah instastory, dan dunia Twitter jadi heboh sekali.
Tapi, beberapa pertanyaan yang esensial perlu diajukan untuk mencari kebenaran utuh dari semua hal yang dilakukan dalam gerakan mahasiswa. Apakah semua ini memiliki legitimasi politik yang berpengaruh? Apakah aksi massa memiliki sebuah kematangan intelektual massal? Atau semua ini hanya aksi damai (yang teatrikal) saja? Apakah sandiwara ini diakibatkan kompleks mesias (messiah complex) dari gerakan mahasiswa itu sendiri?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut cukup mewakili keresahan saya selama berada dalam barisan aksi Gejayan Memanggil. Memahami berbagai gerakan mahasiswa hari ini, sepertinya saya menemukan sebuah subjudul yang tepat.
Antara Pragmatisme dan Bergaya
Soal pengaruh legitimasi sosial politik dalam aksi mahasiswa hari ini, saya skeptis. Karena begini, coba kita lihat rentang sejarah gerakan mahasiswa dari tahun 1966, 1972, 1998. Coba bandingkan, aksi-aksi yang dimotori Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Arief Budiman dan kolega, lalu Dewan Mahasiswa (DEMA) seluruh Indonesia. Secara politik, jika aksi mahasiswa memiliki dukungan politik dari luar pemerintahan, maka legitimasinya kuat sekali.
Contoh, ada militer yang mendukung aksi mahasiswa tahun 1966, terutama dari Angkatan Darat. Soe Hok Gie mengakui dukungan Angkatan Darat secara langsung dalam beberapa tulisannya. Selain itu terlihat juga setelah Soekarno lengser, banyak aktivis mahasiswa yang direkrut menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat di era Orde Baru. Loncat ke ‘98, gerakan mahasiswa tidak akan semasif itu tanpa dukungan politik dari Megawati, Amien Rais, dan gerakan Partai Rakyat Demokratik (PRD) beserta ormas-ormas mereka.
Berbanding terbalik jika kita mengambil contoh aksi penolakan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada 1971-1972. Masa itu tidak ada kekuatan politik eksternal yang mendukung gerakan mahasiswa. Sedangkan Orde Baru sedang kuat sekali secara politik, ekonomi, dan birokrasi. Aksi penolakan TMII akhirnya kandas juga. Membuktikan bahwa gerakan mahasiswa secara individual saja tidak cukup. Student power saja tidak cukup punya legitimasi politik—dalam beberapa kasus gerakan mahasiswa di Indonesia.
Mustahil jika gerakan mahasiswa merasa bisa menggulingkan pemerintahan hari ini tanpa tunggangan politik dari pihak eksternal. Seperti contoh-contoh tadi, gerakan mahasiswa lebih baik jangan terlalu percaya diri karena pernah menggulingkan dua presiden kuat. Narasi bahwa mahasiswa memiliki andil politik terhadap kejatuhan sebuah orde pemerintahan harus dipikir ulang. Memang benar bahwa dua presiden Indonesia pernah dijatuhkan mahasiswa, tapi andil kekuatan politik eksternal pun mutlak berpengaruh.
Makanya saya heran di daerah lain—Makassar contohnya (aksi mahasiswa Universitas Muslim Indonesia)—ada narasi menggulingkan pemerintah. Ini menjadi kelemahan, karena ada rasa percaya diri berlebihan dalam pemikiran banyak aktivis gerakan mahasiswa. Merasa bahwa andil historis gerakan mahasiswa sangat besar dalam penggulingan Soekarno dan Soeharto. Jadi, hati-hati terkurung dalam penjara overconfidence dan terjebak dalam pasungan legitimasi politik (semu).
Selanjutnya, kelemahan gerakan mahasiswa hari ini adalah diskursus politik. Tidak dapat dimungkiri, salah satu hal pokok dalam gerakan mahasiswa ’90-an adalah radikalisasi politik. Diskursus politik berlangsung dengan sangat gencar dan dalam, terlihat dari munculnya berbagai kelompok diskusi di berbagai daerah seperti Yogya, Salatiga, Bandung, Jakarta, dan daerah-daerah lain. Kajian-kajian politik yang filosofis hampir menyebar secara rata di beberapa daerah. Entah spektrum politik mana yang dominan dikaji, intinya berbagai spektrum pemikiran benar-benar dibicarakan serius, dari kanan hingga kiri.
Aksi massa tidak akan berarti apa-apa tanpa perkembangan diskursus sosial politik yang mendalam. Intelektualitas gerakan perlu dipertanyakan, apalagi yang menyangkut pokok-pokok gerakan. Mulai dari kajian terhadap tuntutan, metode pendekatan intelektual secara akar rumput, sampai tahap-tahap mempersiapkan pendidikan politik berkepanjangan untuk gerakan. Sekarang begini, berapa banyak mimbar bebas yang dibuat untuk menanggapi isu KPK? Berapa banyak diskusi atau debat publik menanggapi wacana referendum Papua? Berapa banyak pendidikan politik dan hukum terhadap isu RKUHP? Apakah sebanyak rapat aksi? Atau sebanyak konsolidasi aksi di kampus? Silakan pembaca menyimpulkan sendiri.
Konsep intelektualitas bukan hanya perkara akademis saja, tapi perkara diskursus, pendidikan politik, sampai pemahaman historis gerakan mahasiswa. Pemahaman para penggerak terhadap akar gerakan harus benar benar dalam. Karena jika tidak seperti itu, akan terjadi hal-hal konyol dalam aksi maupun diskursus (termasuk pernyataan sikap juga).
Kadang saya berpikir bahwa banyak hal menguntungkan bagi gerakan mahasiswa pada masa Orde Baru. Rezim yang represif membuat gerakan mahasiswa benar-benar menjelajahi dan menguliti berbagai pemikiran. Lalu, mereka secara intensif melakukan diskursus secara (luar biasa) mendalam. Seperti mendengar cerita Bumi Manusia yang diselundupkan hati-hati, lalu buku-buku Allende yang difotokopi dan digilir diam-diam. Rasanya, penggalian yang dalam itu hilang dalam gerakan mahasiswa hari ini.
Yang terakhir, kondisi gerakan diperburuk lagi dengan cara berpikir kompleks mesias. Sudah referensi tentang gerakan mahasiswa kurang, lalu ada rasa percaya diri berlebihan, dan diskursus pun kurang. Maka wajar jika perkembangan kompleks mesias menjamur (baik dari awam sampai penggerak).
Romantisme demonstrasi dan aksi-aksi jalanan adalah bentuk nyata kompleks mesias itu. Berkeringat dan teriak-teriak dalam riuh menjadi obsesi banyak orang. Dengan orasi, ada rasa telah “menyelamatkan negara” dari keterpurukan. Hiperbola macam ini memang terjadi di mana-mana, terlihat contohnya dalam kartu kuning Zaadit Taqwa dan berbagai aksi sejenis.
Kompleks mesias dalam gerakan hanya menyentuh tahap aksiomatis saja, tidak sampai pada aksi konkret dalam masyarakat. Ya ironisnya begitu. Padahal, banyak juga kompleks mesias yang akhirnya memiliki hasil baik, seperti politik etis contohnya. Kompleks mesias yang ingin “memperadabkan” pribumi (dari perspektif kolonial) ternyata menghasilkan kebijakan pendidikan dan lain lain. Sekarang masalahnya, bagaimana gerakan mahasiswa mengubah gejala kompleks mesias itu menjadi gerakan nyata dalam kehidupan masyarakat yang konkret?
Salah satunya bisa memperbanyak gerakan akar rumput di masyarakat. Walaupun hari ini, mahasiswa yang terjun ke pedalaman, sawah, pesisir laut, dan permukiman kumuh lebih sedikit dibanding aksi teatrikal. Coba pembaca bandingan, berapa banyak gerakan literasi dari gerakan mahasiswa yang menyentuh pedalaman Nusakambangan? Berapa banyak konsolidasi yang dilakukan dengan petani dan buruh? Jika dijumlahkan, apakah perbandinganya setara dengan aksi ingar bingar teatrikal?
Makna “menyelamatkan negara” telah bergeser jauh dari kerja konkret mahasiswa. Dalam rangka PKKMB pun, yang diajari adalah simulasi demonstrasi, bukan rancangan sosialisasi isu ketenagakerjaan dengan buruh atau petani. Bukan pula merancang proyek literasi anak di lereng Gunung Sumbing atau Lawu. Akhirnya, orasi atau demonstrasi lebih seksi untuk gerakan hari ini.
***
Tulisan ini ditulis untuk berdialektika, bukan untuk menjatuhkan apalagi menghambat gerakan. Harapan saya bahwa gerakan mahasiswa bisa benar-benar serius, melawan pragmatisme dirinya sendiri, melawan kompleks mesiasnya sendiri, dan bisa membuat diskursus (serius) yang intensif dan dalam.
Saya pun melihat bahwa gerakan mahasiswa ini memiliki tuntutan yang sesuai keresahan publik, maka ada banyak hal dalam gerakan hari ini yang saya setujui. Maka sekali lagi, kritik adalah bentuk dialektika, sehingga kita semakin maju ketika bisa melakukan otokritik.
Terakhir, seorang esais pernah berkata bahwa esai adalah sebuah refleksi dan “pemberhentian sejenak” (rest area) dari kehidupan. Jadi, setelah gaduh riuh demonstrasi seharian, mari kita merefleksikannya dan istirahat sejenak dalam tulisan ini.
Sekian. Panjang umur perjuangan. Hidup mahasiswa!
Editor: Ikhsan Abdul Hakim