Ekspresionline.com—Pemahaman masyarakat Indonesia mengenai sains sangat rendah. Berbagai macam klenik masih hidup, baik yang berbalut agama maupun kebudayaan lokal. Masih ingatkah, pada 2009 lalu kita heboh dengan fenomena batu Ponari. Orang berduyun-duyun mendatanginya karena batu Ponari dipercaya dapat menyembuhkan penyakit.
Metode penyembuhan penyakit lewat medium air yang dibacakan ayat maupun mantra dari si orang suci tidak asing lagi di telinga kita. Apakah ini benar-benar manjur? Tentu saja tidak, tetapi praktik-praktik semacam itu tetap berlangsung hingga kini. Di tengah kemajuan sains dan teknologi yang pesat, kondisi ini tidak bisa dikatakan baik
Beberapa orang mencoba mengawinkan klenik dengan produk sains, lalu bagaimana jadinya? Hasilnya adalah aplikasi ponsel pintar berupa santet daring, pelet daring, primbon daring, dan sebagainya. Menilik prinsip-prinsip sains, tentu aplikasi tersebut hanyalah pepesan kosong. Jika kita uji maka akurasinya akan hancur dan validitasnya nol besar.
Ini bukanlah masalah sederhana. Jika kini Indonesia hampir bebas dari buta aksara, maka masyarakat kita masih terjangkit buta sains. Padahal, meminjam pernyataan Carl Sagan, kebutaan dalam hal apa pun tetaplah menjadi masalah yang besar. Buta sains membuat kita jauh tertinggal dari negara lain. Efeknya kita hanya akan jadi konsumen dalam segala macam industri baik teknologi maupun hal lain yang berbasis riset sains.
Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) mempunyai program tiga tahunan untuk mengukur sejauh mana kemampuan sains masyarakat dalam suatu negara. Program tersebut diberi nama Programme for International Student Assessment (PISA), di mana masing-masing negara diambil sampel warganya yang berusia 15 tahun, kemudian diuji untuk melihat sejauh mana kemampuan mereka dalam hal membaca, matematika, dan sains.
Indonesia telah mengikuti program tersebut sejak tahun 2000. Selama itu pula, peringkat Indonesia tak pernah masuk 50 besar. Program tiga tahunan tersebut terakhir dilaksanakan pada 2018. Namun hasilnya baru akan dirilis pada Desember 2019. Sehingga, data terbaru saat ini masih bersumber dari PISA 2015.
Berdasarkan PISA 2015, OECD menyimpulkan bahwa sains di Indonesia berada di peringkat 62 dari 70 negara. Lumayan masih masuk sepuluh besar terbawah. Hasil tersebut masih jauh dibanding Singapura, Vietnam, dan Thailand yang masing-masing berada di peringkat 1, 8, dan 54.
Mengapa pemahaman sains masyarakat Indonesia masih rendah? Ada banyak faktor yang saling silang sengkarut melatarinya. Suharyo Sumowidagdo, Fisikawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pernah mengomentari masalah ini dalam podcast yang dibuat oleh The Conversation dan Kantor Berita Radio (KBR).
Menurut Suharyo, sebagian besar pembelajaran sains di sekolah masih bersifat dogmatis. Murid hanya diajarkan rumus-rumus tanpa dijelaskan konteks munculnya rumus. Akibatnya, rumus tersebut hanya jadi hafalan belaka dan dengan mudah pudar dari ingatan, sebab hanya dipelajari tanpa dipahami.
Yang dikatakan Suharyo bukanlah omong kosong. Saya merasakan sendiri bagaimana diajari rumus E=mc pangkat dua secara praktis, tanpa tahu konteks adanya rumus tersebut serta konsekuensinya. Padahal jika ditilik lebih jauh, ada kisah panjang dari rumus sederhana tersebut. Kisahnya dimulai dari teori gravitasi Newton yang semula dianggap sebagai salah satu pencapaian terbaik manusia, hingga pada akhirnya Einstein mampu mendapatkan celah dari teori Newton tersebut. Kini kita mengenalnya sebagai teori relativitas. Lagi-lagi, lewat Sagan saya tahu bahwa hal tersebut yang membuat Einstein dikenang sedemikian hormatnya oleh umat manusia.
Konsekuensi dari penemuan Einstein tersebut sangat dekat dengan kita, mulai dari teknologi GPS yang mampu menuntun kita ke mana pun saat tak tahu arah, hingga konsep dilatasi waktu yang sering digunakan sebagai formula dalam film-film Holywood yang kita puja karena kelewat keren.
Intan Suci Nurhati, seorang peneliti iklim dan kelautan LIPI mempunyai pengalaman yang nyaris sama. Semasa SMA ia punya pengalaman yang kurang menyenangkan. Gurunya tak pernah menjelaskan El Nino Southern Oscillation (ENSO), sebuah siklus alam dan fenomena iklim terbesar abad 21. Padahal ENSO adalah hal yang sangat dekat dengan kita.
Ketidaktahuan, barangkali perkara ini yang membuat banyak masyarakat indonesia masih menganggap fenomena alam sebagai azab. Saya tidak bermaksud untuk menyingkirkan agama maupun klenik lainnya dari kehidupan. Masalahnya sains adalah alat terbaik yang kita miliki saat ini. Coba saja, kita tebak kapan gerhana bulan terjadi menggunakan tiga alat: orang suci, dukun, atau sains. Saya berani bertaruh sepiring kambing guling bahwa tebakan sains jauh lebih akurat bahkan hingga jam, tempat terjadinya gerhana, serta jenis gerhana yang terjadi.
Misal kita ambil sampel beberapa orang yang sedang terserang demam, pilihlah: beri dia sekeping parasetamol, atau segelas air yang dibacakan mantra-mantra. Kita tentu tahu mana yang akan lebih dahulu sembuh. Sekali lagi, sains adalah satu-satunya alat terbaik yang kita miliki saat ini.
Apakah sains bisa salah? Tentu saja bisa, itulah sebabnya dalam sains ada batang galat (margin error). Namun, meskipun berpotensi salah, potensinya sangatlah kecil. Sains mempunyai mekanisme koreksi kesalahan yang selalu berjalan.
Ketika suatu teori ditemukan, ilmuwan akan mencoba berbagai cara untuk mencari celah kesalahan dari teori yang ada. Itu adalah sebuah prestasi yang dihormati oleh para ilmuwan. Lagi-lagi Einstein kembali jadi contoh ketika ia bisa menemukan celah dari teori gravitasi Newton.
Mengingat pentingnya sains dalam kehidupan, maka buta sains adalah hal yang wajib kita tumpas. Beberapa ilmuwan, secara kreatif telah mengenalkan sains dalam berbagai bentuk medium dan bahasa populer yang mudah dipahami. Mereka beralasan bahwa sains yang penuh dengan rumus-rumus serta istilah teknis adalah hal yang horor bagi orang awam. Oleh sebab itu mereka menyajikan dengan cara yang lebih sederhana agar kita dapat belajar sains dengan cara yang lebih mudah.
Berikut adalah beberapa media yang dapat kita gunakan untuk belajar sains dari awal.
- Komik The Far Side
Masih banyak orang tua yang mengangap membaca komik hanyalah hiburan yang kurang bermanfaat. Pikiran seperti ini sebaiknya dibuang jauh-jauh, sebab kini komik bisa jadi salah satu media belajar yang ampuh. Komik The Far Side salah satunya contohnya.
Dalam suatu seri yang berjudul “Momen Memalukan dalam Pesta Gen”, digambarkan para gen sedang berpesta. Tiba-tiba salah satu gen bernama Vinnie tampak cacat. Gen lain meresponnya dengan berteriak, “Ya ampun, Vinnie bermutasi!” Kejadian berikutnya adalah perbincangan mengenai definisi mutasi hingga hal-hal yang memungkinkan terjadinya mutasi. Masih ada banyak lagi seri dari komik tersebut. Semuanya berisi pengetahuan yang dibalut dengan percakapan yang tentunya membuat wawasan kita bertambah dengan cara menghibur.
Komik ini sebenarnya lebih tepat untuk belajar anak kecil, tetapi juga bisa jadi rekomendasi untuk orang dewasa yang awam sains. Komik ini dapat kita temukan di berbagai toko buku dengan kisaran harga tujuh puluh lima ribu rupiah hingga dua ratus ribuan.
- Komik Why? Series
Jika The Far Side dianggap kebarat-baratan, maka komik Why? Series bisa jadi solusi bagi pembenci produk barat. Komik ini berasal dari Korea, juga berbahasa Korea. Namun tenang saja, komik ini telah tersedia dalam bahasa Indonesia.
Pada dasarnya, konsep Why? Series sama dengan The Far Side, yang membedakan adalah jumlah seri dari komik ini jauh lebih banyak. Mulai dari Mendel hingga Hawking, bakteri hingga dinosaurus, semua memiliki serinya masing-masing. Komik ini jauh lebih mudah ditemukan di toko buku ketimbang The Far Side.
Untuk mendapatkannya siapkan dompet yang agak tebal sebab harganya bervariasi, mulai dari tujuh puluh lima ribu rupiah hingga seratus ribuan. Jika ditilik,mahalnya harga komik disebabkan oleh kualitas kertas yang baik serta halaman yang penuh warna.
- Novel Perburuan Bintang Sirius
Media lain yang dapat kita gunakan untuk belajar sains adalah novel. Perburuan Bintang Sirius adalah karya asli anak bangsa, Yohanes Surya. Sebagai profesor fisika sekaligus pendiri Universitas Surya, kualitas pemahamannya akan dunia sains tak perlu diragukan. Perburuan Bintang Sirius mengangkat kisah tentang persaingan antar kelompok saintis cilik dari berbagai daerah di Indonesia. Persaingan mereka berujung pada petualangan yang seru.
Kita akan disuguhkan berbagai perdebatan sains masa lalu seperti kisah Newton Battle. Perdebatan ini muncul dari pembicaraan mengenai cahaya. Newton menganggap bahwa cahaya adalah partikel, tetapi Robert Hooke dengan lantang menolak. Ia berpendapat bahwa cahaya adalah gelombang. Gara-gara perdebatan itu, keduanya bermusuhan hingga akhir hayat.
Lalu siapa yang benar? Kita akan menemukan jawabannya di buku ini. Lekaslah ke toko buku dan siapkan kantong tebal. Novel ini terdiri dari tiga seri yang jika ditotal, harganya sekitar dua ratus lima puluh ribu rupiah.
- The Magic of Reality
Nama penulis buku ini melambung berkat bukunya The Selfish Gene. Meskipun begitu, The Magic of Reality tak bisa dipandang sebelah mata. Usahanya untuk mempopulerkan sains kepada masyarakat terlihat begitu serius. Diksi yang digunakan dalam buku begitu mengalir. Dengan analogi-analogi yang dekat dengan kehidupan kita, ia menjadikan buku ini sebagai salah satu buku pengantar sains terbaik yang pernah ada.
Formula dalam buku ini sebenarnya sederhana. Dawkins selalu memulai semua bab dengan berbagai mitos di dunia, lantas membenturkannya dengan sains. Keduanya sama-sama sihir, hanya saja sains menurut Dawkins adalah sihir yang sesungguhnya.
Sebagai contoh, pada bagian awal buku ini ia berkisah tentang dongeng yang hampir diketahui semua umat manusia: katak berubah menjadi pangeran. Hampir semua orang akan mengatakan bahwa itu mustahil. Namun, dengan cerdas Dawknis menerangkan dengan konsep evolusi, bahwa kodok menjadi manusia bukanlah hal mustahil. Penjabarannya kian mudah ditangkap karena buku ini penuh dengan ilustrasi pada tiap halamannya.
Ia menggandeng Dave McKean, seorang ilustrator buku anak yang kondang. Perkawinan antara diksi Dawkins yang jernih dengan ilustrasi McKean yang keren melahirkan kekaguman bagi siapa pun yang membacanya. Sayangnya buku ini terhitung mahal. Butuh seratus empat puluh lima ribu rupiah untuk membawa pulang buku ini.
- Kosmos
Jika ingin tahu berbagai macam sains yang jadi pondasi peradaban kita saat ini, bacalah Kosmos. Carl Sagan, penulisnya, adalah seorang astrofisika yang kenyang pengalaman dalam menyelidiki ruang angkasa. Berkat usahanya mempopulerkan sains, Ia mendapatkan penghargaan Pulitzer.
Ia akan mengajak kita mengunjungi dunia kita ke waktu yang sangat jauh –sebelum bumi ini dipenuhi makhluk-makhluk bersel tunggal, hingga masa di mana manusia sudah mampu menjelajah ke luar bumi. Mulanya adalah Big Bang, sup purba, makhluk bersel tunggal, hingga jadi sedemikian rupa. Mulai dari paham abiogenesis hingga biogenesis. Mulai dari pembakaran perpustakaan Alexandria hingga bangkitnya sains, dan masih banyak hal yang ia jelaskan.
Semuanya diuraikan dengan prosa yang mengagumkan. Salah satu bagian paling menarik ialah ketika ia menjelaskan bagaimana asal muasal ilmu astronomi. Semua berawal dari pengamatan orang zaman dahulu terhadap langit maha luas yang penuh dengan bintang-bintang. Dari situ berkembanglah pembacaan nasib seseorang melalui peredaran planet serta bintang. Di kemudian hari kita mengenalnya sebagai astrologi.
Astrologi sempat dianggap sebagai sains dalam beberapa abad, hingga kemudian semua berubah tatkala orang-orang tahu bahwa nasib manusia tak ditentukan oleh peredaran benda-benda di luar angkasa. Namun, pengamatan terhadap benda langit tak berhenti begitu saja. Kegiatan tersebut terus berjalan hingga muncullah ilmu astronomi. Kini astrologi dianggap sebagai pseudosains, sementara astronomi merupakan bagian dari sains.
Jika menemukan Kosmos di toko buku, lekas ambil dan bawa pulang. Harganya seratus ribu rupiah.
- The Demon Haunted World
Buku ini baru diterjemahkan dalam bahasa Indonesia pada Oktober 2018 lalu. Isinya soal kemuakan Carl Sagan atas kondisi masyarakat yang buta sains. Ia membela sains dari berbagai “setan” yang menggodanya. Menurut Sagan, sains harus ditegakkan dan buku ini merupakan salah satu wujud kepedulian Sagan terhadap sains.
Saat ini, kebanyakan orang menggunakan produk sains secara instan. Penggunaan produk sains secara instan tanpa diikuti cara berpikir sains yang kritis merupakan resep bencana yang manjur.
Menurut Sagan, sains tak hanya soal rumus-rumus serta istilah rumit. Lebih dari itu, sains adalah cara berpikir. Konsep sains menuntut verifikasi ketat serta pembuktian argumen yang berdasar.
Buta sains menghilangkan semua konsep itu. Akhirnya muncul dikotomi pemikiran antara saintis dan para buta sains. Astronom punya musuh astrolog, evolusionis bermusuhan dengan eksegesis agamis, dokter bermusuhan dengan dukun dan antivaksin, geofisika bermusuhan dengan kaum bumi datar, dan berbagai contoh lain. Dampaknya tak main-main. Jutaan orang mati karena tidak diberi vaksin, sementara jutaan lainnya menderita.
Butuh ketahanan mata untuk membaca buku ini. Total ada 512 halaman, kesemuanya berisi teks tanpa ilustrasi. Buku ini bisa ditemukan di toko buku dengan harga seratus dua puluh ribu rupiah.
- The Selfish Gene
Buku ini melambungkan nama penulisnya, Richard Dawkins. Inti dari buku ini adalah memandang evolusi dari sudut pandang yang baru: gen. Ketika terbit, buku ini tidak langsung memunculkan perdebatan. Sekarang, jika ada yang menolak buku ini, orang terdepan tentu penganut isi kitab suci garis keras.
The Selfish Gene bermula dari perdebatan evolusionis dalam memandang seleksi alam. Siapakah yang diseleksi? Individu atau kelompok? Masing-masing sudut pandang punya kelemahan. Dari sudut pandang seleksi individu, bagaimana menjelaskan fenomena altruisme antar makhluk hidup? Pertanyaan ini tak terjawab jika menggunakan sudut pandang seleksi individu.
Namun jika memandang evolusi dari sudut pandang seleksi kelompok, muncul pula pertanyaan yang tak bisa dijawab. Sejauh mana lingkup kelompok yang diseleksi? Apakah kelompok spesies? Kelompok genus? Kelompok ordo? Atau tingkatan yang lebih tinggi lagi?
Menjawab kebuntuan tersebut, Dawkins menjawab semua pertanyaan dari sudut pandang gen. Bagaimana jawabannya? Silahkan cari buku ini di toko buku. Harganya sembilan puluh lima ribu rupiah.
- Sapiens
Bagaimana sejarah kita sebagai manusia hingga menjadi sedemikian rupa? Yuval Noah Harari menjelaskan dengan sangat baik dalam Sapiens. Setelah buku ini terbit, penjualannya meledak hingga menjadi best seller internasional. Berkat buku ini pula namanya melambung.
Harari bilang bahwa kita ini dulunya hanya makhluk biasa yang sama dengan makhluk lain, tetapi kini telah mampu beranak-pinak hingga mencapai jumlah tujuh miliar dan jadi penguasa bumi.Mengapa bisa demikian? Harari berargumen bahwa homo sapiens telah melalui tiga revolusi. Pada awalnya adalah revolusi kognitif, lantas menuju revolusi pertanian dan revolusi sains. Ketiganya membentuk homo sapiens menjadi tak tertandingi oleh makhluk lain. Harari menjelaskan berbagai sudut pandang yang jarang diulas oleh ilmuwan lain.
Untuk mendapatkan buku ini, siapkan uang sejumlah seratus lima belas ribu rupiah. Pastikan buku ini ada di rak bukumu.
- Film Interstellar
Selain lewat buku, kita juga dapat belajar sains melalui media film. Interstellar menjadi rekomendasi karena film ini penuh dengan unsur sains. Christoper Nolan, sutradara film ini, sampai minta bantuan para ilmuwan agar tak menyalahi konsep sains.
Diceritakan, masa depan bumi sudah di ambang kehancuran. Cooper (Matthew McConaughey) sebagai tokoh utama harus meninggalkan bumi untuk mencari tempat baru bagi manusia. Saat meluncur ke luar angkasa, anaknya masih kecil. Namun, setelah ia kembali ke bumi, anaknya sudah menjadi tua.
Ini merupakan konsep dilatasi waktu yang jadi konsekuensi bagi orang yang mengendarai kendaraan dengan kecepatan mendekati cepat rambat cahaya. Cooper mengendarai pesawat luar angkasa, menempuh jarak jutaan tahun cahaya. Oleh karenanya ia butuh kecepatan yang sangat cepat.
Selain dilatasi waktu, film ini juga berbicara soal fenomena lubang hitam. Seperti kita tahu, beberapa waktu lalu ilmuwan telah berhasil mengambil foto lubang hitam. Waktu dan ruang benar-benar dapat dibengkokkan. Film ini mendapat ulasan positif dari kritikus film. Jadi masih ragu untuk menontonnya?
- Film Avengers: End Game
Jika mengunjungi masa depan adalah hal yang mudah, kita tinggal berjalan dengan kecepatan mendekati cahaya (sesuai dengan konsep dilatasi waktu dalam teori relativitas), maka kembali ke masa lalu adalah hal yang mustahil.
Ada sebuah kisah terkenal yang orang-orang menyebutnya sebagai “paradoks kakek”. Bayangkan anda berjalan ke masa lalu, lantas membunuh kakek anda waktu muda. Hal tersebut harusnya mengubah masa depan. Lalu bagaimana anda bisa terlahir ketika kakek anda tidak melahirkan orang tua anda? Secara logika itu mustahil.
Tetapi dalam mekanika kuantum ada teori yang mengatakan dunia ini terdiri dari banyak dimensi. Artinya ada banyak dunia di dunia ini, sehingga teori ini dikenal sebagai teori banyak dunia. Teori inilah yang digunakan sebagai formula dalam Avengers: End Game. Sebuah perjalanan masa lalu untuk mengubah masa depan.
Kalau belum nonton, segerakan nonton. Filmnya bagus, katanya.
***
Itulah beberapa medium yang saya tawarkan sebagai alternatif belajar sains, terutama untuk orang awam. Jika pelajaran sains di kelas begitu dogmatis dan memuakkan, belajar dari media di atas bukanlah hal yang sia-sia. Namun, jika pelajaran sains di kelas anda sudah menyenangkan, tak ada salahnya juga untuk tetap belajar dari media yang telah diulas tadi.
Ada beberapa hal yang biasanya menjadi masalah. Harga buku dan tiket bioskop yang mahal terkadang melemahkan niat untuk belajar lebih jauh. Hal ini dapat diatasi dengan cara mencari buku-buku tersebut di perpustakaan daerah maupun perpustakaan nasional. Untuk film, kita memang masih harus sabar menunggu, hingga film tersebut muncul di internet.
Selamat belajar, jangan pernah membatasi diri.
Tabik!
Rofi Ali Majid
Editor: Ikhsan Abdul Hakim
Rujukan
Yohanes Surya, Ellen Cony & Sylvia Lim. 2012. Perburuan Bintang Sirius 2. Tangerang: PT Kandel.
Richard Dawkins. 2018. The Magic of Reality. Jakarta: Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Carl Sagan. 2016. Kosmos. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Carl Sagan. 2018. The Demon Haunted World. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Richard Dawkins. 2017. The Selfish Gene. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Yuval Noah Harari. 2017. Sapiens. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.