Ekspresionline.com–Orang Islam dan Yahudi diharamkan makan daging babi. Orang Hindu tak boleh membunuh sapi. Lelaki dari suku Yanomami di Brasil hidup dengan ganas, sementara di Eropa orang-orang membantai lebih dari lima ratus ribu orang yang dianggap penyihir. Dunia ini menyimpan begitu banyak misteri dan para ilmuwan berlomba-lomba untuk menjelaskan. Agamawan? Tentu saja mereka juga ikut berlomba-lomba.
Di antara sekian banyak ilmuwan dan agamawan yang berlomba, Marvin Harris hadir dengan memberikan warna baru. Ia mengenalkan sebuah konsep yang sekarang kita kenal dengan materialisme budaya. Bak bensin yang disiramkan ke bara api, beberapa teorinya menohok banyak ilmuwan sekaligus membikin kebakaran jenggot sebagian lainnya.
Harris kecil tidak dibesarkan dari keluarga konglomerat. Ia lahir di Brooklyn, New York pada 18 Agustus 1927, tepat tiga tahun menjelang Depresi Besar—krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat dari 1929-1939. Semasa muda, Harris pernah bergabung dengan US Army sebelum akhirnya melanjutkan studi dan meraih gelar doktornya di Universitas Columbia. Di kampus itu, ia bekerja selama 27 tahun. Selanjutnya pada 1981, ia bergabung dengan Universitas Florida sebagai profesor. Setelah 19 tahun bekerja di Universitas Florida, tepatnya pada tahun 2000, Harris memutuskan untuk pensiun.
Semasa hidupnya, Harris telah melanglang buana menjelajahi penjuru dunia. Ia pernah ke Brasil, Ekuador, hingga Mozambik. Kehidupannya ditelan oleh kesibukan sebagai peneliti antropologi. Hingga hari kematiannya pada 25 Oktober 2001, Harris telah menerbitkan tujuh belas buku.
Cows, Pigs, Wars, and Witches: The Riddles of Culture adalah salah satu bukunya yang terbit pada 1974 dan baru saja diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada Mei 2019. Sementara itu, Cannibals and Kings: The Origins of Cultures adalah salah satu karyanya yang paling mengundang kontroversi. Dalam buku tersebut, dengan pendekatan materialisme budaya, Harris menyebut praktik kanibalisme di suku Aztec termotivasi karena kurangnya distribusi protein hewani.
Materialisme Budaya
Ada begitu banyak paham-paham yang berkembang di dunia ini dan salah satu di antara sekian banyak paham itu adalah materialisme. Ia berangkat dari kata dasar ‘materi’ yang mendapatkan imbuhan ‘-isme’. Dalam KBBI, materi berarti benda, bahan, atau segala sesuatu yang tampak. Sedangkan -isme sebagai sufiks pembentuk nomina berarti sistem kepercayaan.
Materialisme dalam hal ini adalah sebuah paham yang mengusung semangat bahwa yang disebut kebenaran harusnya didasarkan pada benda-benda yang nyata serta bisa dirasakan oleh indra manusia. Materialisme tidak mengamini adanya hal-hal di luar materi, katakanlah hantu, jin, malaikat, bahkan tuhan. Semuanya tak bisa dijamah manusia, bukan? Sedangkan para pengikut paham ini, yang mana hidupnya berorientasi pada benda-benda, disebut materialis.
Materialisme budaya yang digaungkan oleh Marvin Harris tak jauh-jauh dari konsep di atas. Menurutnya, budaya manusia terbentuk bukan oleh hal-hal yang mistis, melainkan pengaruh dari materi yang ada di sekitarnya. Ia berangkat dengan premis dasar bahwa materi memengaruhi kesadaran manusia.
Agar lebih mudah memahaminya, mari kita berangkat dari contoh analisis Harris. Dalam Cows, Pigs, Wars, and Witches: The Riddles of Culture, Harris membedah asal mula pelarangan konsumsi babi dalam agama Yahudi dan Islam. Pelarangan tersebut termaktub dalam kitab suci masing-masing tanpa penjelasan mendetail. Pokoknya dilarang! Inilah yang ditolak oleh paham materialisme. Tak ada sebab-akibat yang diterangkan secara jelas dan tugas Harris adalah membedahnya.
Agama Yahudi, sebagaimana Islam, adalah agama samawi yang muncul dari Timur Tengah. Pertama, kita harus melihat bahwa secara geografis wilayah tersebut adalah wilayah gurun yang panas. Babi, seperti halnya kuda nil, membutuhkan kubangan untuk menjaga kelembapan tubuhnya.
Karena miskinnya lumpur—sebagian besar wilayah Timur Tengah adalah gurun yang gersang—yang harusnya bisa digunakan untuk berkubang, maka babi berkubang di kotoran dan air kencingnya sendiri. Inilah asal usul predikat jorok pada babi. Pada kenyataan yang lain, di alam liar yang tak gersang babi berkubang di lumpur, alih-alih dengan tahi dan kencingnya sendiri.
Di titik inilah pengharaman konsumsi babi dengan dalih “hewan jorok” menjadi ambigu. Bukankah sapi dan kambing juga berkubang di tahi? Coba tengok bagaimana kebanyakan orang di pedesaan Pulau Jawa memelihara sapi dan kambing; mereka akan membiarkan ternaknya tidur di atas tahi dan kencingnya sendiri. Mengapa kedua hewan tersebut tak diharamkan? Jangan-jangan kita tak hanya mendiskriminasi manusia, bahkan babi juga jadi objek diskriminasi.
Kedua, kita bisa melihat dari faktor ketersediaan pangan. Alih-alih kaya akan tanaman, di wilayah Timur Tengah yang didominasi gurun lebih banyak rumput yang tumbuh. Sementara babi adalah omnivora, mereka juga butuh tumbuhan untuk dimakan. Sayangnya babi tak makan rumput, apalagi kaktus. Kondisi seperti ini tidaklah bagus, sebab babi adalah hewan yang memerlukan banyak makanan dan konsekuensinya adalah manusia akan berebut makanan dengan babi. Jika babi dibiarkan untuk dipelihara, kemungkinan terbesar adalah terjadinya kelangkaan makanan.
Memelihara unta, sapi, atau kambing jauh lebih logis sebab hewan-hewan itu hanya makan rumput dan tentu kita semua sepakat: manusia tak makan rumput. Dari sini kita tahu bahwa manusia tak akan berebut makanan dengan peliharaannya. Keuntungan lainnya adalah hewan-hewan tadi menghasilkan susu yang bisa dikonsumsi dan wol yang dapat menghangatkan badan, sementara babi tidak sama sekali.
Dari premis-premis tadi, Harris berpendapat bahwa pengharaman konsumsi babi adalah hal yang sangat logis di Timur Tengah. Tujuannya jelas, untuk menjaga keseimbangan ekologis. Namun menjadi tak logis ketika pengharaman itu dilakukan di daerah lain, sebab beda wilayah tentu beda pula konteksnya. Masih dalam buku yang sama, Harris juga menjelaskan mengapa suku Marind di Papua Nugini begitu gemar mengonsumsi babi.
Mengadopsi Konsep Marx
Jika konsep materialisme yang ditawarkan oleh Karl Marx terdiri dari basis dan suprastruktur, di mana basis menjadi determinan, maka konsep materialisme budaya yang ditawarkan Harris mencoba mengadopsi sekaligus memodifikasi konsep dari Marx. Haris mengganti istilah basis dan menyebutnya dengan infrastruktur. Ia juga menambahkan komponen struktur di antara infrastruktur dan suprastruktur. Jadi dalam suatu sistem budaya, di dalamnya ada tiga komponen utama yakni infrastruktur, struktur, dan suprastruktur.
Jika basis dalam konsep Marx hanya membahas produksi, maka infrastruktur dalam konsep Harris menambahkan satu hal lagi, yakni reproduksi. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa masyarakat tidak hanya melakukan proses produksi, melainkan di dalamnya juga terdapat fenomena pola perkawinan, natalitas, aborsi, kontrasepsi, dan sebagainya. Dalam analisisnya, Harris juga membahas bab-bab seperti tekanan populasi.
Struktur dalam konsep Harris mencakup masalah ekonomi domestik dan ekonomi politik. Sementara perilaku emik, mental emik, serta etik seperti simbol, agama, ilmu gaib, dan tabu kepercayaan dimasukkan ke dalam suprastruktur.
Dalam materialisme budaya, infrastruktur berfungsi sebagai determinan atas struktur dan suprastruktur. Hal ini berangkat dari fakta bahwa manusia selalu patuh pada hukum alam sebab spesies ini memerlukan energi untuk melangsungkan kehidupan di bumi.
Harris melihat bahwa hal-hal seperti produksi dan reproduksi mempunyai peluang untuk memengaruhi ekonomi domestik dan ekonomi politik, begitu pun juga berpeluang untuk mempengaruhi suprastruktur perilaku emik dan etik. Namun, ini tidak mutlak. Materialisme budaya juga menerima kemungkinan-kemungkinan bahwa struktur dan suprastruktur dapat berdiri sendiri tanpa pengaruh infrastruktur. Materialisme budaya memfokuskan untuk menemukan kausalitas antara infrastruktur, struktur, dan suprastruktur.
Ketika materialisme budaya dijadikan sebagai metode penelitian, Harris menganjurkan agar peneliti memulai dari analisis infrastruktur, dilanjutkan dengan struktur, dan diakhiri dengan suprastruktur. Hipotesis utama dalam materialisme budaya adalah perilaku manusia dipengaruhi oleh kebutuhan akan pangan, energi, dan hal-hal alamiah lain.
Panen Pengikut dan Pembenci
Konsep materalisme budaya yang diusulkan oleh Harris membuatnya menuai pujian sekaligus cacian. Pada 1986, majalah Smithsonian menyebut Marvin Harris sebagai salah satu antropolog kontroversial yang masih hidup. Sementara The Washington Post memberinya gelar “pusat badai di bidangnya”. Los Angeles Times malah menyebutnya sebagai “si over generalisasi” karena metodenya dianggap terlalu menggeneralisir banyak hal.
Jika ada selain ilmuwan yang kontra dengan Harris, maka orang-orang itu biasanya agamawan. Konsep materialisme budaya dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap agama. Akan tetapi, dari konsep materialisme budaya pula Harris mendulang banyak pengikut. Kontribusinya membuatnya disebut sebagai neomarxis.
Pada 25 Oktober 2001 –kurang lebih delapan belas tahun lalu—Harris menghembuskan nafas terakhir setelah menjalani operasi pinggul di Florida. Ia hidup selama 74 tahun dan meninggalkan seorang istri dan putrinya.
Rofi Ali Majid
Editor: Fiorentina Refani