Ekspresionline.com–Kita tahu bahwa orang-orang Indonesia itu dalam satu sisi memang kreatif, tetapi di sisi lain orang-orang Indonesia itu selalu memegang tradisi masa lampau yang entah itu benar atau salah. Kita akan sering mendapatkan kalimat yang menyebut bahwa “orang-orang Indonesia itu terbiasa untuk membenarkan kebiasaan bukan membiasakan kebenaran”. Setidaknya ada lima hal yang menyebabkan orang-orang Indonesia terkesan konyol dalam dunia pendidikan diantaranya :
Anak yang masih kecil sudah dipaksa untuk memenuhi keinginan orang tuanya
Pertama adalah bahwa semestinya orang dewasa berkewajiban untuk memberikan kebahagiaan kepada anak-anak. Tetapi konyolnya, di Indonesia anak-anak yang masih TK bahkan PAUD sekalipun berkewajiban untuk memberikan kebahagiaan kepada orang tuanya. Orang-orang barat biasanya menyebutkan ini dengan istilah “hyper parenting” yaitu bahwa anak-anak itu sejak kecil sudah dituntut untuk memenuhi keinginan dari orang tuanya.
Banyak orang tua dari generasi kita yang menanggap bahwa anak-anak dianggap cerdas dan hebat jika mereka dapat memenuhi keinginan, standar, dan kriteria mereka. Taman Kanak-Kanak atau TK mengacu pad ataman bermain untuk anak-anak. Hal ini berarti lembaga pendidikan memberikan fasilitas anak dalam bermain. Kelak, ada pembelajaran yang menarik dari pembelajaran tersebut. Namun nyatanya di Indonesia, baik disebut TK atau PAUD, selalu menekankan pada daya ingat dan caslitung (membaca, menulis dan berhitung).
Bahkan pernah ada kasus dalam lembaga pendidikan setingkat taman kanak-kanak, dalam kegitan belajar mengajarnya, jika seorang anak tidak bisa membaca atau berhitung, guru akan mencubitnya hingga menangis, mirisnya orang tua justru mendukung tindakan tersebut. Tentunya hal ini menimbulkan masalah di masa mendatang yaitu menurunya gairah belajar anak karena trauma. Menganggap pendidikan sebagai suatu hal menyakitkan untuknya.
Kemudian menjadi sistematis karena banyak SD di Indonesia menerapkan salah satu syarat masuk SD yaitu harus bisa membaca, menulis dan berhitung. Aturan ini khususnya untuk anak yang ingin masuk ke SD favorit. Ini tidak masuk akal. Namun sebenarnya kekonyolan ini bukan berarti tidak ada manfaatnya. Kelebihannya, sekolah favorit ini menginginkan para gurunya mengajar dengan mudah. Jadi walapun gurunya tidak professional, tidak masalah, karena anak tersebut memang anak yang cerdas. Maka dari itu, mereka dapat meningkatkan/setidaknya mempertahankan prestasinya dari sekolah favorit tersebut. Tapi ini akan memanipulasi dan menghancurkan masa depan anak-anak, karena mereka memaksakan anak-anak untuk dapat membaca, menulis dan berhitung.
Di negara-negara dengan pendidikan yang maju, sekolah semacam ini dapat dihukum pidana, bahkan di Indonesia ada wacana semacam ini. Namun kembali lagi kepada keinginan dan ambisi orang tua yang haus kebanggaan atas kepintaran anak bersekolah di sekolah favorit, hingga menghancurkan masa depan anaknya.
Anak sejak kecil sudah dipaksa belajar ngehalu
Bermain adalah cara anak-anak untuk bisa mengenal lingkungannya, bisa beradaptasi dengan kondisi yang ada di sekitarnya. Tetapi konyolnya, di Indonesia adalah bahwa anak-anak itu harus dibatasi bermainnya untuk belajar. Ini masalah yang sangat fatal. Kenapa? Kalau kita lihat mahasiswa-mahasiswa atau siswa-siswa SMA Indonesia yang sekarang, ketika presentasi di depan kelas, mereka membaca makalahnya atau PPT yang isinya adalah tulisan panjang yang hendak mereka baca. Parahnya, isi dari makalah atau PPT tersebut didapatkan dengan cara copas dari internet. Kemudian bagaimana cara mempresentasikannya? Mereka hanya membaca di depan kelas.
Itu artinya mereka hampir tidak menggunakan kemampuan kognisinya sama sekali. Misalkan bisakah mereka berbicara materi yang hendak dipresentasikan nonstop selama 15 menit tanpa adanya bacaan? Banyak diantara anak-anak Indonesia yang tidak bisa melakukan hal itu. Mereka sudah terbiasa untuk membaca dan kalau makalah atau PPT mereka tidak ada sama sekali, mereka bisa 15 menit diam di depan kelas tanpa bicara apapun. Kenapa mahasiswa-mahasiswa atau anak-anak SMA kita yang sudah besar justru masih seperti itu? Karena waktu kecilnya mereka dipaksa untuk ngehalu. Jadi, mereka diajarkan pada materi-materi yang tidak mereka butuhkan dan tidak didesain untuk memahami materi.
Misalnya, meminta siswa SD untuk memahami istilah autotomi. Apa itu autotomi? Coba kita bertanya pada presiden atau anggota DPR. Mungkin mereka tidak tahu apa itu autotomi. Inilah akhirnya anak-anak SD ngehalu. Mereka selalu belajar berpikir berdasarkan teks, tetapi tidak diajari apa yang sebenarnya mereka butuhkan dalam kehidupan. Anak diajarkan tulang sanggurdi ada di mana, anak diajarkan pembuluh epitel itu ada dimana, dan lain-lain. Bayangkan anak SD itu mengetahui hal tersebut? Namun tidak ada penjelasannya untuk apa anak belajar tentang itu. Akhirnya anak terbiasa ngehalu. Untuk terlepas dari halusinasi ini, anak dibisakan untuk membaca buku yang diajarkan.
Pada akhirnya, hingga mereka duduk diperkuliahan. Mereka tidak dapat lepas dari bacaan teks ketika sedang presentasi maupun mengeluarkan pendapat. Sederhananya, mereka sebenarnya tidak memiliki gagasan dan tidak dilatih dalam menyampaikan gagasan. Ini kekonyolan, orang barat menganggap ini aneh, tetapi kita biasa melakukannya. Karena apa? Karena seperti yang saya sampaikan di awal, orang-orang Indonesia terbiasa untuk membenarkan kebiasaan bukannya membiasakan kebenaran.
Tidak dihargainya keunikan dan kespesifikan setiap individu
Ketiga adalah masyarakat Indonesia sudah menyepakati bersama bahwa manusia itu unik atau spesifik. Setiap satu individu dengan individu yang lain itu berbeda. Jadi, ada orang yang pintar dalam kemampuan berbahasa tapi jelek dalam matematika, ada orang yang jago dalam olahraga kemudian dia buruk dalam sastra, dan begitu banyak yang lainnya. Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda agar mereka saling bekerja sama satu sama lain. Walaupun sudah diketahui seperti itu, konyolnya di Indonesia semuanya masih harus distandarkan. Matematika bab anu harus diselesaikan dalam setiap minggu dan semua anak harus bisa sampai ke situ. Pelajaran sastra bahasa itu materi yang dipelajari harus sekian dan harus selesai dalam kurun waktu sekian kemudian nilainya juga harus sekian, dan sebagainya. Siapa yang menilainya? Tentu saja sekolah.
Bagaimana ceritanya, manusia yang sangat unik dan spesifik ini harus diseragamkan tata kelakuannya, nilainya, aturannya, dan sebagainya. Tentu saja ini menjadi permasalahan anak sejak usia dini. Einstein sering menyinggung ketika muncul pertanyaan kenapa dia jenius. “Sebenarnya saya memang jenius di bidang fisika, tapi ada orang yang lain yang jenius di bidang olahraga, ada yang jenius di bidang sastra, dan sebagainya,” kata Einstein.
Namun pendapat tersebut tidak berlaku di Indonesia, sehingga ketika ada anak-anak di sekolah yang sedang iseng menggambar waktu kecil –sebenarnya adalah bakal anak jenius di bidang gambar– malah dimarahi oleh gurunya. Misalnya, mapel seni budaya di Sekolah Dasar yang waktunya realtif cepat. Hal ini akhirnya membuat anak yang memiliki bakat hebat untuk menjadi seniman gambar di masa depan dibunuh (bakatnya) oleh gurunya sejak usia dini. Sehingga, orang-orang Indonesia hanya bisa hebat di bidang tertentu, itu pun tidak ikhlas karena sesungguhnya mereka terpaksa. Standarisasi dalam dunia pendidikan itu sebenarnya sangat penting tapi hanya untuk dijadikan pedoman, bukan dijadikan alat untuk menilai masa depan anak seperti apa.
Belajar yang tidak dibutuhkan
Kita semua sepakat bahwa belajar yang paling efektif itu adalah belajar yang dibutuhkan. Kalau tidak dibutuhkan, tidak usah dipelajari. Kalau pun dipelajari jangan dipaksakan. Misalkan dibutuhkan 3 tahun bagi seseorang untuk belajar bahasa Inggris disini. Karena apa? Karena itu tidak terlalu dibutuhkan. Coba kalau orang itu ditempatkan di Amerika Serikat selama 5 bulan, dia bisa langsung belajar. Mengapa? Karena ketika dia tidak dapat berbicara bahasa Inggris , dia akan tersisihkan. Bahasa inggris menjadi vital disana, akhirnya dia belajar. Sudah menjadi rahasia umum bahwa belajar menjadi efektif jika hal itu dibutuhkan, atau sederhananya belajar menjadi mudah jika kita mempratekkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Tuhan telah memberikan kita naluri atau insting, atau apapun istilahnya. Misalnya, ketika anak laki-laki lahir, kemudian dapat berjalan dan berlari. Testosteronnya akan mendorongnya dalam berkompetisi, bekerja dan bersaing, karena itu rata-rata anak laki-laki suka bermain bola. Disana ia bisa bersosialisasi, diajarkan bahwa curang akan dimarahi teman lain, diajarkan cara berkoordinasi, cara menyepak bola dengan akurat dan lain-lain. Hal yang sama terjadi pada anak perempuan. Mengapa anak perempuan tidak terlalu aktif namun mereka memainkan emosi dengan suka berbicara, merawat anak/bayi palsu? Karena dia akan melakukan hal yang sama di masa depan. Naluri ini telah ditanamkan Tuhan kepada manusia tetapi akademis dengan kurikulum mengganti ini semua. Dengan mereka belajar hal yang tidak mereka butuhkan di masa depan.
Di negara-negara yang sudah maju seperti di Finlandia, Norwegia, atau di Amerika Serikat, ini semua sudah disepakati bahwa bakat alam atau bakat warisan dari Tuhan itu jangan diganggu gugat. Sehingga kita bisa lihat orang-orang di sana ahli dalam segala bidang. Kenapa bisa seperti itu? Karena pendidikan mereka itu tidak dipaksakan tapi anak yang jago di bidangnya masing-masing mengembangkan bakatnya. Jadi, mereka bisa di segala bidang sedangkan pendidikan di Indonesia –maaf– seperti hanya mengarahkan kita untuk jadi PNS.
Sistem yang maunya ribet
Terlepas dari kekonyolan-kekonyolan yang sudah disebutkan, adakah solusi yang dapat kita ambil? Solusinya adalah kekonyolan yang kelima. Indonesia merupakan salah satu negara yang pendidikannya memang relatif jelek. Tetapi jika kita cermat, Indonesia sebenarnya diapit oleh negara-negara dengan sistem pendidikannya terbaik di dunia seperti Singapura, New Zealand, dan Australia.
Pendidik di Australia, sebelum mereka menjadi seorang pendidik, mereka diajarkan retorika, cara berbicara yang baik, dan cara menginspirasi yang baik. Mereka tidak harus membuat RPP, silabus, dan lain sebagainya yang njelimet sampai dua rim seperti di Indonesia. Mereka hanya diajarkan bagaimana cara menyampaikan, diajarkan bagaimana psikologi anak, diajarkan bagaimana berdekatan dengan anak. Itu sangat simpel, sederhana, dan manusiawi. Tetapi di Indonesia tidak demikian. Guru-guru di Indonesia tidak diajarkan seperti itu. Mereka dipaksa untuk membuat administrasi dua rim setahun.
Jadi, bagaimana solusinya? Solusinya adalah mencontoh model pendidikan negara lain salah satunya seperti di Australia. Pendidik dibekali oleh kemampuan psikologi. Tetapi orang Indonesia menolak hal itu dan ingin tetap dibikin susah, yaitu membuat RPP dua rim setahun.
Di sekolah-sekolah negeri, guru sebagai seorang pendidik bisa dianggap dan dilabeli sebagai guru terbaik oleh sekolahnya padahal dia hampir tidak pernah masuk ke kelasnya. Karena dia sibuk membuat RPP, silabus, disetorkan, dan dari situlah penilaiannya. Si anak-anak di kelas terabaikan dan terbengkalai tetapi apa boleh buat, yang penting bikin RPP. Banyak guru yang kalau misalkan ingin sertifikasi bisa sampai tidak mengajar di kelas tetapi di laporannya menuliskan bahwa saya mengajarkan materi ini, itu, yang disampaikan kepada Dinas melalui laporannya. Kemudian di dinas dilihat pun tidak. Pokoknya oke dan lulus.
Di negara-negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat, administrasi belajar guru itu hanya tiga sampai lima lembar, tidak lebih dari itu. Itu adalah panduan kurikulum kemudian di sekolah guru bebas untuk melakukan apapun di kelasnya yang penting tujuannya tercapai. Begitu mudah sekali. Di Singapura seperti itu, di Australia juga seperti itu. Itu mudah tetapi orang Indonesia menolak itu. Orang Indonesia inginnya ribet inginnya membuat administrasi dan sebagainya. Kalaupun diberi pelatihan-pelatihan juga bukan pelatihan yang terkait dengan kebutuhan guru tetapi kebutuhan TU untuk administrasi.
Kekonyolan di Indonesia adalah kita tidak mau mudah karena lebih memilih membuat laporan ke dinas lalu dari dinas laporan lagi ke atasannya dan sebagainya. Berton-ton kertas itu pun setiap semester akhirnya harus disetorkan sekolah kepada dinas pendidikan yang hanya akan menjadi bungkus tempe, bungkus gorengan, ataupun sampah. Saya tidak menggugat sekolah tapi saya mencoba untuk memberi masukan dan kritik agar ini menjadi konstruksi.
Citra Widyastoto
Editor: Ervina Laraswati