Ekspresionline.com
  • Sentra
  • Japat
  • Fokus
    • Analisis Utama
    • Laporan Khusus
    • Telusur
  • Berita
    • Lingkup Kampus
    • Lingkup Nasional
    • Lingkup Jogja
  • Perspektif
    • Ruang
    • Opini
    • Resensi
      • Buku
      • Film
      • Musik
  • Wacana
  • Margin
  • Sosok
  • Foto
  • Infografik
No Result
View All Result
Ekspresionline.com
  • Sentra
  • Japat
  • Fokus
    • Analisis Utama
    • Laporan Khusus
    • Telusur
  • Berita
    • Lingkup Kampus
    • Lingkup Nasional
    • Lingkup Jogja
  • Perspektif
    • Ruang
    • Opini
    • Resensi
      • Buku
      • Film
      • Musik
  • Wacana
  • Margin
  • Sosok
  • Foto
  • Infografik
No Result
View All Result
Ekspresionline.com
No Result
View All Result
Home Resensi Buku

Lebih Baik Sakit Gigi daripada Sakit Hati

by Abdul Hadi
Kamis, 17 September 2020
in Buku, Resensi
0
Lebih Baik Sakit Gigi daripada Sakit Hati

Ilustrasi oleh Ganta/Philosofis

Share on FacebookShare on Twitter
Judul Buku    : Why Do We Hurt Ourselves? Understanding Self-Harm in Social Life
Penulis           : Baptiste Brossard
Penerbit         :
Indiana University Press
Halaman        :
xix + 188
ISBN               :
978-0-253-03640-7

Ekspresionline.com–Bagi penggemar novel atau film konspirasi, tentu tidak asing dengan film The Da Vinci Code yang diadaptasi dari novel berjudul sama ditulis Dan Brown. Terdapat salah satu adegan menarik di film tersebut ketika Silas, salah satu anggota Opus Dei (sekte ortodoks Gereja Katolik) melakukan penebusan dosa.

Cara penebusan dosanya adalah dengan mencambuk punggungnya sendiri, serta memakai rantai tajam yang diikatkan ke betisnya. Penebusan dosa dengan melukai diri sendiri tersebut bukanlah adegan rekaan sutradara saja, melainkan memang ritual keagaamaan kuno yang dipraktikkan bertahun-tahun lampau.

Mungkin terbetik di benak pembaca, kenapa ada orang melukai diri sendiri? Namun, sebenarnya, secara tidak sadar, praktik melukai diri sendiri sudah jamak terjadi di kehidupan sehari-hari tanpa kita sadari. Beberapa perilaku tersebut tertanam dalam praktik keagamaan atau seni-estetika, dan karena sudah terlampau lazim, banyak orang tidak sadar bahwa mereka telah melukai dirinya sendiri.

Tentunya, untuk menyamakan persepsi, perlu ada definisi yang disepakati bersama mengenai perilaku melukai diri sendiri. Secara definitif, Baptiste Brossard menuliskan bahwa melukai diri sendiri adalah perilaku ketika seseorang dengan sengaja melukai dirinya sendiri atau menempatkan dirinya dalam situasi berisiko yang dapat membuatnya terluka, baik itu secara fisik ataupun mental.

Dalam praktik sehari-hari, orang yang menindik telinga, perut, lidah, atau pusarnya tergolong perilaku melukai diri sendiri. Demikian juga menato, sunat, hingga menusuk lubang terlinga untuk memasang anting.

Akan tetapi, bukan hal demikian yang dimaksudkan dalam buku Why Do We Hurt Ourselves ini. Yang dibahas Baptiste Brossard adalah gangguan mental melukai diri sendiri, bukan melukai diri sendiri yang diterima secara sosial seperti di atas.

Ada enam kriteria melukai diri sendiri (self injury) yang dianggap sebagai kelainan yaitu (1) dilakukan dengan sengaja, (2) ada indikasi tindakan melukai diri sendiri, (3) terjadi berulang kali, (4) tanpa niat atau maksud bunuh diri, (5) tanpa maksud estetik atau seksual, dan (6) bertentangan dengan aturan sosial (hlm. ix–x).

Tindakan sunat memang dilakukan dengan sengaja, namun ia merupakan praktik atas ajaran agama atau kesehatan dan diterima secara sosial, bukan dianggap sebagai kelainan. Demikian juga tindik dan tato, dimaksudkan atas niat estetika, sehingga tidak digolongkan sebagai gangguan mental.

Lalu kenapa ada orang yang mengidap kelainan melukai diri sendiri? Heather Barnett dalam buku Cutting and Self Harm (2008) menuliskan bahwa gangguan self injury merupakan salah satu kelainan yang paling membingungkan ahli kesehatan mental. Tidak ada sebab pasti kenapa gangguan ini bisa terjadi.

Kendati demikian, pada 2013, American Psychiatric Association (APA) menerbitkan buku manual DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) untuk deteksi gangguan mental dan tetap memasukkan NSSI atau Non Suicidal Self Injury sebagai kategori gangguan mental terbaru. Gangguan mental ini jelas diagnosisnya, namun kurang bisa dipahami sebab kenapa bisa dialami individu.

Alasan Perilaku Melukai Diri Sendiri

Meskipun masih belum dipahami secara pasti sebab-musababnya, perilaku melukai diri sendiri memiliki alasan pasti kenapa self injury dilakukan.

Salah satu motif utamanya adalah untuk melarikan diri dari kenyataan. Maksudnya, orang yang melukai diri sendiri merasakan tekanan mental yang demikian kuat, karena itu, tindakan melukai diri sendiri, seperti membenturkan kepala ke tembok, menyayat kulit, menggores badan dengan benda tajam hingga berdarah, tujuannya untuk mengalihkan sakit emosional yang dialaminya kepada rasa sakit fisik.

Pelakunya mungkin mengamini lirik lagu Meggy Z: “Lebih baik sakit gigi, daripada sakit hati”. Maka, mereka yang melukai dirinya sendiri, lebih baik didera sakit fisik, daripada merasakan tekanan emosional yang tak tertahankan. Karena itu, luka di lapisan kulit merupakan pengalihan daripada luka batin (hlm. 8).

Jika selama ini gangguan self injury dibahas oleh ahli kesehatan mental, psikiater, atau psikolog, kali ini Baptiste Brossard menawarkan analisis dari sudut pandang sosiologi.

Bagi Brossard, proses melukai diri sendiri adalah cara untuk menunda penyelesaian masalah. Kendati masalah utamanya belum selesai, pelaku berusaha mengatur masalah emosionalnya sendiri melalui self injury.

Jika masalah itu berkenaan dengan orang lain, maka daripada melepaskan agresivitas kepada orang lain, pelaku mengarahkannya kepada diri sendiri. Dalam hal tertentu, perilaku melukai diri sendiri memang terjadi atas dasar ekspresi kekecewaan kepada orang lain, yang dilampiaskan kepada diri sendiri.

Hal ini memang sejalan dengan bahasan sosiologi, namun, dengan membatasi aspek analisis hanya berdasarkan satu bidang keilmuan, apalagi menjauhi muasal perilaku deviatif, yang sebenarnya merupakan kajian utama psikologi atau psikiatri menjadikan buku ini kurang komprehensif menjelaskan gangguan self injury.

Kendati demikian, Baptiste Brossard menawarkan sudut pandang secara sosial, yang selama ini luput diulas oleh ahli kesehatan mental. Karena itulah buku ini berharga untuk dibaca.

Abdul Hadi

Editor: Fadli Muhammad

Previous Post

Yuanda Zara: Masyarakat yang Majemuk Itu Seperti Salad, Enak Ketika Dipadukan

Next Post

Tarik Ulur Bantuan Kuota Internet PKKMB Daring

Next Post
Tarik Ulur Bantuan Kuota Internet PKKMB Daring

Tarik Ulur Bantuan Kuota Internet PKKMB Daring

Ekspresionline.com

© 2019 Lembaga Pers Mahasiswa EKSPRESI UNY

Navigate Site

  • KONTRIBUSI
  • IKLAN
  • BLOG
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • TENTANG KAMI

Follow Us

No Result
View All Result
  • Sentra
  • Japat
  • Fokus
    • Analisis Utama
    • Laporan Khusus
    • Telusur
  • Berita
    • Lingkup Kampus
    • Lingkup Nasional
    • Lingkup Jogja
  • Perspektif
    • Ruang
    • Opini
    • Resensi
      • Buku
      • Film
      • Musik
  • Wacana
  • Margin
  • Sosok
  • Foto
  • Infografik

© 2019 Lembaga Pers Mahasiswa EKSPRESI UNY