Ekspresionline.com
  • Sentra
  • Japat
  • Fokus
    • Analisis Utama
    • Laporan Khusus
    • Telusur
  • Berita
    • Lingkup Kampus
    • Lingkup Nasional
    • Lingkup Jogja
  • Perspektif
    • Ruang
    • Opini
    • Resensi
      • Buku
      • Film
      • Musik
  • Wacana
  • Margin
  • Sosok
  • Foto
  • Infografik
No Result
View All Result
Ekspresionline.com
  • Sentra
  • Japat
  • Fokus
    • Analisis Utama
    • Laporan Khusus
    • Telusur
  • Berita
    • Lingkup Kampus
    • Lingkup Nasional
    • Lingkup Jogja
  • Perspektif
    • Ruang
    • Opini
    • Resensi
      • Buku
      • Film
      • Musik
  • Wacana
  • Margin
  • Sosok
  • Foto
  • Infografik
No Result
View All Result
Ekspresionline.com
No Result
View All Result
Home Resensi Film

Little Women: Antara Berkompromi atau Menerjang Dunia Laki-laki

by Fadli Muhammad
Kamis, 1 Oktober 2020
0
Little Women: Antara Berkompromi atau Menerjang Dunia Laki-laki

Emma Watson, Saoirse Ronan, Florence Pugh, dan Eliza Scanlen dalam film Little Women/IMDB

Share on FacebookShare on Twitter
Judul : Little Women
Penulis skenario : Greta Gerwig
Sutradara : Greta Gerwig
Produser : Denise di Novi
Tahun : 2019
Produksi : Columbia Pictures, Regency Enterprises, dan Pascal Pictures

Ekspresionline.com–Film memiliki jiwanya sendiri dalam menyampaikan pesan baik tersurat maupun tersirat. Medium ini menyajikannya dalam berbagai alur yang berbeda-beda. Akan tetapi, banyak film yang cenderung “bermain aman”: alurnya monoton, kebanyakan beralur maju dengan sedikit kilas balik. Sebagai tambahan saja; jalan cerita ditampilkan secara gamblang bebas hambatan.

Dalam Little Women, kita tidak lagi mendapati hal-hal monoton seperti dalam film kebanyakan. Film yang diadaptasi dari novel berjudul sama yang ditulis oleh Louisa May Alcott ini dibuat dengan sangat tertata dan hampir tidak ada adegan yang sia-sia. Alur yang acak tidak hanya sebagai ornamen film, tetapi menjadi inti bagaimana cerita itu disusun. Meskipun cara tersebut cenderung berisiko, karena rawan kekurangpahaman penonton terhadap jalan ceritanya, namun film ini berhasil mematahkan anggapan itu dengan sangat mengagumkan

Greta Gerwig—sutradara sekaligus penulis naskah—menyusun setiap konflik secara serius. Setiap detik seolah sudah dipikirkan secara matang. Alurnya terasa mengalun lamban, seakan memberikan waktu bagi penonton untuk memahami maksud ceritanya.

Meskipun sudah berulang kali novel ini diadopsi ke layar lebar, ceritanya masih terasa hangat dan relevan di masa sekarang. Greta dengan sangat ciamik menerangkan pesan-pesannya dalam setiap adegan, tentu saja tanpa menghilangkan aspek “menjual” seperti film pada umumnya: kisah romantis.

Selain itu, hampir selalu ada bumbu-bumbu komedi dalam film-film Greta, guna mencairkan suasana cerita karena isu yang dibawanya cukup krusial. Ia juga sangat hati-hati dalam menempatkan punch line komedi dalam setiap adegan, seperti dalam film sebelumnya, Lady Bird (2017).

Konflik yang Berkelindan

Berlatar era abad ke-19, Little Women menceritakan empat saudara yang hidup sederhana. Mereka adalah Meg (Emma Watson), Jo March (Saoirse Ronan), Beth (Eliza Scanlen), dan Amy (Florence Pugh). Meskipun tumbuh besar tanpa ada seorang ayah yang sedang bertugas sebagai relawan Perang Dunia II, sang ibu bisa dibilang cukup liberal dalam mengurus keempat putri kecilnya. Masing-masing dari mereka memiliki bakat dan hobi berbeda, dengan keputusan akhir—terhadap bakat tersebut—yang berbeda pula.

Jo memiliki impian menjadi penulis, namun ia juga menyisihkan waktu mengajar anak-anak di New York. Seiring berjalannya waktu ia harus melewati rintangan sosial, yang oleh masyarakat tradisional disebut sebagai kepatuhan sebagai anak, atau disebut oleh Richard Dawkins dalam bukunya Selfish Gene (1976) sebagai ikatan gen yang menuntut mereka—secara tidak sadar—bertanggung jawab dan merasa peduli dengan saudara se-gennya.

Lambat laun keinginannya untuk menulis ditekan sendiri olehnya karena mengetahui adiknya, Beth, sedang sakit demam berdarah akut. Sebab lainnya adalah karena pendapat temannya terhadap tulisannya, menjadikan ia semakin tidak percaya diri.

Beth, adiknya, melalui kehidupan yang cukup normal dengan sedikit konflik. Meski begitu maknanya bagi keluarga tersebut cukup besar. Selain itu, penokohan dari Beth cukup kuat sehingga ia tidak mudah dilupakan penonton, paling tidak saya sendiri saat menontonnya.

Tokoh lain yang juga digambarkan dengan cukup kuat adalah Amy. Ia adalah tokoh yang cukup sering berselisih paham dengan Jo, baik dari segi sifat maupun kisah asmaranya. Jo dan Amy sama-sama menyukai Laurie (Timothée Chalamet) tanpa keduanya saling tahu. Pada awalnya Laurie lebih memilih Jo, namun karena Jo saat itu masih kurang yakin dengan perasaannya dan memegang teguh keyakinan untuk tidak menikah, maka ia menolak pernyataan cinta Laurie.

Diiringi berbagai konflik tersebut, keempat saudara itu pada akhirnya harus bergulat dengan batinnya sendiri dan memutuskan apakah akan berkompromi dengan kehidupan “normal” atau tetap bersikeras mewujudkan cita-citanya.

Tokoh pertama yang memilih kompromi dengan keadaan adalah Meg. Ia memilih untuk menikah dengan seorang pendidik yang berekonomi pas-pasan.

Sesaat sebelum prosesi pernikahan dimulai, Jo berusaha untuk membebaskannya dari kekangan pernikahan. Jo mengatakan pada Meg bahwa ia harus menjadi aktris terkenal dan sukses dengan impiannya. Menurut Jo, pernikahan hanya akan membelenggu seseorang dari keinginannya untuk berkembang dan menjadi besar. Namun, Meg meyakinkan dirinya bahwa yang ia inginkan hanyalah menjadi istri dan ibu yang baik bagi anak-anaknya kelak.

Pesan-pesan Feminisme yang Tersirat

Film ini, setidaknya menurut saya, begitu kental akan isu-isu feminisme yang sedang marak digaungkan pada masa itu. Maraknya isu feminisme ini bisa ditilik dari rekam jejak penulis-penulis perempuan pada masa itu yang enggan menggunakan namanya sendiri pada tulisannya. Bahkan Louisa May Alcott juga pernah mencantumkan nama pena A.M. Barnard pada beberapa novelnya, seperti Behind a Mask, or a Woman’s Power (1866) dan The Abbot’s Ghost, or Maurice Treherne’s Temptation (1867).

Kebanyakan penulis perempuan menggunakan nama pena—yang bias gender—karena khawatir minat pembaca berkurang setalah mengetahui bahwa penulisnya adalah perempuan. Apalagi di zaman itu, anggapan bahwa perempuan lebih rendah derajatnya daripada laki-laki masih kental dan kuat. Kesuksesan perempuan melalui tulisan atau karyanya, bagi kaum laki-laki, merupakan bentuk hinaan terhadap posisinya sebagai “penguasa” perempuan.

Dunia pada masa itu adalah dunia laki-laki, dunia yang membatasi posisi perempuan hanya pada pekerjaan domestik sebagai hal normal; kesuksesan perempuan baru dipandang ketika menikah dengan lelaki kaya, mengurus anak dengan baik, dan memenuhi hak laki-laki. Tentu saja hal itu harus dilakukan dengan jalan mengubur daya ciptanya dalam-dalam.

Jo dalam film itu berusaha untuk mendobrak budaya patriarki yang mengekang pada masa tersebut. Ia berambisi untuk menjadi penulis dan bertekad tidak menikah karena merasa sudah cukup bahagia dengan dirinya sendiri. Namun, ambisi itu selalu bertabrakan dengan masalah-masalah domestik—disebut oleh Virginia Woolf sebagai hambatan ruang pribadi. Ia masih tidak memiliki dirinya sendiri secara mutlak, meskipun bertekad untuk tidak menikah, ia masih menjadi milik keluarga dan saudara-saudaranya.

Hal itu dapat terlihat dari adegan ketika ia merasa memiliki tanggung jawab untuk menemani adiknya ketika sakit dan membutuhkan uang darinya untuk biaya pengobatan. Hal itu membuat akhirnya ia, mau tak mau, menggunakan bakat menulisnya dan menjual cerpennya—meskipun dengan harga sangat murah.

Di sisi lain, Amy dengan cita-citanya menjadi pelukis sukses merasa tidak pantas dan kurang pintar untuk menjadi “besar”. Menurutnya, perempuan tidak pernah akan bisa unggul karena hanya akan ditekan oleh kemampuan penguasaan “dunia” oleh lelaki.

Anggapan tersebut dibuktikan ketika Laurie mengatakan pada Amy bahwa yang selalu dianggap pintar adalah laki-laki, karena mereka menyingkirkan saingan—yang dimaksud adalah perempuan; meskipun Amy memiliki kemampuan melukis. Oleh karenanya, Amy memutuskan untuk menekan ambisinya menjadi pelukis dan pada akhirnya memutuskan menikah.

Sosok Amy merupakan manifestasi dari pengebirian ambisi para perempuan untuk menjadi besar, karena sadar diri akan posisinya sebagai perempuan yang tidak pernah punya kesempatan dan ruang kebebasan yang sama dengan laki-laki.

Ihwal ini pernah diulas oleh Simone de Beauvoir dalam esainya “Perempuan dan Kreativitas” (1966). Ia mengatakan bahwa bakat bukanlah sesuatu yang terbawa dari lahir. Bakat adalah sesuatu yang diperoleh dari usaha. Jika seseorang berani menghadapi kesulitan, maka ia akan dipaksa untuk berkembang dan menjadi besar.

Jika, sebagai hasil dari prasangka antifeminisme, orang menolak untuk memberikan kasus-kasus yang berat kepada kaum perempuan, maka kaum perempuan tidak akan pernah mempunyai kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya yang sejati.

Selain persepsi feminisme, Greta juga memunculkan persepsi tandingan. Representasi dorongan lingkungan sosial untuk menerima keadaan dan kewajiban perempuan “normal” dapat dilihat pada sosok Nenek March (Meryl Streep). Jika boleh disandingkan dengan era sekarang, saya bisa katakan caranya bicara serupa ibu-ibu tetangga ketika menasihati sekaligus menyindir seseorang.

Ia menggariskan kesejahteraan pada standar materiel; menurutnya aspek itu hanya bisa diraih dengan menikahi lelaki kaya, meskipun dirinya sendiri tidak menikah—karena sudah berkelimpahan harta. Selain itu, si Nenek March selalu memosisikan perempuan sebagai sosok yang hanya wajib menurut pada lelaki, tidak perlu berkarya. Hal itu dapat dilihat pada reaksi sinisnya ketika mendengar bahwa Jo ingin menjadi penulis dan Amy menjadi pelukis.

***

Meskipun memiliki banyak kelebihan sehingga membuat film ini mendapat nominasi Piala Oscar 2020, namun cerita Little Women juga memiliki kekurangan. Dari segi isu, meskipun menggambarkan penolakan terhadap kondisi lingkungan sosial yang patriarkis, namun perlawanan terhadap isu tersebut melalui cerita dalam film masih tanggung dan kurang totalitas

Cerita tersebut diakhiri dengan kompromi Jo terhadap penerbitnya—yang mana sesuai dengan apa yang dialami Louisa May Alcott pada saat menerbitkan buku tersebut. Sebelumnya, kisah tersebut direncanakan agar berujung sedih, namun karena terdesak oleh keadaan, cerita tersebut berakhir dengan (dianggap) bahagia: karakter utamanya menikah.

Berbicara mengenai perlawanan totalitas, Simone juga pernah membahasnya di esai yang sama. Ia mengatakan bahwa karya yang besar adalah karya yang menggugat dunia dalam keseluruhannya. Itulah yang tidak dimiliki oleh perempuan.

Menggugat secara penuh, hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap dunia. Perempuan merasa tidak bertanggung jawab sejauh bahwa dunia yang dimaksud adalah dunia laki-laki.

Fadli Muhammad

Editor: Fiorentina Refani

Previous Post

Nasib Sarjana Indonesia di Ambang Pengangguran

Next Post

Changeling: Anakku Bukan Anakku

Next Post
Changeling: Anakku Bukan Anakku

Changeling: Anakku Bukan Anakku

Ekspresionline.com

© 2019 Lembaga Pers Mahasiswa EKSPRESI UNY

Navigate Site

  • KONTRIBUSI
  • IKLAN
  • BLOG
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • TENTANG KAMI

Follow Us

No Result
View All Result
  • Sentra
  • Japat
  • Fokus
    • Analisis Utama
    • Laporan Khusus
    • Telusur
  • Berita
    • Lingkup Kampus
    • Lingkup Nasional
    • Lingkup Jogja
  • Perspektif
    • Ruang
    • Opini
    • Resensi
      • Buku
      • Film
      • Musik
  • Wacana
  • Margin
  • Sosok
  • Foto
  • Infografik

© 2019 Lembaga Pers Mahasiswa EKSPRESI UNY