Ekspresionline.com–Selain “Creep”, lagu Radiohead apa yang kamu tahu? Jika jawabanmu berputar pada “No Surprise” ,”High and Dry”, “Fake Plastic Trees”, atau bahkan tak tahu yang lain lagi, kamu mungkin perlu mengenal band asal Abingdon, Oxfordshire, Britania Raya ini lebih dekat. Mari mulai dengan resensi—atau boleh dibilang catatan apresiasi musik level rendah yang hanya berdasarkan suka-tidak suka—album The Bends yang dirilis 26 tahun lalu.
Kisah ini dimulai pada tahun 1985, ketika lima remaja tanggung Inggris memutuskan membentuk band. Beranggotakan Thom Yorke sebagai vokal utama, sekaligus pendiri dengan persona yang murung dan sering melakukan gestur aneh saat bernyanyi. Jonny Greenwood pada gitar utama yang pada awal kemunculannya adalah bocah emo pemalu dengan catatan pernah menghancurkan gitarnya sendiri di atas panggung. Ed O’Brien sebagai gitaris yang suka memanggil namanya sendiri saat pertunjukan. Colin Greenwood pada gitar bas yang tak suka menghadap ke penonton ketika pentas. Terakhir, ada Phil Selway sebagai drumer yang terlihat tak begitu mencintai pekerjaanya. Komposisi sempurna gerombolan pemuda yang secara alami ‘tidak bahagia’.
Debut single mereka berjudul “Creep” yang dirilis pada 1992 awalnya tak diterima baik, bahkan BBC Radio One Inggris mem-blacklist lagu ini karena dianggap terlalu depresif. Namun pada tahun berikutnya, lagu ini tiba-tiba meledak di Tel Aviv, Israel–untuk pertama kalinya Radiohead melakukan konser di luar Inggris. Secara ajaib, music video (MV) “Creep” populer di Amerika dan menjadi hit di MTv hingga langsung naik pada urutan kedua di tangga lagu modern Amerika. Selang setahun, band yang awalnya bernama On a Friday ini, merilis album bertajuk Pablo Honey. Alih-alih disambut dengan baik, album ini justru banjir kritik dan dianggap gagal. Kritikus musik kala itu mencibir—band dengan ‘rock lemah’. Setelah itu, band ini menghilang, seandainya Radiohead benar-benar menyerah, mereka akan dikenang sebagai band medioker dengan hanya satu hit yang dikenal—atau bahkan dilupakan sama sekali.
Lahir Kembali
The Bends adalah diskografi yang rilis pada 13 Maret 1995 di Inggris oleh Parlophone dan di Amerika Serikat oleh Capitol Records, selang tiga tahun pasca album pertama. Meskipun banyak pendapat mengatakan The Bends bukanlah album ‘ultimate’ dari band rock alternatif ini, tetapi bisa dikatakan sebagai penanda awal keberanian York dkk keluar dari gaya musik rock pasaran kala itu. Album yang diproduseri John Leckie, yang juga memproduseri Pink Floyd ini, seperti menjadi titik Radiohead menemukan jati diri, warna musiknya yang nyentrik menembus standar alternatif rock kala itu. Berisi 12 trek dengan nuansa musik eksperimental yang kaya, terbukti dari penggunaan keyboard, synthesizer, dan pedalboard serta aplikasi format tiga gitar yang banyak dijumpai pada tiap treknya. Tak hanya itu, Thom Yorke juga menyuntikkan lirik absurd yang multitafsir diramu dengan melodi bernuansa kelam menghasilkan sensasi kemurungan dan frustrasi yang kental.
Penggarapan album ini, mempertemukan Radiohead dengan seorang artworker bernama Stanley Donwood dan sound engineer bernama Godrich yang kemudian dipercaya menjadi penggarap tetap album-album Radiohead setelahnya. Mulanya, sampul album diniatkan oleh Donwood dan Yorke bergambar paru-paru besi yang direkam langsung dari rumah sakit, tetapi menurut Donwood, ide tersebut tak menarik. Akhirnya, mereka memakai potongan rekaman manekin CPR (cardiopulmonary resuscitation). Berdasarkan pemaknaan Donwood, ekspresi wajah manekin itu seperti Android yang pertama kali merasakan ekstase sekaligus kesakitan. Sementara itu, Godrich menyumbang penggarapan satu lagu saja, yaitu “Black Star”. Lagu tersebut bahkan direkam tanpa kehadiran John Leckie. Karena kesamaan frekuensi, Godrich akhirnya dipercaya menjadi juru ramu album Radiohead selanjutnya.
Lahir di tengah kondisi sosial-politik yang berpenyakit, The Bends adalah suara penderita yang membingkai setiap virus sebagai cerita yang dapat diputar ulang. Album ini juga seperti sebuah introspeksi atas kegagalan Pablo Honey, sekaligus curhatan atas rasa lelah dan putus asa generasi yang gelisah. Seperti yang dikatakan Thom Yorke kepada NME, “Saya sakit parah dan secara fisik saya benar-benar kacau dan secara mental saya sudah cukup.” Populernya britpop dan rock retro-necrophiliac di pertengahan tahun 90-an memberi peluang album ini didengar oleh lebih banyak telinga. Kualitas itu semua meraih berbagai prestasi seperti; nomor 4 di UK Albums Chart dan nomor 88 di Billboard 200 AS, platinum tiga kali di Inggris dan Kanada, serta status platinum di Amerika Serikat dan Eropa. Tentu saja, belum bisa dikatakan mengungguli kesuksesan “Creep” secara komersial.
Menyelami Rasa Lelah dan Putus Asa
“Planet Telex” adalah sebuah seruan putus asa dan “nrimo ing pandum”. Dibuka dengan suara pointilis macam sirine dari kejauhan disertai gema, lalu drum bertempo sedang menyusul bersama gitar dan keyboard dengan frekuensi yang begitu bertekstur. Masuk pada lirik, ritme secara keseluruhan harmonis, dengan solo gitar minimalis–menonjolkan vokal Thom Yorke dan riff agresif John Greenwood. Yorke coba menjelaskan bahwa seberapa keras pun kamu mencoba merenungi dan mengubah dunia ‘rusak’ ini, hanya akan berakhir sia-sia. Terima saja apa adanya, barangkali Tuhan memang sengaja mendesain dunia seperti itu–tak sempurna.
Track kedua berjudul sama dengan nama albumnya, “The Bends” adalah sebuah kemarahan yang bercampur rasa lelah pada dunia. Gitar yang sejak awal bermain gahar bersambut senandung vokalis memuncak pada bagian setelah reff kedua. Where do we go from here?//The planet is a gunboat in a sea of fear adalah cuplikan lirik yang menggambarkan betapa mengerikannya dunia dengan segala kepentingan egois orang-orang ‘penting’ serta perasaan menyiksa atas usaha untuk diterima sebagai orang ‘normal’ di tengah dunia yang seperti neraka.
Di urutan ketiga ada “High and Dry”’ ditulis jauh sebelum produksi album The Bends, menjadi lagu tertua di album ini. Lagu dibuka dengan intro minimalis berisi gitar akustik dan drum. Jonny Greenwood pernah menertawakan lagu ini dengan kalimat “single yang benar-benar mengerikan, tetapi dengan cara yang bagus. Salah satu lagu yang diharapkan akan dimainkan orang segera setelah mereka belajar gitar atau semacamnya.” Namun, jauh menyelam ke dalam lirik, lagu ini menegaskan bahwa pengakuan status sosial yang dikejar mati-matian adalah semu dan akan memperbudakmu.
“Fake Plastic Trees” di urutan kedua single album masih bernuansa musik serupa dengan lagu sebelumnya, irit instrumen. Musik iringan berjalan stabil dan ringan hingga memasuki kalimat terakhir. Pada bait ke enam gitar memuncak, intensi kembali menurun di bait terakhir dengan perpaduan synthesizer dan gitar akustik. Lagu ini terinspirasi dari pembangunan komersial yang dilakukan oleh Canary Wharf. Gambaran kehidupan yang dilahap oleh ego industri modern yang palsu dan sampah, terperangkap dalam sistem melelahkan yang tidak natural.
Lagu “Bones” direkam sesaat sebelum lagu R.E.M. “What’s the Frequency, Kenneth?” rilis. Lagu ini memanfaatkan pedalboard secara maksimal di bagian reff hingga sejak awal dipenuhi distorsi gitar, lalu klimaks dengan menyusupkan tremolo. Sebuah guncangan setelah dibuat dua lagu akustik sebelumnya. Lagu ini seperti penggambaran perlawanan yang tampak menyedihkan, seperti pada gangguan mental dan obsesi berlebih yang menggerogoti kewarasan ibarat tulang-tulang rapuh yang mengalami osteoporosis.
Jangan terkecoh dengan nuansa musik dan lirik yang terlihat ceria dan positif di awal, “(Nice Dream) ” menawarkan sesuatu yang pilu dengan tanda kurung pada judul menyiratkan mimpi indah yang tak pernah jadi nyata. Psych-rock yang dramatis dalam lagu ini berujung agresif di bagian sebelum coda. Yorke membawa kita pada impian indahnya yang manis, hangat, penuh cinta, kehidupan yang tenang, dan kestabilan personal yang penuh. Bagian mengirisnya, semua itu adalah apa yang tak dimilikinya ketika ia terbangun. Sepertinya “murung” adalah nama tengah laki-laki berusia 52 tahun tersebut.
“Just” adalah lagu dengan komposisi pop punk-bass, gitar temper-tantrum yang memotong di tengah seperti seekor monster laba-laba muncul dari balik gedung pencakar langit saat kota tengah mengadakan festival. Struktur ritme yang terus berubah dari alt-rock menjadi akustik blues yang manis lalu screamer psikedelik yang marah, menghakimi dan menciptakan pengalaman mengagumkan. Dibuat atas tantangan Thom terhadap Jonny untuk memasukkan akor sebanyak mungkin ke dalam satu lagu, “Just” telah menjadi main-main yang mengasyikan. One day I’ll get to you//And teach you how to get to purest hell//You do it to yourself, you do//And that’s what really hurts adalah penggalan lirik yang menegaskan depresi bisa datang tanpa permisi pada siapapun dan kita mungkin adalah korban manipulasi diri kita sendiri. Akhirnya kita sendirilah yang memasukkan paksa diri kita ke lubang depresi yang kita galih sendiri. Ini terdengar seperti pepatah lama “Musuh terdekat kita adalah diri kita sendiri.” Apakah sudah mulai merasakan gejala self-loathing?
Single utama berjudul “My Iron Lung” yang menempati urutan ke-9 ini adalah briliannya The Bends. Pertama kali dirilis sebagai EP pada tahun 1994–harmoni format tiga gitar teraplikasi ciamik di lagu ini. Diawali dengan lead gitar Jonny Greenwood, ambience dari gitar ed O’Brien dan Yorke pada gitar rhythm yang disusul dengan suara bas serta drum memuncak pada setiap reff yang diakhiri dengan liar. Hal ini memunculkan sensasi naik roller coaster yang berujung anjlok dari rel–memuaskan. And if you’re frightened//You can be frightened//You can be, it’s okay, potongan lirik ini menguatkan setelah pengakuan kegagalan dalam hidup pada lirik sebelumnya. Mengingatkan bahwa tak masalah menjadi pecundang dan orang buangan, toh hidup hanya menunda kekalahan.
“Bulletproof… I Wish I Was” adalah kudapan yang pas setelah pada lagu sebelumnya yang melahap ritme dan membakar Radiohead yang agresif. Menawarkan kelembutan strumming akor dari gitar akustik, lead manis, dan ketukan drum super santai bertumbuk sempurna dengan vokal Thom Yorke yang dibuat halus sutera. Produser John Leckie menempatkan gitaris Jonny dan Ed O’Brien di ruang berbeda untuk menciptakan frekuensi atmosfer tanpa mendengar lagunya saat rekaman. Coba dengar dan pejamkan matamu, maka lagu ini akan membawamu mengambang di ruang angkasa hingga merasa semua berjalan lebih lambat untuk tiga menit dua puluh delapan detik. Sementara untuk saat ini, lirik dalam lagu terasa kepalang absurd untuk saya pahami.
Fade In menyembulkan intro indah “Black Star” yang merupakan lagu Radiohead pertama yang diproduseri oleh Nigel Godrich. Barangkali terlihat menjadi satu-satunya lagu bertema romansa yang personal dalam album ini. Namun, Thom Yorke yang murung itu tentu tak hendak mengisahkan fase kupu-kupu terbang di perutnya–ini adalah tentang melankolia yang sensitif. Menonjolkan part bas dengan riff yang putus asa–memuncak di akhir sebagai bentuk permohonan atas keadaan yang tak tertolong. Of a troubled mind//I try to understand//What is eating you adalah penggambaran yang menyakitkan, bagaimana depresi menikam sebuah hubungan dan membuat sekarat kedua pihak. Hanya sebuah belas kasih yang tersisa untuk mempertahankannya.
“Sulk” adalah lagu yang terinspirasi dari peristiwa penembakan oleh seorang pria di Hungerford, Inggris pada tahun 1987 yang telah membunuh 17 orang. Ritme yang sangat bertekstur membuka lagu ini dengan klimaks di akhir. Meski sempat digadang sebagai single utama, rilis rekaman menyatakan lagu ini menjadi yang paling tidak disukai oleh para anggota band. Meski tidak akan ditemui kata ‘menembak’ atau ‘membantai’, Thom Yorke cukup menunjukkan kesinisannya melalui lirik When the loving comes and we’ve already gone//Just like your dad, you’ll never change.
Konklusi sempurna untuk sebuah perjalanan penuh rasa sakit, kebingungan, dan putus asa: “Street Spirit (Fade Out)”. Dibuka dengan arpeggio yang berputar sepanjang lagu, berpadu akor-akor minor yang suram, lagu ini memperlihatkan sisi Thom Yorke yang lebih dewasa. Problem eksistensial yang terangkum dalam 11 trek sebelumnya, bertabrakan dengan kenyataan bahwa kita akan lenyap suatu hari. Hal ini memaksa kita pada perenungan paling tidak nyaman–absurditas dunia. Mempertanyakan hal paling dasar dalam hidup kita, sekaligus menjadi yang paling sering dihidari, tentu saja karena itu mengancam ‘keakuan’ kita secara brutal. Persis di dua baris terakhir, Thom Yorke memberi petuah menghangatkan, yaitu: Immerse your soul in love//Immerse your soul in love. Dalam hidup tanpa arti yang sering menjadikan beberapa dari kita pesakitan menyedihkan ini, hal paling masuk akal untuk memberi arti adalah cinta. Lagu ini seperti memberi sensasi perasaan kosong tetapi penuh di saat yang bersamaan–menarik.
Jujur Saja!
Berdasarkan impresi awal pada album ini, diramal bakal berisi catatan seorang pemuda misantropis yang depresi hingga membenci dirinya sendiri, tetapi rupanya amat keliru. Thom Yorke ternyata jauh lebih berbakat dan mengagumkan dari yang saya kira. Penulisan lirik yang cenderung absurd adalah tanda bahwa Yorke memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi sehingga ia tak jatuh pada penulisan lirik yang vulgar dan gampang ditafsirkan. Gejolak pergumulan mental terutama bersinggungan dengan kepekaan terhadap isu sosial-politik yang dialami Thom Yorke, tak menjadikan album ini dangkal dan ‘jualan cinta’ belaka.
Semangat kemuakan dan kemarahan atas dunia yang penuh kepalsuan, sistem yang sakit, keterasingan dan keputusasaan yang tak terungkap, membuat album ini jadi refleksi akurat jiwa-jiwa manusia modern yang frustasi. Lebih dari itu, jamuan album ini adalah rekam jejak perjalanan batin pria bernama asli Thomas Edward Yorke yang menyakitkan, proses pencarian jati diri yang rawan jatuh pada lubang depresi. Ini adalah pendewasaan dalam 12 track!
Hampir mustahil menemukan keceriaan dalam album ini, keresahan terlalu deras mengalir dalam tempurung kepala Thom Yorke. Ia bersama empat kawan satu kuintetnya yang secara alami tidak bahagia, mengajak kita memandang dunia dengan lebih realistis. Dengan pola pikir positif yang tidak dibuat-buat–menghadapi dunia apa adanya. Mengakui bahwa kita takut, lemah, bodoh, dan akan lenyap di suatu hari adalah jalan yang memaksa kita menemui hal paling menyebalkan—kenyataan. Akui saja bahwa dunia ini absurd, hidup tidak berarti dan kita adalah makhluk paling tidak berguna di planet ini. Apakah ini menyinggung? Ya rasakan saja kegamangan itu.
The Bends adalah teman yang baik, mengingatkanmu bahwa dalam menghadapi kenyataan dunia yang absurd, kamu tidak sendiri. Ia menyentuh bagian paling personal, menyadarkanmu pada kenyataan sekaligus menepuk pundakmu sambil berkata “tidak apa-apa”. Mungkin kita tak dapat mengubah dunia, meskipun kita berusaha sampai mati, tak menemukan makna hidup pasti, walau sudah berpikir sampai sinting—atau setelah kematian kita hanyalah onggokan bangkai yang membusuk pada 30 hari pertama. Namun, seperti pesan pada lagu terakhir, setelah kenyataan yang sama sekali tidak memuaskan itu, kita masih punya hal yang berarti: cinta. Ya, maka tenggelamkan dirimu dalam cinta.
Tri Rahayu
Editor : Kamela Zaenul Afidah