Ekspresionline.com–Pada tanggal 21, Juni 2022 akun Twitter @_n*p*n mencuit “Keponakan gw bikin status wa “I wanna sleep without problems” waduh problem apa tuh kelas 3 SD?,” Cuitan tersebut mendadak ramai memantik berbagai opini sebagai respons warganet dari yang pro hingga kontra.
Apa yang ditulis akun tersebut seolah-olah menganggap anak kecil tidak patut untuk memiliki masalah. Masalah anak-anak hanyalah butiran kecil dari masalah orang dewasa. Padahal, masalah yang selama ini kita anggap sepele, mungkin saja adalah sesuatu yang besar bagi anak-anak.
Perasaan sedih, marah, kecewa, dan perasaan lainya pada anak kecil seringkali diinvalidasi, alih-alih mengajak anak-anak bicara tentang hal-hal yang membuat perasaannya demikian. Sebagai representasi kalangan dewasa, dari fakta umum yang saya jumpai, orang tua lebih memilih untuk memarahi anak. Jika anak sedang menangis, mereka justru menyuruh anak untuk tidak merasa sedih dan tidak menangis. Kemudian, ketika anak tak kunjung menurut, label-label “anak nakal”, “anak durhaka”, akhirnya mereka lontarkan.
Buku “Si Kecil yang Terluka Dalam Tubuh Orang Dewasa” yang ditulis oleh Patresia Kirnandita, memuat bagaimana pengalaman masa kecil dan bagaimana dinamika orang tua diasuh di masa kecil. Kedua hal tersebut sangat berpengaruh terhadap andil dalam pembentukan sikap dan kepribadian manusia ketika dewasa. Oleh karena itu, luka dan masalah anak tidak boleh disepelekan dan diabaikan begitu saja. Sebab, efeknya bakal kontinyu ketika mereka telah menjadi dewasa.
Pengasuhan yang Beracun dan Luka Masa Kecil
Dalam buku tersebut, Patresia bercerita pengalamannya untuk berdamai dengan inner child atau yang sering dikenal dengan luka batin masa kecil. Dia memiliki pengalaman pengasuhan yang keras dari orang tuanya, khususnya ibunya yang overprotective.
Selain itu, hidup di lingkungan keluarga yang minim apresiasi membuatnya sulit untuk merasa puas dengan segala pencapaianya. Dia tumbuh menjadi orang dewasa yang memiliki impostor syndrom atau kondisi di mana seseorang telah melakukan berbagai hal atau pencapaian yang besar dan membanggakan. Pengidap impostor syndrom berpendapat bahwa capaian tersebut mereka peroleh berkat keberuntungan, bukan karena keterampilan dan usaha yang dilakukan.
Selain itu, pujian dan kritik menjadi suatu hal yang penting untuk diperhatikan dalam pengasuhan anak. Pujian yang berlebihan akan mengakibatkan anak tumbuh menjadi seseorang yang manja dan tidak mandiri.
Begitupun kritik yang berlebihan, yang mana akan membuat anak tumbuh dengan memiliki rasa percaya diri yang rendah, seperti yang dialami Patresia. Selain itu, minimnya apresiasi dari orang tua membuat seseorang merasa haus akan validasi dan berusaha untuk terus mengais apresiasi dari orang lain. Kiranya, pujian dan kritik harus berjalan dengan seimbang.
Patresia juga menuliskan kisah teman-temannya yang mengalami pola pengasuhan yang beracun ‘toxic parenting’. Pengalaman yang dialami beragam, seperti kekerasan terhadap anak secara fisik dan verbal, pilih kasih dari orang tua, orang tua yang overprotective, kurangnya apresiasi, dan masalah lain yang memicu timbulnya inner child.
Terdapat beberapa model pengasuhan orang tua yang dijelaskan dalam buku ini. Pertama, pengasuhan dengan model otoriter, di mana orang tua memiliki hierarki yang tinggi ketika mengasuh anak. Orang tua dengan pengasuhan semacam ini cenderung memaksakan aturan yang dibuatnya, sehingga anak tidak memiliki ruang gerak yang bebas. Dalam model ini, orang tua berpotensi memberlakukan pendisiplinan berupa hukuman, bukan nasihat dan teguran.
Model kedua adalah pengasuhan permisif, di mana orang tua cenderung memberikan kelonggaran terhadap anak dalam mengambil keputusan. Orang tua dengan model pengasuhan ini cenderung “mudah” menoleransi kesalahan anak ketika melanggar aturan dan menghindari konfrontasi dengan mereka. Dampaknya, anak tidak akan terbiasa dengan konflik. Padahal, konflik tidak harus dihindari secara keseluruhan, tetapi juga diperlukan untuk melatih anak dalam memanajemen emosi.
Model ketiga adalah pengasuhan otoritatif. Patresia menilai bahwa model ini adalah metode yang paling ideal. Hal tersebut lantaran orang tua yang menerapkan model pengasuhan ini akan lebih suportif terhadap anaknya. Namun, Patresia mewanti-wanti bahwa orang tua tetap harus memberikan batasan tertentu.
Terakhir adalah model pengabaian. Model ini berarti orang tua dinilai lebih mementingkan dirinya sendiri, atau dalam kata lain tidak memberikan batasan maupun perhatian yang besar terhadap anaknya. Layaknya model otoriter, model ini akan menimbulkan konflik antara orang tua dan anak di kemudian hari.
Pengasuhan orang tua sangat berdampak pada sikap anak hingga dewasa. Orang tua dengan pengasuhan tidak sehat biasanya juga memiliki inner child, buah hasil pengasuhan orang tua mereka di masa lalu. Lingkaran setan ini akan terus ada ketika tidak adanya pengetahuan dan kesadaran terkait inner child dan hubunganya dengan pola asuh orang tua.
“Sampai sekarang saya hanya bisa menerka, mungkin Mama juga punya isu mental, mungkin diam-diam Mama sangat tertekan, mungkin ia jenuh, letih, sakit, dan mengekspresikannya dengan kemarahan yang melukai saya begitu dalam. Mungkin ia rindu kedekatan dengan anaknya tetapi gagal menemukan cara mewujudkanya,” (hlm. 202).
Membaca buku ini dengan sederet pengalaman Patresia dengan teman-temannya yang mengalami pola pengasuhan yang tidak sehat dan menimbulkan inner child, membuat saya kembali menyelami masa kanak-kanak. Apakah tingkah laku, luka saya hari ini, cara pandang saya terhadap diri sendiri, atau bagaimana saya mengatasi luka dan masalah, ada kaitanya dengan luka masa kecil ‘inner child’ yang belum selesai.
Memiliki keinginan untuk mencari tahu apa yang salah dalam diri kita, lantas beranjak menerima dan memaafkan segala luka, merupakan langkah yang sangat baik untuk memutus pola asuh yang tidak sehat. Setiap orang membutuhkan waktu yang berbeda-beda dalam berproses menuju ke arah lebih baik.
Nuriyah Hanik Fatikhah
Editor: Abi Mu’ammar Dzikri