Ekspresionline.com–Pada Kamis, (13/3/2020) beberapa universitas di Indonesia mulai meniadakan perkuliahan tatap muka. Hal ini guna menyikapi COVID-19 yang telah ditetapkan sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia atau yang lebih dikenal sebagai World Health Organization (WHO).
Surat Edaran (SE) No. 3/SE/2020 yang terbit Jumat, (14/3/2020) telah menjawab bagaimana sikap UNY dalam menghadapi COVID-19. Pada SE poin pertama, UNY memutuskan untuk meniadakan perkuliahan tatap muka dan menggantinya dengan perkuliahan daring. Perkuliahan daring ini dilaksanakan pada 16 Maret-30 April 2020.
Terhitung sejak SE diterbitkan, UNY hanya memiliki waktu dua hari untuk persiapan kuliah daring. Meskipun begitu, UNY sudah berani untuk menerapkan perkuliahan daring.
Setelah beberapa waktu berjalan, para mahasiswa mulai berkomentar tentang perkuliahan daring yang diterapkan UNY. Lantas bagaimana kondisi perkuliahan daring saat ini?
Berangkat dari hal tersebut, tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) EKSPRESI melakukan survei secara daring. Survei ini ditujukan untuk mengetahui bagaimana tanggapan mahasiswa UNY terhadap perkuliahan daring yang tengah berlangsung.
Survei yang dilangsungkan pada 25 Maret-1 April 2020 ini menggunakan metode random sampling. Survei menjaring 514 responden dari mahasiswa UNY yang terbagi dalam tujuh fakultas. Pengambilan data dilakukan dengan pengisian Google Form.
Pada survei ini, tim Litbang Ekspresi menyediakan fitur komentar dalam bentuk kuesioner terbuka. Hal ini guna mengetahui tanggapan mahasiswa secara kualitatif dalam bentuk narasi pendek. Sehingga hasil dari survei tidak hanya berupa hasil presentase (kuantitatif), tetapi juga didukung oleh fitur komentar (kualitatif).

Gegar Budaya (Culture Shock) Kuliah Daring
Menurut Littlejohn (2004, dalam Mulyana 2006) gegar budaya (culture shock) adalah perasaan ketidaknyamanan psikis dan fisik karena adanya kontak dengan budaya lain.
Berkaca dari definisi di atas, tidak berlebihan kiranya kalau kita menyimpulkan bahwa mahasiswa UNY saat ini sedang mengalami gegar budaya.
Hal ini diungkapkan oleh seorang mahasiswa FMIPA yang berinisial FYS. Ia merasa tertekan dengan adanya perkuliahan daring. Menurutnya, dosen salah mengartikan kuliah daring. Ia mengatakan bahwa dosen hanya memberikannya tugas tanpa penjelasan.
FYS merasa ada tambahan SKS dalam perkuliahan daring. Hal ini dikarenakan pemberian tugas dan kuis yang terus menerus.
“Kuliah sesuai dengan porsinya. Saya butuh istirahat juga, baik fisik juga mental agar daya tahan tubuh selalu bugar,” ungkapnya.
Terjadinya gegar budaya ini dikarenakan UNY terlalu terburu-buru dalam memberlakukan kuliah daring. UNY terkesan memaksakan perkuliahan daring tanpa bekal yang cukup.
Hal ini juga dirasakan oleh DNF, seorang mahasiswa FE. Menurutnya, perkuliahan daring yang UNY terapkan kurang terorganisir dengan baik. Ia juga menambahkan bahwa sistem e-learning UNY (BeSmart) belum bisa memenuhi kebutuhan kuliah daring.
“Kurang terorganisir dengan baik, mengingat sistem ini diberlakukan mendadak dan tanpa persiapan,” imbuhnya.
Perkuliahan Daring Tidak Efektif
Sebanyak 61,1% mahasiswa merasa bahwa perkuliahan daring tidak efektif. Bahkan, 7% mahasiswa menjawab sangat tidak efektif.
Dari respons ini, kita dapat menyimpulkan bahwa UNY belum benar-benar siap untuk melaksanakan perkuliahan daring. Hal ini disebabkan karena banyak dosen yang belum memanfaatkan teknologi secara maksimal.
Kekecewaan ini dirasakan oleh seorang mahasiswa FE yang berinisial ASW. Dia mengatakan bahwa perkuliahan sungguh tidak efektif. Menurutnya, seharusnya dosen membuat video tutorial atau modul untuk mempermudah mahasiswa dalam memahami materi kuliah.
“Lebih baik bila dosen mempersiapkan video tutorial atau modul,” tuturnya.
Senada dengan ASW, salah seorang mahasiswa FBS yang berinisial MDA mengatakan bahwa dosen tidak benar-benar hadir dalam kuliah daring untuk memberi pemahaman materi kuliah.
Terbukti ketika sedang ada presentasi materi di Whatsapp Grup (WAG), dosen tidak memberi komentar maupun kesimpulan apa pun. Dosen hanya meminta daftar kehadiran dan notulensi diskusi.
“Beliau juga tidak mendampingi presentasi dan hanya meminta list,” pungkas MDA.

Mahasiswa Merasa Keberatan
Hanya 16,5% mahasiswa UNY yang tidak merasa keberatan untuk melaksanakan kuliah daring. Sisanya, mahasiswa keberatan dengan model kuliah seperti ini.
Pada kolom komentar terdapat banyak keluhan mahasiswa tentang kuliah daring. Sebanyak 472 responden berkomentar tentang tugas perkuliahan yang terlampau banyak.
Menurut ZR, salah seorang mahasiswa FIP, perkuliahan daring belum dimengerti benar oleh para dosen. Dosen hanya memberi tugas untuk mengisi kuliah daring. Sedangkan, banyaknya tugas dari dosen membuat ZR merasa terbebani.
“Dosen belum memahami esensi kuliah online, malah menganggapnya sebagai [pemberian] tugas online,” ucapnya.
Bukan hanya tugas saja yang menjadikan mahasiswa keberatan. Hal lain seperti konsumsi kuota internet yang meningkat juga dirasa memberatkan.
Hal ini disampaikan oleh HWNH salah seorang mahasiswa FIP. Ia mengeluhkan bahwa perkuliahan yang menggunakan teknologi telekonferensi seperti Zoom memerlukan banyak kuota Internet. Ia merasa kecewa dengan pihak kampus yang tidak memberikan subsidi kuota di luar penggunaan BeSmart.
“Kuota menipis, uang tidak banyak, ekonomi lagi merosot, tidak ada subsidi kuota lagi,” kata HWNH.
Beban yang amat berat juga harus dipikul oleh ketua kelas. Tidak jarang dosen meminta bantuan ketua kelas untuk mengoordinasi pengumpulan tugas.
Hal ini dikeluhkan oleh IM, seorang ketua kelas di FIS. Ia harus mengeluarkan uang lebih untuk membeli kuota internet. Hal itu disebabkan ia harus mengunduh dan mengunggah fail tugas satu kelas yang telah diberikan dosen.
“Apalagi untuk ketua kelas yang harus download dan upload tugas sekelas dengan kuota pribadi. Itu cukup memberatkan,” ungkapnya.

Di mana BeSmart?
Seperti yang kita ketahui UNY telah memiliki sistem e-learning yang bernama BeSmart. Hal ini menjadi modal yang penting dalam melaksanakan kuliah daring.
Akses Be-Smart juga didukung oleh XL-Axiata, Telkomsel, dan Indosat. Kedua operator seluler tersebut memberi kuota internet cuma-cuma untuk mendukung perkuliahan daring. Namun dalam perjalanannya, BeSmart masih minim pemanfaatan dan belum maksimal penggunaannya.
Hal ini disesalkan oleh seorang mahasiswa FIK berinisial MF. Ia berpendapat bahwa BeSmart tidak mendukung dalam pelaksanaan perkuliahan daring. Praktis dosen hanya memanfaatkan BeSmart untuk sarana memberi dan mengumpulkan tugas.
“BeSmart yang cuma bisa untuk penugasan bukan kuliah daring,” ucap MF.
Hal serupa juga dirasakan oleh IWS mahasiswa FIS. Dia mengatakan bahwa BeSmart belum benar-benar dimanfaatkan dengan baik. Hal ini dibuktikan banyak dosen yang lebih memilih menggunakan platform lain dalam menjalankan kuliah daring.
“Sepertinya dosen tidak memanfaatkan [BeSmart] dengan baik, malah terkesan hanya melempar bahan kajian lalu diberi tugas,” tutur IWS.
Lebih dari itu, BeSmart bukan hanya portal pemberi dan pengumpulan tugas. Sebenarnya BeSmart sudah memiliki fitur yang dapat mendukung kuliah interaktif yang tidak hanya memberikan tugas. BeSmart sudah dilengkapi fitur yang dapat mendukung kuliah telekonferensi seperti halnya Zoom.

Gambar tersebut adalah bukti bahwa BeSmart memang belum dimanfaatkan secara maksimal oleh UNY. Terbukti dengan masih minimnya dosen yang menyelenggarakan perkuliahan telekonferensi dengan menggunakan BeSmart. Jika BeSmart dapat dimanfaatkan dengan baik oleh pihak UNY, maka keluhan seperti kebutuhan kuota yang besar dapat diatasi.
Muhammad Akhlal
Editor: Galih Gesang Sejati