Judul: Anak Pertama
Artis: Kopibasi
Genre: Folk Pop
Tahun Rilis: 2019
Jumlah Lagu: 10
Ekspresionline.com—Apresiasi sastra bisa dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya melalui musik. Grup Folk asal Yogyakarta, Kopibasi, sedang melakukannya melalui lagu-lagu kreasi mereka. Kopibasi terbentuk dengan susunan 6 personel; Galih Fajar (vocal), Alfan Arifanto (gitar), Yudi Prasetyo (violin), Istiq (bass), Pradesta Burhan (gitar), dan Mathorian Enka (perkusi). Mereka disatukan bersama oleh puisi dan musik. Di samping itu, mereka juga kerap tampil dalam acara-acara yang berbasis sastra.
Setelah 5 tahun berkarya, Kopibasi akhirnya mengeluarkan album debut mereka.. Album perdana ini diberi judul Anak Pertama. Sampul pada album ini adalah hasil foto yang diambil Drajat T. Jatmiko, penulis buku Raja Seni Jalanan: Jean-Michel Basquiat dan Viva La Vida: Biografi Frida Kahlo. Foto-fotonya banyak mengandung sisi human interest dan kerap dibagikannya melalui Instagram.
Olahan potretnya yang dijadikan sampul album anak pertama terasa sangat menarik. Gambar tersebut menangkap gerak seorang anak, ibu, piyik dan ayam. Tampak perbandingan yang sama-sama menunjukkan hubungan seorang ibu (atau induk) dengan anaknya. Meskipun berbeda spesies, terdapat kemiripan dalam hubungan ibu dan anak; sang ibu yang mendampingi anaknya ketika bermain, dan sang induk yang menjaga anaknya saat mencari makan. Selain itu, terdapat keunikan dalam bagaimana potret tersebut menyembunyikan wajahsang ibu dan anak, sekaligus menutupi identitasnya.
Album Anak Pertama berangkat dari cerita pengalaman orang tua menumbuhkan dan melahirkan anak-anak mereka, juga dari doa seorang anak kepada sebaris makam orang tua. Dari hal tersebut, lahirlah 10 lagu dalam album yang dapat dinikmati melalui media daring streaming semenjak 5 Desember 2019 lalu ini. Meskipun berangkat dari cerita hubungan keluarga, lagu-lagu dalam album ini juga berisi tentang pertemuan, rindu, luka, duka, nasib, dan rela yang mengisi perjalanan setiap manusia.
Tersadar akan Ikatan Bapak, Ibu dan Anak
Kopibasi memberikan ruang pemaknaan soal keluarga pada salah tiga lagunya dalam album Anak Pertama. Penikmat karya akan diajak mengenang dan merenungkan ikatannya. Baik itu dengan ibu, bapak maupun dengan dirinya sendiri sebagai seorang anak. Tiga lagu yang dimaksud berjudul “Ibu”, “Bapak” dan “Anak”.
Awal lagu “Ibu” dihiasi perpaduan petikan gitar dan gesekan violin yang serasi dengan durasi sekiranya lebih dari 20 detik. Selanjutnya, dengan tambahan suara perkusi, rangkaian instrumen akan menghiasi awal lagu “Bapak” dan “Anak”. Ketiga lagu tersebut masing-masing berdurasi lebih dari 4 menit. Liriknya puitis, terukur tidak terlalu panjang, hanya sekitar 90-115 kata. Ketiga lagu didampingi instrumental semarak nan halus yang tentu nyaman didengar dan tidak ingin dilewatkan. Pada setiap akhir lagu, akan ada kalimat-kalimat repetisi. Pengulangan sebagai bentuk penegasan.
Kalimat repetisi pada lagu “Bapak” berbunyi:
Sadar masing hati kurang hati-hati maka kita kembali
Kita belum matang sebelum putuskan kembali lagi pulang.
Apabila dihubungkan dengan keseluruhan lirik lagu, maka tersampaikan bahwa ikatan bapak dan anak memang saling bergantung melalui doa walaupun kadang kala saling melukai saat bersikap pada satu sama lain.
Lalu, penggalan pengulangan pada lagu “Ibu” berbunyi:
Ho, masihkah kau melagu pada batu?
Ho, cerita yang belum sampai kepadaku?
Keseluruhan lirik lagu tersebut menyampaikan tentang ibu selalu menjadi tempat yang nyaman, tempat yang penuh kasih sayang. Ibu menjadi tempat bersandar ketika lelah dan ibu akan terus menceritakan kabar si anak pada orang lain sebagai bentuk rasa bangga.
Lagu “Anak” memiliki kalimat berulang yang berbunyi:
Hidup adalah sungai yang memburu kedalaman laut
Kita adalah ranting aking jatuh terhempas ke deras sungai
Lirik lagu “Anak” secara penuh bercerita tentang sang anak yang menjalani kehidupan dari seorang bocah kemudian lepas pada kerasnya lingkungan. Si anak yang memiliki mimpi tetapi mengalami cemas dan hampa pada pengembaraannya. Kumpulan kata yang diartikulasi secara jelas oleh sang vokalis melahirkan pemaknaan dan interpretasi yang unik dan mendalam pada masing-masing lagunya.
Tentang Pertemuan dan Rindu
Beralih dari ruang pemaknaan keluarga, Kopibasi menyediakan wadah perenungan mengenai pertemuan dan rindu dalam sebuah hubungan lewat lagu “Demi”, “Payung” dan “Cukup Pagi yang Telanjang”.
Lagu “Demi” menjadi pembuka pada album ini. Dalam lagu ini, secara gamblang disebutkan bahwa setiap orang memiliki kesempatan untuk menyempatkan suatu pertemuan. Hal yang kadang kala terlupa, karena tak jarang kita menjadikan kesibukan sebagai suatu alasan tiadanya perjumpaan.
Katamu kita tak lagi butuh rindu
Kalimat tersebut menjadi salah satu frasa yang terulang pada lagu “Payung”. Lagu ini dapat dimaknai sebagai sulitnya suatu hubungan karena jarak dan lainnya. Rasa cemas yang hadir akibatnya memunculkan doa dan harap.
Kegiatan sepasang kekasih tersampaikan lewat lagu “Cukup Pagi yang Telanjang”. Mereka semalaman terjaga, berpelukan, beradu puisi, dan saling menceritakan omong kosong ditemani secangkir kopi.
Interaksi itu tercantum pada penggalan lirik yang berbunyi:
Sayang, cukuplah pagi yang telanjang
Menanggalkan malam, baiknya kau diam
Dalam pelukan
Cangkir kopi bercerita, tentang omong kosong kita
Kita biarkan
Tiap lagu diiringi musik romantis nan harmonis. Musik yang keras dan riuh akan menyertai di sela-sela lagu “Demi” dan “Payung” disertai seruan para personel, sedangkan “Cukup Pagi yang Telanjang” menyajikantempo pelan nan lembut namun tidak membosankan dari awal sampai akhir lagu.
Pertanyaan-pertanyaan dari Deklamasi Puisi
Pada lagu “Deru” dan “Tempe I”, Kopibasi menghadirkan ruang pemaknaan melalui pertanyaan-pertanyaan retoris. Uniknya, pertanyaan itu tersisipkan dalam lagu dengan bentuk deklamasi puisi yang menarik.
Pertanyaan mengenai seseorang yang tersiksa oleh luka ditanyakan melalui lagu “Deru”. Setelahnya, keromantisan akan dijumpai pada lagu ini karena ada pengambilan alih luka dan duka milik sang kekasih. Derita itu akan diubah menjadi pelepasan kisah hidup.
Beginilah bunyi penggalan naskahnya:
Apa kau memiliki luka?
Mari berikan aku lukamu
Beri aku dukamu
Pinjami aku rasa perih
Pinjami aku kekasih
Biar ku teguk dan kulepas bersama cerita hidup
Lain halnya dengan “Deru”, “Tempe I” bertanya mengenai nasib yang dialami masyarakat akibat melonjaknya biaya. Perasaan miris dan ironis akan terasa, seperti yang tertera dalam penggalan naskah ini:
Nasib anjing memang lebih jinak dibanding harga uang
Lalu bagaimana dengan karya pop art
yang dijual eceran di warung makan, Mas?
Siapa peduli urusan perut kecuali lingkar pinggang yang diukur siku
Tapi katamu hidup harus menghidupi
Ya, hidup memang harus menghidupi
Kedua deklamasi puisi dibacakan oleh pemain perkusi di tengah lagu, ditemani alunan lambat musik “Deru” dan ritme cepat dan tegas dalam “Tempe I”.
Terlepas dari deklamasi puisi, keseluruhan lirik kedua lagu itu patut disimak dan dihayati secara seksama. Sembari menghayati dinamika dan warna suara dari alat musik yang dimainkan Kopibasi.
Pascaduga dan Kosakatarsis
Kopibasi memang dengan sengaja menyerahkan interpretasi lirik lagunya pada penikmat karya. Mereka ingin penikmat karya semakin tumbuh minat bacanya. Niat itu tampak pada kedua lagu mereka yang berjudul “Pascaduga dan “Kosakatarsis”.
Pengertian kata “Pascaduga” dan “Kosakatarsis” ini tak bisa ditemukan melalui KBBI. Namun, pencarian makna kata tersebut bisa dilakukan ketika membagi kata menjadi dua. Pertama, untuk kata “pasca” dan “duga”. Muncul pengertian berupa “sesudah” dan “duga”. Kedua, kata “kosakata” dan “katarsis” yang menurut KBBI berarti “perbendaharaan kata” dan “penyucian diri”.
Sesuai dengan judul yang sedikit sulit diterjemahkan secara langsung, keseluruhan rangkaian kata pada kedua lagu pun perlu pendalaman secara lebih untuk menginterpretasikannya. Meskipun keseluruhan lagu banyak berisi beberapa bait yang diulang, tetap saja tak mudah untuk memaknainya.
Salah satu bait yang diulang pada lagu “Pascaduga” berbunyi:
Sekali, berikan telat
Untuk membentuk jalan
“Pascaduga” menyampaikan tentang usaha merelakan beberapa hal yang telah atau sedang terjadi agar nanti datang hasil baik. Perelaan yang timbul setelah proses menduga-duga ataupun menerka-nerka maksud daripada hanya mengeluhkan sesuatu. Bisa jadi, yang kita keluhkan dapat dimaknai dengan ringan hati.
Bait yang diulang pada lagu “Kosakatarsis” berbunyi:
Bersama rembulan berlayar sampan
Menangkap senja serta malam
Bersama matahari berjalan kaki
Menjaring fajar serta pagi
Sedikit yang bisa tersampaikan “Kosakatarsis”, yaitu mengenai syair seseorang tidaklah muncul begitu saja, tetapi ia berasal dari proses penemuan-penemuan penuh waktu.
Walau untaian katanya begitu sukar diterjemahkan, melodi dan irama yang disajikan akan mengajak penikmat untuk terus-menerus mengulang lagu. Sebab, terlalu indah dan kaya apabila hanya diresapi sekali. Selain perpaduan alat musik gitar, bass, perkusi dan violin, di dalam lagu “Kosakatarsis” pun terdengar padu padan vokal personelnya yang saling menyelaraskan.
Ayu Kusnaini
Editor: Nugrahani Annisa