Oleh Mohamad Ichsanudin alias Suden
(Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah 2019)
Ekspresionline.com—Pemotongan siaran langsung Parade Ormawa sedikit banyak telah membuat saya kecewa terhadap pelaksanaan PKKMB tahun ini. Saya sepakat bahwa pemotongan video tersebut telah mencederai hak publik dalam mengakses informasi yang telah dijamin konstitusi. Namun, apakah Parade Ormawa tersebut memang layak untuk dikonsumsi oleh mahasiswa baru (maba)?
Dalam berita “Video Live Streaming Parade Ormawa Tidak Ditayangkan”, yang sebelumnya terbit dalam buletin Expedisi Edisi I Pasca PKKMB Agustus 2019 turut menyitir pernyataan Ketua BEM KM UNY, Agung Wahyu Putra Angkasa mengenai kekecewaannya terhadap pemotongan video tersebut. Agung menyatakan bahwa orasi yang disampaikannya tidak hanya menampung aspirasi yang dirasakan maba, tetapi juga (aspirasi) yang harus disaksikan oleh masyarakat luas bahwa UNY perlu berbenah.
Pernyataan Ketua BEM tersebut turut membuat saya geli. Lantaran saya, yang beberapa pekan lalu berbahagia diterima di kampus negeri, tiba-tiba dilibatkan dalam sebuah pernyataan bahwa Ketua BEM UNY telah menyampaikan aspirasi yang telah dirasakan oleh maba (termasuk saya).
Dalam orasinya juga, Agung mengkritisi penyelenggaraan pendidikan yang dirasa mahal. Jika berangkat dari alasan beliau, saya sebagai maba juga turut merasakannya. Hal ini dibuktikan dari pengalaman salah satu sahabat saya yang diterima di UNY jurusan Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum (PKnH) kini harus menghentikan mimpinya untuk menempuh pendidikan tinggi akibat mahalnya iuran pangkal (UPPA) yang terasa memberatkan.
Terlepas dari urusan pribadi, penerapan uang pangkal juga dirasa egois, lantaran peluang masuk perguruan tinggi bagi anak berkantong tebal lebih besar dibandingkan mereka yang kurang mampu. Anak-anak dari keluarga menengah ke atas dapat menempuh jalur masuk perguruan tinggi melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), dan Seleksi Mandiri (SM) tanpa biaya yang memberatkan. Sedangkan mereka yang kurang dari segi ekonomi, hanya dapat menempuh jalur masuk perguruan tinggi lewat jalur subisidi (SBMPTN dan SNMPTN).
Hal tersebut berlawanan dengan cita-cita Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara agar pendidikan dapat diakses oleh semua kalangan. Namun, apakah alasan tersebut juga dapat dirasakan oleh seluruh maba yang berhasil mendapatkan jatah kursi di UNY?
Berangkat dari keresahan tersebut, banyak dari maba yang kebingungan melihat Parade Ormawa saat khidmat berlangsung. Sebagian besar dari mereka bertanya-tanya. “Iki maksude opo?” (Ini maksudnya apa?), “Larang kepiye?” (Mahal dari sisi mana?), ”Nek dibandingke ro kampus sebelah, yo tetep larang kono” (Kalau mau dibandingkan dengan kampus sebelah, tetep mahal di sana).
Komentar-komentar di atas berseliweran di sekitar saya kala menyaksikan Parade Ormawa. Berdasarkan realita di lapangan itulah, apakah Ketua BEM UNY tidak malu mengatasnamakan aspirasi maba yang sama sekali tidak merasakan isu-isu yang beliau sampaikan? Atau maba hanyalah kerbau yang dicucuk hidungnya untuk (diajak) berani melawan birokrat?
Pramoedya Ananta Toer pernah menyatakan bahwa satu-satunya komponen masyarakat yang paling bebas adalah mahasiswa. Namun, mahasiswa juga menempati posisi strategis untuk menjadi korban doktrinisasi oleh para senior. Teriakan-teriakan (perlu) perubahan sering menjadi asupan dan seakan-akan maba adalah satu-satunya komponen dalam proses perubahan itu. Namun, apakah perubahan dapat terpenuhi bila mereka hanya sebagai objek dari proses doktrinisasi?
Maba dituntut untuk kritis terhadap isu kecil di lingkungan kampus, tetapi tuntutan mereka sama sekali tidak memberi kesempatan maba untuk berpendapat atau mempertanyakan seperti apa yang menindas dan apa yang diperlukan untuk terwujudnya perububahan? Maba hanya menerima celotehan kosong yang menyayangkan sikap apatis mereka.
Kesadaran kritis tersebut tentunya dapat terwujud apabila terjadi proses dialogis antara senior sebagai subjek dan maba juga diberlakukan sebagai subjek. Bukan sekadar menjadikan maba sebatas objek doktrinisasi saja. Dalam proses semacam ini, antara subjek dengan subjek dapat melepaskan identitas yang melekat dalam dirinya masing-masing, dalam hal ini antara senior (mahasiswa lama) dan junior (maba). Dengan begitu, maba akan mendapatkan ruang untuk berbicara dan mengungkapkan pendapatnya.
Proses dialogis dapat diciptakan melalui forum diskusi yang memberikan maba pemahaman terhadap isu-isu penting di lingkungan kampus, sehingga mereka bukan hanya dijejali dengan argumentasi kritis (atau teriakan-teriakan kosong) mengenai perubahan. Forum dialogis juga memberi ruang bagi maba untuk mengkritisi bagaimana perubahan dapat melibatkan mereka.
Alasan-alasan itulah yang melatarbelakangi kekecewaan saya terhadap pelaksanaan PKKMB tahun ini. Bukan lantaran masalah teknisnya, melainkan tuntutan kritis yang dialamatkan kepada kami tanpa proses dialogis yang jelas. Hal inilah yang menjadikan banyak maba tidak memahami isu yang dibawa pada saat Parade Ormawa berlangsung.
Mungkin alasan ini tidak mewakili seluruh maba sepenuhnya, karena ini murni pendapat pribadi saya dari maba yang menempuh jalur SM yang merasakan langsung uang pangkal UPPA, yang merupakan kritik pendidikan mahal dari orasi Ketua BEM UNY.
Jika kami memang sekadar objek dari doktrinisasi senioritas, mungkin ini bisa menjadi surat terbuka untuk Ketua BEM kami yang terhormat, Agung Wahyu Putra Angkasa untuk kembali mengevaluasi pernyataan saudara terkait keresahan yang juga dirasakan oleh maba. Terima kasih.
Editor: Abdul Hadi