Ekspresionline.com–Warga Padukuhan 13, Trisik, Banaran, Galur, Kulon Progo melakukan peringatan Malam Tirakatan Satu Suro yang dihelat tepat pada Rabu (19/08/2020). Acara yang dilakukan di lapangan sebelah timur laut gerbang masuk Pantai Trisik ini dimulai pada pukul 20.00 WIB dengan melakukan doa bersama.
Menurut Sumardi (46), ketua panitia untuk pelaksanaan Malam Tirakatan Satu Suro Padukuhan 13, acara ini dilaksanakan dalam bentuk tirakat dan selamatan. “Karena ini agenda tradisi yang sudah turun-menurun dari zaman simbah-simbah kita, jadi kita siapkan jika mendekati tanggal satu suro dalam penanggalan Jawa. Seminggu sebelum itu kita sudah persiapkan,” ujar Sumardi saat ditanya mengenai persiapan acara ini.
Malam Tirakatan Satu Suro ini dikhususkan untuk lingkup warga Padukuhan 13 Sidorejo. Terdapat kurang lebih 175 orang warga yang mengikuti acara ini hingga selesai. Berdasar keterangan Sumardi ada beberapa hal yang membuat perhelatan acara yang dilakukan secara rutin ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. “Mungkin karena situasi sekarang ada pandemi ini. Di dalam doa tadi juga disampaikan agar pandemi ini segera hilang. Terus selanjutnya, karena di pesisir ini kurang lebihnya bahwa kondisi alam, karena abrasi juga termasuk, kita berdoa untuk supaya alam bersahabat dengan kita,” ungkapnya.
Menyikapi isu masifnya abrasi di sepanjang garis Pantai Trisik, Andri Riyanto (33)—salah satu warga Padukuhan 13 yang mengikuti jalannya acara—menyampaikan bahwa persoalan pengikisan garis pantai oleh intrusi gelombang air laut tersebut faktor terbesarnya diakibatkan oleh adanya penyedotan pasir di zona merah. Zona merah yang dimaksud berada di sisi timur padukuhan dan merupakan muara Kali Progo.
Menurut Andri, aktivitas penyedotan pasir tersebut mulai berlangsung dari tahun 2016. Hal inilah yang memicu kerusakan pada lanskap perairan dan pesisir Pantai Trisik. Ia mengatakan, “Sebelum tahun 2017, jarak dari kolam renang itu awalnya masih 200 meter. Kolam renang itu bangunan yang paling pinggir sendiri kan. Nah, sekarang hanya tinggal 75 meter [dari bibir pantai].” Ia juga menambahkan bahwa intrusi air laut akibat penyedotan pasir yang dilakukan terlalu dalam ini menyebabkan air di beberapa areal yang sebelumnya tawar berubah jadi asin.
Sampai saat ini, ada beberapa kegiatan penyedotan pasir yang dilakukan oleh CV. Trikarsa Reka Buana, SDR Dedek Handoko, SDR Roslan, Sedyo Rukun, SDR Sukartijo, dan Kelompok Sido Kopen di areal tersebut. Merespons hal ini, sudah ada upaya penolakan dari warga sekitar. Dari penuturan Andri penolakan ini sudah dimulai dari 2016 berupa demonstrasi langsung dan pemasangan spanduk-spanduk yang berisi penolakan kegiatan operasi penyedotan pasir.
Tak hanya kerusakan lanskap pantai akibat abrasi dan intrusi air laut, penyedotan pasir di sepanjang Kali Progo yang dekat dengan muaranya juga mengakibatkan penurunan jumlah wisatawan ke Pantai Trisik. Intensnya lalu lalang truk pengangkut pasir menyebabkan kerusakan dan bercecernya pasir di badan jalan. “Otomatis wisatawan yang ingin berkunjung ke Pantai Trisik berkurang drastis akibat rusaknya jalan,” imbuh Andri.
Andri menambahkan bahwa penolakan ini akan terus dilakukan, baik lewat langkah litigasi hukum atau non-hukum melalui aspek kultural. “Rancangan ke depan untuk [bentuk penolakan] yaitu penanaman masal bibit bakau untuk mengamankan zona merah,” pungkasnya saat diwawancara Tim Ekspresi.
Setelah sesi doa bersama, Malam Tirakatan Satu Suro Padukuhan 13 dilanjutkan dengan pelarungan hasil bumi dan bermacam sesaji di pantai sebagai bentuk syukur dan permohonan agar dihindarkan dari malapetakan dan diakhiri dengan makan bersama. Sumardi (40), koordinator umum untuk pelaksanaan acara ini, juga mengungkapkan, “Tujuan kita meminta keselamatan, baik dari peristiwa abrasi maupun pandemi ini.”
Fiorentina Refani
Editor: Abdul Hadi
Reporter: Fiorentina Refani dan Reza Egis