Ekspresionline.com—Petinggi militer bicara di atas mimbar universitas seakan menjadi tren di lingkungan kampus Indonesia. Kita bisa menyaksikan itu dalam kegiatan orientasi kampus yang diikuti oleh mahasiswa baru. Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) adalah contoh terdekat. Pada tahun ini, UNY mendatangkan Ade Adrian, Kepala Departemen Kepemimpinan dan Kejuangan (Kadeppimjuang) Akademi Militer (Akmil) sebagai pembicara wawasan kebangsaan. Langkah UNY merupakan pengulangan tahun sebelumnya yang juga mengundang figur militer di agenda yang sama. Tak hanya UNY, Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun ini juga mendatangkan figur militer dalam kegiatan orientasi kampus mereka.
Keputusan tersebut sejatinya menjadi sebuah ironi. Universitas, institut, akademi, hingga politeknik sudah sepatutnya mengedepankan kultur akademik dalam menanggapi sebuah isu. Kalangan akademik dibiarkan menganggur ketika argumen mereka dibutuhkan di saat yang tepat, seperti masa penerimaan mahasiswa baru. Keputusan mendatangkan figur militer seakan mereduksi kemampuan kampus dalam menghasilkan pemecahan masalah. Intelektualitas pun gagal unjuk gigi di rumah sendiri.
Sebuah pertanyaan lalu menyembul ke permukaan, mengapa harus militer? Padahal ada banyak alternatif figur yang bisa dijadikan pembicara dalam agenda kampus. Terlebih lagi jika membahas seputar isu kebangsaan atau bahkan isu radikalisme yang belakangan mencoreng reputasi perguruan tinggi.
Mungkin kita lupa bahwa dahulu kekuatan militer pernah menguasai sistem pemerintahan Indonesia. Coba kita ingat-ingat lagi bagaimana rezim Orde Baru berkuasa selama 32 tahun. Presiden Soeharto membawa arah pemerintahan dengan corak kemiliteran. Sejumlah alat propaganda dirancang guna mengawal rakyat sesuai kehendak penguasa. Rendro Dhani, Terence Lee, dan Kate Fitch menuliskan dalam Political Public Relations in Indonesia: A History of Propaganda and Democracy, bahwa selama lebih dari 30 tahun, rezim Soeharto menggunakan “ketakutan” dalam menjalankan roda pemerintahan.
Manipulasi kenyataan juga dilakukan agar rezim militer dipandang sebagai sosok pahlawan. Sementara itu, kebebasan berekspresi dibungkam, buktinya banyak perusahaan surat kabar yang diberedel tanpa ampun. Padahal, mereka tengah menjalankan tugasnya sebagai informan publik. Sikap rezim itu sama saja merampas hak masyarakat terhadap informasi yang mereka butuhkan. Belum lagi jika kita menyinggung masalah pelanggaran hak asasi manusia. Timor Timor dan Irian Barat merupakan salah dua wilayah yang menjadi saksi bisu betapa kejamnya rezim militer saat itu. Tragedi pun semakin panjang oleh hilangnya para aktivitis dan masyarakat sipil menjelang tumbangnya Orde Baru.
Hadirnya figur militer sebagai pembicara di panggung publik, barangkali merupakan upaya untuk merekonstruksi citra militer yang telanjur buruk di masa lalu. Saat ini, militer tengah membangun kembali reputasinya di hadapan publik. Mereka diberi tempat strategis untuk menyampaikan narasi positif. Seolah-olah hanya militer pilihan terbaik atas permasalahan bangsa ini. Apalagi, semakin banyak pula eks petinggi militer yang kini menduduki posisi penting di level pemerintahan pusat.
Maka tidak heran jika survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menyatakan bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) memuncaki daftar institusi negara dengan tingkat kepercayaan publik tertinggi. TNI sebagai instansi militer negara meraup 90% suara dari total 1.183 responden. Angka tersebut sukses melampaui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang duduk di peringkat kedua dengan 80,8% suara. Sementara itu, Presiden dan Wakil Presiden secara beruntun duduk di peringkat ketiga dan keempat.
Data di atas menjelaskan kepada kita bahwa dominasi militer tengah bekerja dalam mempengaruhi keputusan publik. Kabar buruknya adalah apabila dominasi terus diberikan tempat, maka yang terjadi adalah hegemoni. Tentunya, kita tidak mau kembali hidup di masa lalu. Catatan sejarah tadi diharapkan mampu membekali kita agar memandang isu terkini secara lebih visioner. Mungkin, untuk saat ini, potensi rezim militer kembali belum sepenuhnya terjadi. Tapi kita tahu bahwa sejarah akan selalu menjadi pelajaran berharga buat kehidupan di masa mendatang. Hal itulah yang menjadi pekerjaan rumah kita sebagai bagian dari sivitas akademika. Dominasi harus dilawan dengan wacana tanding yang tidak kalah kuat.
Upaya kita untuk bertanding dan meningkatkan posisi tawar di hadapan masyarakat tampaknya akan melalui jalan terjal. Sudah dua tahun belakangan, militer selalu menjadi langganan untuk menyampaikan narasinya di lingkungan akademik. Jika hal ini dibiarkan terus menerus, boleh jadi wibawa universitas akan tergusur. Kebebasan dan kemerdekaan berpikir kita seolah tidak ada gunanya. Lebih memalukan lagi, jika kita memilih diam ketika militer merebut peran universitas sebagai tonggak pembangunan.
Hery Setiawan
Editor: Fatonah Istikomah
Tulisan ini pertama kali terbit di Buletin EXPEDISI Edisi I PKKMB Agustus 2019.