Ekspesionline.com—Taburan bunga mawar merah dan panggung gelap menyambut kedatangan penonton. Dari tempat duduk, samar-samar terlihat dua nisan yang berdempet, lengkap dengan sebaran bunga mawar serta anggrek yang masih segar. Di tengah panggung, sebuah pohon kering dengan cabang yang menjalar ke segala arah. Dan di bagian kanan, terdapat sebuah kursi panjang berwarna coklat.
Unsur-unsur di atas makin melengkapi ekspektasi kita tentang Tempat Istirahat. Sebuah pentas teater yang ditampilkan Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas (UKMF) Sangkala, FBS. Pertunjukan tersebut digelar pada Jumat (20/9/2019) di Laboratorium Karawitan, FBS, UNY.
Pukul 20.30 WIB, latar gelap itu perlahan menguning. Pohon kering, nisan, dan kursi panjang yang semula tampak samar mulai terlihat jelas. Sepasang lansia berjalan tertatih menuruni tangga. Mereka berdua baru saja pulang dari pasar. Mata sang nenek, Norma, berbinar tatkala memandang sepasang nisan marmer yang masih mulus. Norma merasakan ketenteraman setiap kali menyaksikan kuburan. Lain hal dengan sang kakek, Pamujo. Ia tampak cemberut sambil memegang perutnya yang merongrong kelaparan.
Norma merasa amat beruntung menemukan dua makam tersebut dalam perjalanan pulang. Makam, baginya adalah simbol pencapaian kehidupan seseorang. Semakin cantik makamnya, maka hidup seseorang terasa semakin berharga. Tak henti-henti, Norma memuji makam yang ada di hadapannya; berbahan marmer dengan pahatan ayat-ayat suci. Sementara itu, Pamujo duduk di kursi cokelat, masih dengan ekspresi yang sama. Berkali-kali, ia mengajak Norma segera pulang sebab rasa lapar terus menderanya. Sementara itu, malam mulai lingsir pelan-pelan.
Pamujo paham betul dengan isi tas Norma. Ada lauk pindang dan bandeng di dalamnya. Rasa lapar yang melilit-lilit menjadikan Pamujo bermaksud mengambil makanan tersebut diam-diam. Saat Norma lengah dalam rasa kagumnya, perlahan tangan Pamujo menggerayangi isi tas Norma. Namun, Norma cukup awas oleh gerakan yang ada di sekitarnya. Buru-buru ia pukul dan singkirkan tangan Pamujo.
Norma terus memandang sepasang makam tanpa tahu nama pemiliknya. Saat itu, Norma membayangkan, bagaimana ia dan Pamujo akan dikubur? Apakah di lubang-lubang terasing hingga tak seorang pun berniat mengunjungi? Sementara suaminya akan dikubur dalam lubang asing lainnya. Kematian benar-benar memisahkan mereka berdua. Ada sebuah ketakutan jika Norma tidak mampu mendapatkan pemakaman yang ia impikan. “Aku hanya ingin nisan yang sederhana, setidaknya agar orang tahu siapa yang ada di dalamnya,” tegas Norma sambil menatap nisan tersebut.
Tapi Pamujo buru-buru memotong khayalan Norma. Makam marmer dengan bunga-bunga di atasnya itu adalah milik Parto, seorang pegawai pegadaian dan juga istrinya. Pamujo mengenal Parto sebagai orang yang telah merasakan madu kehidupan: arak, perempuan, dan judi. Keluarga kecilnya berbeda dari keluarga Parto dan istrinya. Pamujo berusaha mewakili realita sederhana mereka yang hidup sebatang kara dan minim harta. Untuk hidup saja, Pamujo dan Norma masih keteteran, apalagi untuk mengurus hari kematian mereka. Butuh beratus-ratus ribu untuk mendapatkan sepasang nisan dengan pahatan nama: Pamujo dan Norma.
Andai saja Pamujo seorang penjual daging, keluarga mereka tidak akan melarat seperti itu. Namun, Pamujo tidak pernah menuruti perkataan istrinya dulu. Jadilah kini Pamujo, sang pembuat sepatu yang bahkan selama menikah belum pernah memberikan istrinya alas kaki. Sepasang suami istri itu saling berdebat tentang hidup, waktu, dan rasa bersalah. Norma ingin batu nisan yang layak di hari kematiannya nanti. Sementara Pamujo hanya ingin pulang membawa serta istrinya untuk makan malam. Terdapat pertentangan antara harapan dan realita, dibenturkan dengan begitu menyedihkan. Pamujo dan Norma telah melalui masa hidup yang panjang. Di usia yang telah senja, pikiran mengenai kematian kian mengintai. Padahal, belum juga lubang dan nisan mereka pastikan.
Azan maghrib mengheningkan mereka dalam sekejap. Seperti mengingatkan akan sesuatu yang bisa mereka usahakan saat itu. Bukan nisan, bukan pula menjadi penjual daging. Ada keluarga yang harus mereka berikan kasih sayang. Ada pula ikan pindang dan bandeng, serta nasi putih hangat yang harus mereka lahap berdua. Pamujo menggenggam tangan Norma, meninggalkan pemakaman yang kian gelap.
Pementasan Tempat Istirahat diangkat dari karya seorang dramawan Inggris, David Campton. Cerita yang dituliskan sang dramawan mengandung relasi kuat dengan masalah kesejahteraan di Indonesia. Masyarakat Indonesia berpikir bahwa mati itu menyusahkan. Pernyataan itu makin diperkuat oleh Nindya Sekarwangi, selaku Pimpinan Produksi Tempat Istirahat ini. “Sisi kemiskinan di naskah ini menggambarkan kondisi sosial ekonomi Indonesia, di mana masyarakat kita lebih takut akan kemiskinan yang menyelimuti hidup, sehingga untuk berpikir akan mati pun kita kesusahan,” tuturnya, Selasa (24/9/2019).
Apa yang dirasakan Pamujo dan Norma hampir mirip dengan perasaan masyarakat Indonesia. Kemiskinan jauh lebih mengerikan daripada kematian. Perasaan takut mati muncul karena khawatir akan menjadi beban ekonomi baru bagi keluarga. Biaya pemakaman terus meroket, ditambah lagi kian sukarnya tanah kuburan ditemukan. Angan-angan seolah luntur oleh pekatnya realita. “Naskah ini menjadi begitu menarik, sebab pada realitasnya kita mempunyai angan yang bermacam macam, lagi-lagi dibenturkan oleh kenyataan hidup yang pahit, hidup yang serba kekurangan,” tutup Nindya.
Teater bertajuk Tempat Istirahat ini ditampilkan dalam Pentas Penciptaan Karya I oleh UKMF Sangkala, FBS, UNY. Pentas Penciptaan Karya sendiri merupakan program kesenian dari UKMF Sangkala untuk menginterpretasi dan mengembangkan seni peran. Adapun Tempat Istirahat merupakan naskah teater karya David Campton yang pertama kali dipentaskan di Inggris pada 1969. Oleh UKMF Sangkala, digubah dan diimprovisasi menjadi pertunjukan modern, sesuai dengan relevansi kondisi ekonomi di Indonesia.
Hery Setiawan
Editor: Abdul Hadi