Ekspresionline.com
  • Sentra
  • Japat
  • Fokus
    • Analisis Utama
    • Laporan Khusus
    • Telusur
  • Berita
    • Lingkup Kampus
    • Lingkup Nasional
    • Lingkup Jogja
  • Perspektif
    • Ruang
    • Opini
    • Resensi
      • Buku
      • Film
      • Musik
  • Wacana
  • Minor
    • Margin
    • Tepi
  • Sosok
  • Foto
  • Infografik
No Result
View All Result
Ekspresionline.com
  • Sentra
  • Japat
  • Fokus
    • Analisis Utama
    • Laporan Khusus
    • Telusur
  • Berita
    • Lingkup Kampus
    • Lingkup Nasional
    • Lingkup Jogja
  • Perspektif
    • Ruang
    • Opini
    • Resensi
      • Buku
      • Film
      • Musik
  • Wacana
  • Minor
    • Margin
    • Tepi
  • Sosok
  • Foto
  • Infografik
No Result
View All Result
Ekspresionline.com
No Result
View All Result
Home Berita

Mendobrak Kesucian Max Havelaar Melalui Mitos dari Lebak

by Mu'arifah
Saturday, 9 November 2019
in Berita, Lingkup Jogja
0
Mendobrak Kesucian Max Havelaar Melalui Mitos dari Lebak

Sejarawan J.J. Rizal pada diskusi “Sastra dalam Kelindan Politik dan Sejarah” di Bentara Budaya Yogyakarta, Kamis (7/11/2019).

Share on FacebookShare on Twitter

Ekspresionline.com–“Max Havelaar adalah figur kulit putih yang cocok untuk mewakili politik Belanda dalam memperbaiki hubungannya dengan Indonesia,” tutur Sejarawan, J.J. Rizal pada diskusi “Sastra dalam Kelindan Politik dan Sejarah” di Bentara Budaya Yogyakarta, Kamis (7/11/2019). Diskusi sebagai peringatan 95 Tahun Sitor Situmorang itu turut menghadirkan sejarawan UNY, Kuncoro Hadi.

Diskusi tersebut membedah buku Mitos dari Lebak karya Rob Nieuwenhuys. Buku yang diterjemahkan Sitor Situmorang itu menyoal tentang sisi lain Multatuli atau Douwes Dekker dan mahakaryanya yang berjudul Max Havelaar.

Rizal menjelaskan bahwa penerjemahan Max Havelaar yang digagas H.B. Jassin pada tahun 1970an sarat dengan muatan politik. Saat penerjemahannya selesai pada 1972, H.B. Jassin diundang setahun berikutnya ke Belanda untuk mendapatkan penghargaan atas inisiasinya mengalihbahasakan Max Havelaar.

Max Havelaar (tokoh fiksional sekaligus judul novel tersebut) dianggap sosok yang tepat untuk mewakili Belanda dalam memberikan jasa kepada Indonesia. Karya tersebut kemudian direkonstruksi sebagai karya kulit putih untuk memberhentikan pelaksanaan kebijakan Sistem Tanam Paksa pada masa kolonialisme di Hindia Belanda.

Diskusi yang diadakan oleh Komunitas Bambu tersebut diawali dengan perjalanan kisah hidup Sitor. Selepas keluar dari penjara, Sitor bermaksud “menemukan” Indonesia kembali dari kerja-kerja sejarah yang digali dari Toba, Batak.

Sitor merupakan anak panglima perang Sisingamangaraja XII. Keluarganya menjadi basis kekuatan untuk melawan pemerintahan Hindia Belanda. “Sitor menemukan identitas melalui  memori sejarah dari personalitas ayahnya yang menjadi bagian struktur pemerintah kolonial,” tutur Rizal.

Rizal menjelaskan bahwa Sitor awalnya merupakan Multatulian, tetapi pada akhirnya ia pun menjadi pengkritik Multatuli.

Pemerintah Hindia Belanda yang menggambarkan betapa buruknya sosok Bupati Lebak merupakan sebuah hantaman pemikiran bagi Sitor. Di benaknya, terdapat ruang untuk Multatuli, ayahnya, dan hal-hal lain. Ia kemudian menemukan bahwa tak semua bupati adalah orang “jahat” seperti yang diungkapkan Multatuli. Contohnya adalah bapaknya sendiri dan deksripsi dalam surat Kartini kepada Stella yang belum pernah diterbitkan: tak semua bupati seperti Bupati Lebak, misalnya adalah Bupati Jepara. Meskipun cerita Bupati Lebak pun merupakan mitos yang diciptakan pemerintah Hindia Belanda untuk mengambil alih daerah Lebak.

Beberapa hal di atas menjadikan Sitor yang mulanya mengagumi Multatuli, berbalik arah menjadi pengkritik keras penulis Max Havelaar tersebut.

Mitos lain dari buku Mitos dari Lebak adalah bukan hanya Multatuli yang menjadi sebab berhentinya pelaksanaan tanam paksa. Sejarawan, Robbert Vanil dan Elson menyebutkan bahwa Max Havelar hanya salah satu dari banyak sebab dipertimbangkannya pemberhentian Sistem Tanam Paksa.

“Kita harus melihat Multatuli dengan kritis. Kesimpulan dari riset yang menyebabkan [Sistem] Tanam Paksa runtuh adalah begitu banyaknya pemberontakan petani, begitu masifnya pemberontakan petani, bukan hanya dari Max Havelaar,” tutup J.J. Rizal.

Mu’arifah

Editor: Abdul Hadi

Tags: BeritaBudayabukudiskusiSastra
Previous Post

Joko Pinurbo: Puisi Itu Perpanjangan dari Aktivitas Membaca

Next Post

Praktik Jual Beli Buku Pelajaran Adalah Bentuk Pengabaian terhadap Hak Siswa

Next Post

Praktik Jual Beli Buku Pelajaran Adalah Bentuk Pengabaian terhadap Hak Siswa

Ekspresionline.com

© 2019 Lembaga Pers Mahasiswa EKSPRESI UNY

Navigate Site

  • KONTRIBUSI
  • IKLAN
  • BLOG
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • TENTANG KAMI

Follow Us

No Result
View All Result
  • Sentra
  • Japat
  • Fokus
    • Analisis Utama
    • Laporan Khusus
    • Telusur
  • Berita
    • Lingkup Kampus
    • Lingkup Nasional
    • Lingkup Jogja
  • Perspektif
    • Ruang
    • Opini
    • Resensi
      • Buku
      • Film
      • Musik
  • Wacana
  • Minor
    • Margin
    • Tepi
  • Sosok
  • Foto
  • Infografik

© 2019 Lembaga Pers Mahasiswa EKSPRESI UNY