Di Indonesia, mahasiswa pernah menuliskan sejarah gemilang dengan meruntuhkan rezim politik otoriter Soeharto. Jiwa kritis dan berani melawan rezim yang sudah berdiri 32 tahun tersebut kita kenang dengan sebutan reformasi. Mahasiswa angkatan ini berani mengorbankan banyak hal untuk mempertahankan idealisme mereka. Mulai dari waktu, tempat, hingga nyawa menjadi konsekuensi yang harus siap dipertaruhkan. Pengorbanan ini adalah wujud kepedulian mereka terhadap kelangsungan bangsa Indonesia. Sebuah bukti besar bahwa idealisme mahasiswa selalu dikedepankan, dengan selalu membela dan mengabdi kepada kepentingan rakyat. Itu cerita zaman dahulu.
Saat ini perubahan dalam diri setiap mahasiswa sangat terasa, terkhusus tentang kepedulian terhadap percaturan politik di negeri ini. Salah satu sikap yang paling mendominasi adalah sikap apatis. Secara harfiah, apatis dapat diartikan sebagai sikap yang tidak peduli atau masa bodoh terhadap suatu hal. Banyak mahasiswa saat ini merasa fobia terhadap politik. Padahal politik menjadi penentu segala aspek pemerintahan mulai dari sosial, budaya, hukum, keamanan, ekonomi dan banyak hal lainnya. Terkadang mereka tidak sadar bahwa secara tidak langsung politik lah yang mengatur harga makanan, minuman, dan gawai (gadget) yang mereka konsumsi.
Banyak alasan mengapa sebagian mahasiswa kini bersikap apatis terhadap politik Indonesia. Pertama, ada anggapan bahwa menjadi mahasiswa itu harus netral, dan tak berpihak terhadap salah satu kubu politik yang ada di Indonesia. Pandangan ini sering muncul kala partai politik nasional mencoba “masuk” ke dalam kehidupan kampus dengan segala kepentingannya. Sayangnya, pemahaman ini sering ditafsirkan dengan netral yang seutuhnya netral. Mereka yang belum kenal dengan kehidupan politik, sudah merasa takut dengan yang namanya politik. Paradigma yang kemudian dibawa adalah politik itu sampah yang harus jauh-jauh dibuang dari pemikiran mereka.
Pada posisi ini seharusnya mahasiswa tak boleh netral dalam politik. Mereka harus mengawasi dan mengkaji jalannya pemerintah agar tak merugikan rakyat. Wujudnya, bisa berupa aksi, pergerakan, sikap kritis, atau sebatas kritik terhadap kebijakan yang merugikan rakyat dan bangsa.
Kedua, alasan lain yang menjadi penyebab sikap apatis mahasiswa terhadap politik adalah dibungkam aktivitas kampus. Pihak kamus secara sistematis telah membuat kegiatan mahasiswa menjadi lemah. Ditambah lagi maraknya gaya hidup hedonisme, globalisasi, konsumerisme tinggi, teknologi canggih yang melenakan, dan banyak hal lain yang telah membudaya.
Ironisnya, sebagian mahasiswa yang masih peduli terhadap politik di Indonesia dengan bergerak dan berjuang hingga turun ke jalan malah di anggap tidak berguna, sia-sia dan bodoh oleh sebagian mahasiswa yang apatis. Padahal, tak banyak dari mereka yang mengerti, untuk apa mahasiswa melakukan aksi. Sayangnya, penilaian yang buruk sudah terlanjur menjadi pandangan umum karena standar-standar mahasiswa berprestasi yang dibuat birokrasi.
Penilaian negatif dan cenderung nyinyir tersebut yang kerap kali dialami oleh para aktivis mahasiswa yang masih peduli problematika yang terjadi di sekitar kehidupannya. Bahkan, cibiran juga kerap alami, mahasiswa apatis di sini menganggap demonstrasi hanya akan mengganggu saja. Pandangan mahasiswa berprestasi tadi—fokus kuliah, punya Indeks Prestasi Komulatif (IPK) tinggi, lulus cepat, dan cepat dapat pekerjaan—punya andil cukup besar dalam pandangan nyinyir tadi.
Jika hal ini terus berlanjut, maka yang terjadi hilang sudah harapan bangsa Indonesia kepada generasi muda. Jika generasi muda saja sudah risih melihat generasi tua yang memainkan percaturan politik Indonesia, lalu mulai kapan mereka akan menyadari bahwa Indonesia berada di tangan mereka? Maka dari itu hendaknya kita harus sadar serta menyadarkan para mahasiswa yang apatis agar dapat peduli terhadap politik. Salah satu caranya adalah terlibat secara aktif, dengan mengawal kebijakan pemerintah. Selain itu mahasiswa juga harus bisa menuangkan ide-ide perubahannya melalui karya-karyanya guna memberikan solusi kepada pemerintah. Dan yang tidak kalah penting adalah melakukan aksi, karena aksi adalah wujud representasi sikap dan kepedulian mahasiswa terhadap rezim penguasa.
Yazra M