Ekspresionline.com–“Dari sekolah tidak menyuruh beli buku pelajaran, tetapi ada guru yang memberitahu kalau ada buku yang bisa digunakan untuk mempelajari materi. Biasanya nanti siswa itu disuruh mendaftarkan diri siapa yang mau beli buku, kemudian nanti dikumpulkan. Nah nanti yang meminta itu akan diberi buku,” kata Bendi (nama disamarkan) saat diwawancarai tim Ekspresi pada Selasa (17/9/2019). Bendi adalah salah satu murid SMK N 2 Depok.
Buku pelajaran yang dimaksud Bendi adalah Lembar Kerja Siswa (LKS). Di sekolahnya, ada tiga mata pelajaran yang menggunakan LKS yakni Bahasa Indonesia, Pendidikan Agama Islam (PAI), dan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Ketiganya dibeli oleh Bendi dengan harga masing-masing Rp7.000 per LKS.
Untuk mengonfirmasi hal tersebut, kami menghubungi Mamas (nama disamarkan) yang juga murid SMK N 2 Depok. Mamas turut membenarkan bahwa di sekolahnya terdapat praktik jual beli LKS antara guru dan murid. Mamas bahkan membeli LKS PAI dan PPKn meskipun sang guru tak mewajibkannya.
Apa yang dilakukan oleh guru SMK N 2 Depok jelas melanggar aturan perundang-undangan yang ada. Distribusi buku pelajaran telah diatur dalam Undang-Undang No 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan Nasional. Dalam Pasal 64 dijelaskan bahwa penjualan buku teks pendamping dan buku nonteks dilakukan melalui toko buku dan/atau sarana lain. Masih di pasal yang sama, “sarana lain” yang dimaksud diatur dalam peraturan menteri.
“Pendidik dan tenaga kependidikan, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan,” begitu kutipan Peraturan Pemerintah (PP) No 17 Tahun 2010 pasal 181. Meskipun peraturan tersebut kemudian direvisi melalui PP No 66 Tahun 2010, tetapi pasal 181 tidak termasuk dalam bagian yang direvisi, sehingga aturan tersebut masih berlaku hingga kini.
Larangan jual beli buku pelajaran antara pihak sekolah dengan murid kian dipertegas dalam Pasal 9 ayat 1 Permendikbud No 8 Tahun 2016. Pasal tersebut berbunyi, “Satuan pendidikan wajib memilih dan menyediakan buku teks pelajaran yang dinyatakan layak oleh kementerian untuk digunakan dalam proses pembelajaran.”
Aturan di atas hanyalah tiga dari dua belas aturan yang dijadikan landasan munculnya Permendikbud No 3 Tahun 2019. Peraturan menteri tersebut mengatur mengenai petunjuk teknis Bantuan Operasional Sekolah (BOS) reguler. Pasal 4 ayat 3 bahkan mengatur nominal bantuan yang diberikan kepada sekolah.
Untuk tingkat SD tiap anak mendapatkan Rp800.000 per tahun, sementara tingkat SMP, SMA, dan SMK masing-masing mendapatkan Rp1.000.000, Rp1.400.000, dan Rp1.600.000 per anak dalam satu tahun. Bagi SDLB, SMPLB, SMALB, dan SLB, mereka mendapatkan jatah rata-rata Rp2.000.000 per anak dalam satu tahun.
Jumlah BOS yang disalurkan ke sekolah tinggal dikalikan jumlah murid aktif di sekolah bersangkutan. Dalam lampirannya, peraturan tersebut mewajibkan sekolah menggunakan maksimal 20% dana BOS untuk pengadaan buku pelajaran. Oleh sebab itu, sekolah dan tenaga pendidik tak boleh lagi menjual buku pelajaran kepada murid.
Muryanto dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan DIY mengamini hal tersebut. “Ya itu memang peraturan pemerintah, sudah demikian dan itu memang sudah ada bantuan pemerintah dari BOS. Di situ kan ada aturan-aturan yang harus dilaksanakan oleh sekolah terkait dengan penggunaan dana tersebut, termasuk di dalamnya untuk pembelian buku pegangan guru, buku pelajaran untuk siswa, atau pun juga untuk memperkaya koleksi perpustakaan sekolah,” kata Muryanto saat ditemui di kantornya pada Jumat (6/9).
Belum Ada Pelaporan
Muryanto mengatakan bahwa selama ini belum ada laporan ke Dinas Pendidikan DIY, sehingga mereka belum bisa menindaklanjuti masalah penjualan LKS di sekolah. Kala kami mendatangi Lembaga Ombudsman (LO) DIY untuk mengetahui jumlah laporan kasus tersebut, Suryawan Rahardjo selaku ketua LO DIY juga mengatakan bahwa sejak masa kepengurusannya pada 2018, belum pernah ada laporan mengenai penjualan LKS di sekolah.
Meski ada kasus guru yang menjual buku pelajaran ke murid, pelaporan kasus ini masih nihil. Mamas bahkan belum mengetahui jika ada aturan yang melarang sekolah atau tenaga pendidik menjual buku pelajaran kepada murid.
“Tapi pada prinsipnya kami juga tidak setuju jika ada guru yang jual LKS ke murid,” tutur Suryawan. Menurutnya, ada tiga hal yang membuatnya tak sepakat. Pertama, ketika dijual belikan, LKS belum tentu relevan dengan silabus, sehingga pembelajaran menjadi tidak efektif.
Kedua, LKS membuat guru jadi malas. Suryaman khawatir kalau ada guru yang menggunakan soal-soal di LKS sebagai ujian harian atau mingguan. Akibatnya guru menjadi kurang inovatif. Ketiga, soal penjualan. “Misalnya mata pelajaran Bahasa Indonesia, bayangin kalau dia [guru] mengajar enam rombel, dia ngajar di kelas itu 32 murid kali 6 kelas, itu udah berapa,” kata Suryawan pada Rabu (21/8).
Ketua Bidang Penelitian, Pengembangan dan Hubungan Kelembagaan LO DIY, Yusticia Eka Noor Ida, menjelaskan mekanisme pelaporan di LO DIY. “Pada prinsipnya nanti ketika seseorang datang ke sini, bisa jadi tidak langsung melapor. Mereka berkonsultasi dulu. Karena kan tidak semua aduan menjadi tupoksi kami, bisa jadi lembaga lain. Kalau sifatnya pengaduan, nanti akan diterima oleh staf pengaduan. Pada proses itu [pelapor] akan diminta mengisi formulir, tentu saja dengan mengisi identitas,” kata Ida.
Menurutnya, setelah itu pelapor akan diminta untuk menyusun kronologi mengenai apa yang dilaporkan dan apa yang menjadi keberatan. Termasuk diminta untuk menuliskan penyelesaian yang diharapkan pelapor. Setelahnya,] LO akan melakukan klarifikasi dan mediasi. Jika dinilai ada pelanggaran, maka LO akan menerbitkan rekomendasi bagi pihak-pihak yang ada di lingkar persoalan.
Proses Pengadaan Buku Pelajaran
Untuk mendapatkan gambaran mengenai proses pengadaan buku pelajaran, kami menemui Agus Margana, Wakil Kepala Sekolah Bagian Kurikulum SMP N 1 Yogyakarta. “Kalau sekarang pengadaan buku sistemnya online. Kalau dana BOS Daerah (BOSDA) pakai aplikasi SIPLah, BOS Nasional (BOSNAS) juga pakai aplikasi,” kata Agus pada Kamis (12/9).
Soal aturan yang melarang sekolah dan tenaga pendidik menjual buku pelajaran ke murid, Agus sepakat dengan aturan tersebut. “Segala sesuatunya (buku pelajaran) sudah disiapkan oleh pemerintah, kalau kita jual buku nanti dikira jualan,” kata Agus. Ia juga menambahkan bahwa buku pelajaran yang digunakan di SMP N 1 Yogyakarta murni dari yang disiapkan oleh pemerintah melalui dana BOS yang dibelanjakan sesuai aturan.
“Saat ini, setiap murid dipinjami buku pelajaran dari sekolah, tiap anak satu buku per mata pelajaran,” kata pria yang kesehariannya juga mengajar mata pelajaran Matematika tersebut.
Berdasarkan laporan BOS triwulan kedua 2019 yang rilis pada Selasa (10/9), angka keterserapan dana BOS paling banyak digunakan untuk pengembangan perpustakaan. Nominal pengembangan perpustakaan yang di dalamnya mencakup pengadaan buku pelajaran tersebut mencapai Rp1.257.306.508.043.
Akan tetapi, besarnya nominal tersebut masih berbanding terbalik dengan angka kepatuhan pelaporan sekolah. Hingga triwulan kedua 2019, dari 214.359 sekolah di Indonesia, baru 52.955 sekolah yang membuat laporan penggunaan dana BOS. Jika dipresentasekan, angka kepatuhan pelaporan baru mencapai 25%.
Hingga berita ini diturunkan kami belum mendapat tanggapan dari pihak SMK N 2 Depok. Sebelumnya kami telah mengajukan surat permohonan wawancara sejak Kamis (10/10). Ketika kami konfirmasi pada Senin (14/10), pihak SMKN 2 berdalih bahwa belum ada surat yang masuk.
Kami lantas mengirimkan kembali surat permohonan wawancara pada Rabu (23/10/2019), tetapi pihak SMK N 2 mengabarkan bahwa surat sebelumnya sudah masuk. Pihak SMK N 2 lantas menganjurkan agar kami kembali pada Jumat (23/10) untuk bertemu langsung dengan kepala sekolah. Namun, rencana pertemuan kembali gagal, sebab kepala sekolah sedang berkunjung ke Dinas Pendidikan DIY.
Rofi Ali Majid
Reporter: Rofi Ali Majid, Ikhsan Abdul Hakim
Laporan 2: Industri Buku dan Evolusi Sistem Tata Niaga
Laporan 3: Digitalisasi Industri Buku: Dari Distribusi hingga Konsumsi
Laporan 4: Wattpad: Dari Media Sosial ke Industri Buku Cetak
Laporan 5: Buku dalam Bayang-Bayang Negara
Laporan 6: Kancah Suram Penerbit Perguruan Tinggi
Laporan 7: Masih Ada Pendidik yang Jual Buku Pelajaran ke Murid
Laporan 8: Sekolah dan Tenaga Kependidikan Dilarang Jual Buku Pelajaran
Laporan 9: Dari Jogja, Mereka Melawan Pembajakan
Opini: Pratik Jual Beli Buku Pelajaran Adalah Bentuk Pengabaian terhadap Hak Siswa