Ekspresionline.com
  • Sentra
  • Japat
  • Fokus
    • Analisis Utama
    • Laporan Khusus
    • Telusur
  • Berita
    • Lingkup Kampus
    • Lingkup Nasional
    • Lingkup Jogja
  • Perspektif
    • Ruang
    • Opini
    • Resensi
      • Buku
      • Film
      • Musik
  • Wacana
  • Margin
  • Sosok
  • Foto
  • Infografik
No Result
View All Result
Ekspresionline.com
  • Sentra
  • Japat
  • Fokus
    • Analisis Utama
    • Laporan Khusus
    • Telusur
  • Berita
    • Lingkup Kampus
    • Lingkup Nasional
    • Lingkup Jogja
  • Perspektif
    • Ruang
    • Opini
    • Resensi
      • Buku
      • Film
      • Musik
  • Wacana
  • Margin
  • Sosok
  • Foto
  • Infografik
No Result
View All Result
Ekspresionline.com
No Result
View All Result
Home Berita

Mapel Sejarah: Lebih Baik Dievaluasi daripada Dinomorduakan

by Hery Setiawan
Sabtu, 26 September 2020
0
Mengebiri Ilmu Humaniora

Fakultas Ilmu Sosial UNY/Dokumen Istimewa.

Share on FacebookShare on Twitter

Ekspresionline.com–Sabtu, (19/9/2020) lalu, Program Studi (Prodi) Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) merilis pernyataan sikap terhadap rencana penyederhanaan kurikulum yang digagas oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia. Dalam keterangannya, mereka menilai Kemendikbud tidak tegas menjelaskan posisi mata pelajaran sejarah dalam wacana penyederhanaan kurikulum dan asesmen nasional.

Kepala Program Studi (Kaprodi) Pendidikan Sejarah UNY, Zulkarnain menolak jika penyederhanaan kurikulum justru meniadakan atau bahkan memangkas durasi dan esensi mata pelajaran sejarah. Namun, ia tidak menolak jika wacana penyederhanaan kurikulum berkaitan dengan evaluasi terhadap pembelajaran sejarah itu sendiri.

“Kalau draf yang berkembang dan sudah tersebar sekarang, kami menolak. Kalau menyederhanakan, umpamanya memberikan evaluasi terhadap pembelajaran sejarah kami terima,” katanya saat dihubungi Ekspresi, Minggu, (20/7/2020).

Ia melanjutkan bahwa draf yang berisi rencana penyerderhanaan kurikulum itu mulanya bersifat rahasia. Secara tiba-tiba, tak diketahui pula siapa aktornya, draf tersebut bocor dan mengalir ke arena pembicaraan publik. 

Sungguh disayangkan bahwa draf itu tidak berangkat dari kajian dan naskah akademik yang jelas. Dalam perumusannya, kata Zulkarnain, Kemendikbud hanya melibatkan oknum atau “tim kecil” yang tidak punya keahlian khusus. Mereka mendapatkan akses lantaran ada kedekatan dengan pejabat di lembaga tersebut. Terkait siapa oknum yang ia maksud, sayang sekali, Zulkarnain tak bersedia menyebutkannya.

“Sebenarnya bukan menghapus [pelajaran sejarah],” kata Zulkarnain. Mata pelajaran sejarah rencananya akan ditempatkan sebagai pilihan. Artinya, mempelajari masa lalu bangsa tak lagi menjadi wajib bagi siswa SMA/K sederajat. Padahal, sejarah punya posisi yang begitu penting dalam menjelaskan kebesaran bangsanya. Sejarah punya kapasitas besar sebagai fungsi pendidikan.

Masalah tersebut, kata Zulkarnain dapat ditanggulangi jika Kemendikbud mau melibatkan para pakar kurikulum dan masyarakat sejarah saat pembahasan kurikulum. Harus pula dipaparkan dengan jelas alasan-alasan mendasar bila evaluasi kurikulum hendak dilakukan.

“Kalau kami inginnya menteri [Nadiem Makarim] tegas. Pertama, melibatkan para ahli, jangan seperti mengelola Gojek gitu. Menteri harus paham. Kalau tidak paham, ya, libatkan ahli. Karena yang ada di lingkaran menteri kebanyakan bukan tim ahli. Lebih banyak orang-orang yang berkontribusi secara politik saat Pilpres kemarin,” kata Zulkarnain.

Zulkarnain tak menampik bahwa masih banyak guru atau dosen sejarah yang terlalu kolot alias tidak mampu mengikuti model perkembangan peserta didik sekarang. Kemasan pendidikan sejarah juga rasanya kurang menarik sehingga tak banyak peserta didik yang menaruh minatnya. Maka wajar jika evaluasi kurikulum sejarah menjadi barang yang muskil ditolak Zulkarnain. 

Termasuk soal desakan untuk menyertakan materi sejarah yang selama ini dianggap sensitif, seperti sejarah soal Partai Komunis Indonesia (PKI) atau kisah Kartosuwiryo. Menurut Zulkarnain, sudah waktunya pemerintah memperhatikan hal tersebut. Pasalnya, peserta didik zaman sekarang terbilang kritis. Kemudahan akses informasi membuat mereka tampil sebagai individu yang terbuka dan berani untuk bersilang pendapat.

Zulkarnain mengklaim bahwa Prodi Pendidikan Sejarah UNY adalah yang terdepan dalam mengawal wacana penyederhanaan kurikulum. Menjadi wajar, sebab rencana Kemendikbud itu akan berdampak signifikan kepada mata pelajaran sejarah, kendati mata pelajaran lain juga akan menuai nasib serupa. Meski terdepan, langkahnya pun tak berlangsung mulus, sebab sesama dosen saja belum kompak menyatakan sikapnya. Kata Zulkarnain, tak sedikit dosen yang memilih cuek dan tak peduli.

Agaknya, penolakan terhadap rencana Kemendikbud menomorduakan mata pelajaran sejarah menyimpan alasan yang begitu penting. Mempelajari masa silam sama saja membentuk panduan untuk menempus masa depan. Hal ini sejalan dengan pernyataan sejarawan asal Inggris, Peter Carey ketika dihubungi Ekspresi via WhatsApp melalui asisten penelitinya, Feureau Himawan Sutanto, Minggu (20/9/2020).

Peter mengutip kalimat milik Gil Scott-Heron (1949 – 2011), musisi rap Amerika Serikat. “Jika kamu tak tahu dari mana kamu berasal, kamu tak akan tahu ke mana kamu akan melangkah. Maka, pelajarilah sejarah!” Bagi warga yang ingin negaranya punya masa depan, belajar sejarah dapat menjadi awalan yang lumayan.

Peter menulis, 14 Agustus 1947, Sutan Sjahrir alias “Bung Kecil” naik podium untuk bicara di hadapan 11 anggota Dewan Keamanan Perserikayan Bangsa-Bangsa [PBB]. Peter bilang Si Bung Kecil ini berpidato dengan penuh semangat dan kalimat yang terperinci. Sekitar dua jam, Bung Kecil membeberkan bahwa sejarah soal Indonesia telah terbentang sejak 2000 tahun silam. Ia mengambil contoh Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya sebagai pionir sekaligus simbol integritas teritorial republik baru.

Pidato Bung Kecil sontak melahirkan decak kagum bagi para hadirin. Pidato itu jugalah yang membuka peluang Indonesia dapat duduk sebagai anggota PBB. 

Peter juga mencatat bahwa pidato itu juga sukses membantah argumen Komisaris Tinggi Kerajaan Belanda (High Representative of the Dutch Crown), A.G.H. Lovink yang mengatakan bahwa Indonesia adalah proyek yang disponsori Jepang. Indonesia, dikatakan Lovink tak layak memperoleh status independen. Aksi Lovink tersebut adalah salah satu upaya Belanda untuk merebut kembali wilayah. Untungnya, berkat Bung Kecil, segala upaya Belanda berakhir sia-sia. Indonesia berhasil mematenkan kemerdekaannya.

“Tindakan Sjahrir bisa dilihat sebagai inisiatif diplomatik yang paling menentukan selama Revolusi Indonesia (1945-49). Pada akhirnya, itu mengakibatkan bahwa ketika Belanda meluncurkan Aksi Polisi (Politioneele Actie) Kedua mereka pada 19 Desember 1948 di Yogya dengan menangkap Presiden Sukarno dan semua kabinetnya, Indonesia telah unggul di ranah diplomatik. Mayoritas anggota PBB pada saat Aksi Kedua Belanda mendukung Indonesia. Malah, Amerika Serikat sampai memberi sanksi kepada Belanda dengan mengancam Den Haag akan hilang alokasi bantuan Marshall Plan untuk fiskal 1950-1951 kalau mereka tidak kembali ke meja perundingan dengan Republik dan mencapai sepakat politik yang kekal,” ujar Peter.

Dari pemaparan di atas terlihat betapa pentingnya pemahaman sejarah terhadap upaya untuk memerdekakan diri dari penjajah. Artinya, warga sudah saatnya mempelajari masa lalu bangsanya sendiri agar umur kemerdekaan dapat dijaga selama mungkin. Selain itu, kata Peter agar Indonesia tidak jadi bangsa tweede hand atau “bangsa tangan kedua”.

“Tanpa cinta dan penghargaan pada sejarah mereka sendiri, Indonesia akan terpecah dan orang-orang Indonesia akan ditakdirkan hidup terkutuk selamanya di pinggiran dunia yang mengglobal tanpa tahu siapa diri mereka sebenarnya dan akan kemana mereka pergi,” kata Peter.

Penulis Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 itu mengingatkan kepada generasi muda agar terus merawat sejarah. Tujuannya agar warga Indonesia tak terpecah lantaran tak satu suara soal cara negaranya melangkah. 

Hery Setiawan
Editor: Abdul Hadi
Previous Post

Mahasiswa Baru: PKKMB Daring Berlangsung Cukup Memuaskan

Next Post

Nasib Sarjana Indonesia di Ambang Pengangguran

Next Post
Nasib Sarjana Indonesia di Ambang Pengangguran

Nasib Sarjana Indonesia di Ambang Pengangguran

Ekspresionline.com

© 2019 Lembaga Pers Mahasiswa EKSPRESI UNY

Navigate Site

  • KONTRIBUSI
  • IKLAN
  • BLOG
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • TENTANG KAMI

Follow Us

No Result
View All Result
  • Sentra
  • Japat
  • Fokus
    • Analisis Utama
    • Laporan Khusus
    • Telusur
  • Berita
    • Lingkup Kampus
    • Lingkup Nasional
    • Lingkup Jogja
  • Perspektif
    • Ruang
    • Opini
    • Resensi
      • Buku
      • Film
      • Musik
  • Wacana
  • Margin
  • Sosok
  • Foto
  • Infografik

© 2019 Lembaga Pers Mahasiswa EKSPRESI UNY