Ekspresionline.com–Sekitar 5.300 tahun yang lalu, dari wilayah kering Sumeria (sekarang Irak bagian selatan), buku untuk pertama kalinya muncul dalam peradaban manusia. Dari catatan Denise Schmandt-Besserat dalam Before Writing (1992), munculnya buku diinisiasi dari fase penemuan tulisan pada periode Neolithikum. Tulisan yang muncul pada periode tersebut telah melalui berbagai proses penyempurnaan hingga sampai ke bentuk seperti yang kita kenal saat ini.
Lebih dari 4.700 tahun setelahnya, terpaut setidaknya 4.372 kilometer dari peradaban Sumeria, tepatnya di jantung negara yang sekarang bernama Jerman, muncullah suatu teknologi yang memulai era industri buku. Berkat mesin cetak yang berhasil diciptakan Johanness Gutenberg pada pertengahan abad ke-15, terjadi peningkatan produksi buku dalam skala yang masif. Sehingga buku dan kitab suci yang awalnya ditulis secara manual dengan jumlah amat terbatas dan hanya bisa diakses oleh segelintir orang, berhasil dicetak dan diterbitkan secara massal dan beredar secara massal pula berkat teknologi mesin cetak temuan Gutenberg.
Fernando Baez dalam Pelarangan Buku dari Masa ke Masa (2013) mendefinisikan buku sebagai pelembagaan ingatan bagi konsekrasi dan permanensi, karenanya harus dipelajari sebagai kepingan kunci dari warisan budaya suatu masyarakat. Warisan budaya menurut hasil konvensi yang digelar di Den Haag pada 14 Mei 1954 adalah keseluruhan penanda material—baik dalam bentuk karya seni maupun simbol-simbol—yang terkandung di dalam kebudayaan yang dialihkan oleh generasi manusia di masa lalu kepada generasi berikutnya, sebagai unsur utama yang memperkaya dan menunjukkan ikatan identitas suatu generasi dengan generasi sebelumnya, dan pustaka bagi seluruh umat manusia.
Oleh karena itu, bukulah yang pada akhirnya memberi wadah bagi ingatan manusia. Buku, terlepas dari konotasinya yang portabel, mengobjektifikasi ingatan: ialah kesatuan rasional yang menghadirkan lewat media cetak maupun elektronik sebuah tekad memonik dan linguistik. Ia memberikan penanda identitas kepada setiap tempat dan ruang, dan merupakan gudang penyimpanan informasi tentang pengalaman manusia.
Menaja Nusantara
Berdasarkan hasil penelitian Dr. Eduard J.J.M. Kimman dalam Indonesian Publishing: Economic Organizations in a Langganan Society (1981), industri perbukuan di Indonesia pertama kali diinisiasi oleh kegiatan percetakan pada sekitar abad ke-17, saat kolonialisasi Belanda turut serta membawa mesin cetak. Melalui mesin cetak itulah, Vereenigde Oostindische Compagnie selaku kongsi dagang Belanda mencetak berbagai macam publikasi dan menerbitkan surat kabar Bataviaasche Nouvelles. Sayangnya, pada masa tersebut akses terhadap bacaan dikendalikan sepenuhnya oleh Belanda.
Dengan meluasnya sistem pendidikan selepas tahun 1850, permintaan akan buku pelajaran bertambah pula, juga dalam bahasa-bahasa bumiputra . Hal itu mendorong pemerintahan kolonial menugaskan pembuatan buku-buku pelajaran dan bahan pengajaran pada tahun 1878 kepada Depot van Leermiddelen —yang pada perkembangannya tidak menunjukkan kinerja yang optimal.
Seperti yang ditulis oleh Doris Jedamski dalam “Terjemahan Sastra dari Bahasa-bahasa Eropa ke Dalam Bahasa Melayu Sampai Tahun 1942” (2002), seturut dengan meluasnya pendidikan yang berorientasi ke Barat di antara penduduk bumiputra dan permintaan akan bahan bacaan dalam bahasa-bahasa bumiputra yang tidak disokong oleh pemerintah kolonial, maka para penerjemah non-Barat juga mulai naik daun. Mulai tahun 1880-an, penerbit-penerbit Tionghoa dan Melayu-Tionghoa yang mendapat pendidikan secara pribadi atau di luar negeri, memproduksi sastra Melayu yang sama sekali lepas dari agenda kolonial .
Lantas, pada 1908 dibentuklah Commissie voor de Volkslectuur atau Komisi Bacaan Rakyat oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda karena anggapan soal rendahnya mutu buku-buku hasil terjemahan Tionghoa dan Melayu-Tionghoa. Melalui catatan Jedamski yang bertajuk “Kebijakan Kolonial di Hindia Belanda” (2009), lembaga ini lantas berganti nama menjadi Balai Poestaka pada 1917.
Melalui Balai Poestaka tersebut, penerbitan buku-buku dalam bahasa bumiputra mengalami perkembangan. Selain itu, banyak penerbit bumiputra lain mulai bermunculan. Salah satu yang menonjol adalah para penerbit muslim Melayu di Sumatra. Mereka muncul sekitar tahun 1935 seiring dengan terjadinya politisasi yang kuat di satu pihak dan sekularisasi Islam terus berlanjut di pihak lain. Berkembangnya para penerbit bumiputra ini berdampak pada dinamika industri buku dari masa kolonial hingga saat ini.
Wajah-Wajah Baru
Dalam sesi wawancara, Buldanul Khuri—pendiri Penerbit Mata Bangsa—menjelaskan bahwa pasca krisis tahun 1998, industri buku malah menampakkan perkembangannya dengan bangkitnya penerbit-penerbit lama yang sempat “mati suri” maupun munculnya penerbit baru. Penerbit-penerbit ini menerbitkan wacana-wacana yang selama Orde Baru dilarang.
Sebagai contoh, Penerbit Bentang Budaya—yang lantas berganti nama menjadi Bentang Pustaka setelah diakuisisi oleh Mizan pada 2004—memutuskan untuk menerbitkan karya-karya Che Guevara, Marco Kartodikromo, dan sebagainya pasca 1998. Ia menilai hal itulah yang menyebabkan perluasan spektrum buku dan kemudian mengubah situasi industri buku di masyarakat.
Penerbit-penerbit seperti yang dijelaskan Buldan di ataslah yang lantas oleh Adhe Ma’ruf—selaku aktivis perbukuan dan pendiri Penerbit Octopus—diidentifikasikan sebagai penerbit alternatif. Menurut definisi Adhe, penerbit alternatif adalah penerbit kebanyakan muncul dari basis mahasiswa dan aktivis, yang pada perkembangannya banyak menjadi antitesis dari tema-tema populer yang berkembang di pasar. “Makanya teman-teman yang berkecimpung dalam aktivisme itu, ketika sudah bebas dari rezim [Orde Baru], maunya menerbitkan buku-buku yang mereka suka. Aku mendefinisikannya penerbitan di masa itu yang tidak hanya menerbitkan untuk melayani kebutuhan pasar,” imbuhnya.

Selain penerbit alternatif, perkembangan zaman bagi industri buku juga memunculkan wajah-wajah baru lainnya seperti penerbit indie. Sebelumnya, pasar buku didominasi oleh suplai buku-buku terbitan penerbit mayor. Jika penerbit mayor identik dengan rumah produksinya yang berskala besar karena memiliki sumber daya memadai, maka penerbit indie memproduksi buku dengan skala kecil karena kurangnya sumber daya pengelolanya.
Akan tetapi, perkembangan dalam industri perbukuan membangun saluran baru bagi penerbit untuk tidak lagi terikat pada jalur penjualan arus utama—yang mana dalam hal ini menguntungkan penerbit-penerbit mayor. Penerbit indie bisa lebih berkembang karena tidak lagi terpaku pada mesin cetak offset dan jumlah oplah yang besar. Sehingga, menurut Achmad Choirudin yang merupakan pemimpin redaksi Insist Press, pada akhirnya logika mayor dan indie telah menjadi lebur. Sebab sekarang ini penerbit bisa menentukan jumlah eksemplar yang akan diterbitkannya dan jalur pemasaran produknya.
Relasi Mesra Buku dan Teknologi
Adanya kemajuan teknologi turut berimbas pada industri perbukuan di Indonesia. Indra Ismawan sebagai CEO Media PressIndo menuturkan bahwa saat ini pasar buku sudah berkembang sangat signifikan jika dibandingkan dengan 20 tahun yang lalu. Perkembangan ini didorong adanya perubahan pola-pola penerbitan konvensional. Indra berujar, “Pokoknya berkembanglah, semakin ke relung-relung pasar yang dulu tidak terbayangkan. Artinya, bagi penerbit kan itu dituntut kompetensi sama keahliannya di bidang yang bersangkutan.”
Perkembangan pasar dalam industri perbukuan turut diamini oleh Adhe. Adhe menilai bahwa spektrum pasar saat ini sudah sedemikian luasnya. Meluasnya sprektrum tersebut, salah satunya, dipengaruhi transformasi pola-pola produksi dan distribusi. “Sekarang kan lebih banyak produsen langsung ke end-user [dengan] memakai berbagai platform digital. Tidak lagi melalui jalur konvensional yang melingkar-lingkar dari distributor, agen, toko buku, baru nantinya sampai ke pembaca,” tuturnya.
Pendekatan kepada konsumen melalui platform digital tersebut dinilai lebih cocok dengan perubahan gaya konsumsi buku masyarakat sekarang. Adhe menganggap bahwa orang-orang saat ini memiliki kecenderungan untuk enggan ke toko buku fisik sebab semuanya sudah tersedia di ponsel pintarnya. Hal itulah yang lantas harus disadari oleh penulis, penerbit, toko buku, sehingga bisa lebih tanggap terhadap dinamika industri buku ini.
Menjelang tahun 2010, muncul penerbit-penerbit yang bersifat self-publishing. Penerbit-penerbit ini mengakomodasi banyak penulis yang karyanya tidak bisa masuk ke penerbit mayor. Mereka menerbitkannya dengan oplah sedikit dan biaya yang rendah. Selain itu, dorongan dari marketplace dan meluasnya penggunaan teknologi mesin print on demand (PoD) untuk mencetak buku dalam jumlah kecil membuat volume dan transaksi pasar buku membesar. Menurut Indra, inilah yang pada akhirnya merangsang banyaknya pemain baru dalam industri perbukuan.
Dalam sesi wawancara di Medpresso Cofee Garden, Indra menjelaskan bahwa mulai 2013 sistem PoD mulai relevan—walaupun secara teknis PoD telah ada dari awal 2000. Ekspansi sistem ini lantas berimbas pada, salah satunya, penerbit perguruan tinggi di Indonesia.
“Dari dulu [penerbit perguruan tinggi] nyaris tidak merasa perlu bersinggungan dengan pasar secara serius menurutku. Karena mereka hidup dari subsidi kampus itu sendiri. Memang tiap kampus punya, tapi nggak ada yang gagah,” jelas Adhe . Menurut Bambang Trimansyah, aktivis perbukuan sekaligus Ketua Institut Penulis Indonesia, perkembangan era PoD ini membuat beberapa penerbit perguruan tinggi mengubah pola produksinya menjadi unit bisnis percetakan bertiras kecil untuk menyesuaikan diri dengan permintaan pasar.
Di samping itu, perkembangan teknologi yang memengaruhi industri buku sedemikian masif juga hadir lewat munculnya konten-konten digital. Konten-konten digital salah satunya mewujud dalam media sosial. Hal tersebut menuntut para penerbit selalu responsif terhadap aktivitas di media sosial di era digital seperti sekarang ini.
Ternyata berkembangnya pasar buku secara online dan berkembangnya teknologi melalui sistem PoD itu bukan hanya menguntungkan penerbit—dalam hal ini penerbit skala kecil—tetapi juga menguntungkan pembajak. Indra menyatakan bahwa sekarang pembajakan sudah lebih masif karena adanya sistem daring. “Mereka bisa memasarkan bukunya secara online lewat marketplace dengan cepat. Lantas, dengan teknologi PoD itu kan mereka sangat mudah; ada buku kemudian dikonversi jadi fail dan dicetak berapa pun sesuai permintaan pembeli.”
Sedangkan menurut Buldanul Khuri, pembajakan itu terus ada. Hanya saja sekarang ini—senada dengan yang dituturkan Indra—makin marak. Saat ini pembajak buku itu juga merupakan spekulan. Jikalau dulu yang dibajak jelas-jelas buku yang sudah laku, kalau sekarang buku-buku yang belum dapat terbaca penetrasi pasarnya pun mengalami pembajakan.
Lemahnya Penegakan Hukum
Meski prospek dari pasar buku lumayan menjanjikan, namun pemerintah sendiri terlihat tidak memiliki komitmen yang serius untuk mengembangkannya. Adhe mengungkapkan, “Jadi industri penerbitan itu seperti dibiarkan berjalan dan tumbuh sendiri tanpa back up yang baik negara.”
Abainya pemerintah dapat ditilik dari ketiadaan atau pun kurang optimalnya implementasi regulasi hukum yang mengakomodasi para pelaku perindustrian buku. Misalnya saja dalam Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 pasal 181 disebutkan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan. Namun dalam temuan di lapangan oleh tim Ekspresi, masih ditemukan pelanggaran terhadap regulasi tersebut—yang mana sampai saat ini tidak ada penertiban dari otoritas terkait.
Selain itu, Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta juga mengubah delik pidana biasa terkait pelanggaran hak cipta menjadi delik aduan. Dalam sesi wawancara yang dilakukan bersama Ketua Ikatan Advokat Indonesia, Ariyanto, disebutkan bahwa undang-undang pidana yang bersifat delik aduan akan menyulitkan proses pemberantasan pembajakan buku. Pasalnya, proses penyelesaian perkara baru bisa dilakukan ketika ada pihak yang merasa hak ekonomi atas karyanya dilanggar kemudian melaporkannya. Sehingga tanpa adanya pelaporan, tidak akan ada penindakan oleh otoritas negara terkait.
Di samping regulasi tersebut, asosiasi perbukuan juga tidak memiliki daya tawar yang kuat terhadap negara. Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI)—yang menurut klaimnya adalah satu-satunya asosiasi penerbitan profesional di Indonesia—hanya mengakomodasi penerbit-penerbit yang tergabung menjadi anggotanya saja. Padahal di Yogyakarta sendiri, misalnya, hanya ada 130 penerbit yang tergabung sebagai anggota IKAPI. “Yang bukan kan lebih banyak lagi. Sementara pemerintah hanya tahu ada IKAPI,” pungkas Adhe.
Fiorentina Refani
Reporter: Fiorentina Refani, Ikhsan Abdul Hakim, Reza Egis, Rofi Ali Majid, Sabine Fasawwa
Laporan 2: Industri Buku dan Evolusi Sistem Tata Niaga
Laporan 3: Digitalisasi Industri Buku: Dari Distribusi hingga Konsumsi
Laporan 4: Wattpad: Dari Media Sosial ke Industri Buku Cetak
Laporan 5: Buku dalam Bayang-Bayang Negara
Laporan 6: Kancah Suram Penerbit Perguruan Tinggi
Laporan 7: Masih Ada Pendidik yang Jual Buku Pelajaran ke Murid
Laporan 8: Sekolah dan Tenaga Kependidikan Dilarang Jual Buku Pelajaran
Laporan 9: Dari Jogja, Mereka Melawan Pembajakan
Opini: Pratik Jual Beli Buku Pelajaran Adalah Bentuk Pengabaian terhadap Hak Siswa