Ekspresionline.com
  • Sentra
  • Japat
  • Fokus
    • Analisis Utama
    • Laporan Khusus
    • Telusur
  • Berita
    • Lingkup Kampus
    • Lingkup Nasional
    • Lingkup Jogja
  • Perspektif
    • Ruang
    • Opini
    • Resensi
      • Buku
      • Film
      • Musik
  • Wacana
  • Minor
    • Margin
    • Tepi
  • Sosok
  • Foto
  • Infografik
No Result
View All Result
  • Sentra
  • Japat
  • Fokus
    • Analisis Utama
    • Laporan Khusus
    • Telusur
  • Berita
    • Lingkup Kampus
    • Lingkup Nasional
    • Lingkup Jogja
  • Perspektif
    • Ruang
    • Opini
    • Resensi
      • Buku
      • Film
      • Musik
  • Wacana
  • Minor
    • Margin
    • Tepi
  • Sosok
  • Foto
  • Infografik
No Result
View All Result
Ekspresionline.com
No Result
View All Result
Home Opini

Mengapa Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) Harus Dianggap Penting?

by Nuriyah Hanik Fatikhah
Saturday, 19 June 2021
6 min read
0
Mengapa Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) Harus Dianggap Penting?

Ilustrasi oleh Muhammad Akhlal/Ekspresi

Share on FacebookShare on Twitter

Ekspresionline.com–Beberapa teman dekat saya sering bercerita mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan perihal kekerasan seksual. Ada yang pernah tiba-tiba dikirimi foto vulgar alat kelamin oleh orang tidak dikenal, dan yang lainya juga pernah diancam hendak disebarkannya foto dan video pribadi ke media sosial. Tak jauh-jauh, salah satu pelakunya bukan lain ialah mantan pacar teman dekat saya, yang tak terima diputus hubungan sepihak.

Bahkan, saya sendiri pernah memiliki pengalaman dengan kejadian serupa. Dilecehkan melalui media pesan pribadi dan didoxing oleh seseorang—yang tak bisa saya sebut namanya. Doxing merupakan kegiatan membongkar atau menyebarkan informasi pribadi oleh seseorang yang tidak berwenang dan tanpa izin dari pihak yang bersangkutan. Doxing biasanya bertujuan untuk merendahkan dan menyerang korban.

Melalui pengalaman di atas, muncullah hasrat ingin belajar tentang istilah-istilah dalam kekerasan seksual yang kemudian membuat saya mengenal istilah Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Semakin hari belajar, semakin timbul kesadaran bahwasannya apa yang dialami teman dekat saya sekaligus saya sendiri adalah sebuah kekerasan seksual yang memiliki dampak serius.

KBGO merupakan kekerasan berbasis gender yang difasilitasi oleh teknologi dengan tujuan melecehkan korban, dan bagian paling pentingnya didasarkan pada “gender dan seksualitas”. Jika bukan atas dasar tersebut, maka kasus kekerasan tidak dapat dikategorikan sebagai KBGO dan lebih tepat dimasukkan ke dalam kasus kekerasan di ranah umum.

Menurut panduan yang diberikan SAFEnet, KBGO mencakup spektrum perilaku penguntitan, pengintimidasian, pelecehan seksual, pencemaran nama baik, ujaran kebencian, dan eksploitasi. Selain dilakukan dalam dunia online—sesuai namanya—KBGO juga dapat masuk ke ranah offline. Maksudnya, para penyintas KBGO mengalami kombinasi antara kekerasan fisik dan psikis, yang dilancarkan baik di dunia online maupun offline.

Misalnya, mengakses dan menggunakan data pribadi tanpa sepengetahuan dan persetujuan korban, membuat akun media sosial dengan tujuan memproduksi konten palsu—untuk disebarluaskan ke publik, pelecehan siber melalui media pesan, rayuan dan perhatian, dan atau pengiriman kontak yang tidak diinginkan. Kemudian juga penggunaan gambar tidak senonoh untuk merendahkan korban, pemerasan seksual, meretas sekaligus menyerang situs suatu komunitas gender tertentu, dan menggunakan konten maya yang menggambarkan perempuan atau laki-laki sebagai objek seksual.

Semakin luas dan mudahnya jangkauan internet, perkembangan teknologi dan populernya penggunaan sosial media, terlebih di masa pandemi, akan semakin membuat banyak orang begitu dekat dengan internet. Sehingga potensi kasus KBGO juga turut meningkat.

Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan yang dirilis pada 5 Maret 2021, sepanjang tahun 2020 terdapat sebanyak 940 kasus KBGO yang terlapor. Jumlah tersebut meningkat lebih dari tiga kali lipat dari 289 kasus pada tahun sebelumnya.

Di samping itu, SAFEnet melalui Subdivisi Digital At-Risks (DARK) juga menyebut adanya peningkatan aduan kasus terhadap konten intim non-konsensual dengan angka mendekati 400%. Pada Maret-Juni 2020, di mana periode awal Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dicanangkan pemerintah RI, terdapat 169 aduan kasus. Padahal di tahun sebelumnya, SAFEnet hanya mendapat aduan sebanyak 45 kasus terkait penyebaran konten intim non-konsensual.

Hal ini menunjukkan bahwa terbatasnya lingkup interaksi secara langsung tak membuat kekerasan seksual semakin turun. Harusnya, ketika melihat data tersebut bisa kita ketahui bahwa kasus KBGO terus menerus meningkat setiap tahunnya. Untuk itu, perlu adanya upaya pencegahan yang pasti untuk menindaklanjutinya.

Normalisasi Kekerasan Seksual

Sebagian masyarakat kita masih menormalilsasi anggapan bahwa pelecehan seksual terjadi tak lepas dari turut andilnya korban. Mereka menilai dan tak segan menyalahkan korban yang diduga turut memancing pelaku, sehingga pelecehan seksual menimpanya sebagai konsekuensi.

Beragam tuduhan yang ditemui dari masyarakat justru menyalahkan tata cara pakaian korban, perilaku korban, atau bahkan lokasi tempat korban berada. Hal tersebut juga terjadi pada kasus pelecehan siber, di mana warganet menganggap para korban kekerasan seksual pantas mendapatkan pelecehan lantaran tindakan mereka yang kerap mengunggah foto atau video menggunakan pakaian minim.

Kondisi yang terjadi justru akan semakin memukul korban. Momen di mana lebam korban—yang terdampak fisik hingga psikisnya lantaran menderita kekerasan seksual—akan  semakin membiru karena bukannya pertolongan yang mereka dapat dari publik, melainkan tuduhan dan cemoohan. Ibaratnya, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Maka dari itu, tak heran apabila masih sedikit korban yang berani “menyuarakan laranya” ke hadapan publik akibat kekerasan seksual. Sebab normalisasi itulah yang menyebabkan kasus kekerasan seksual jarang terungkap ke publik. Para korban lebih memilih untuk “diam” karena takut akan mendapat cemoohan daripada perlindungan usai ia menceritakan keluh laranya.

Pelecehan seksual apapun bentuknya memberikan trauma dan dampak yang serius terhadap korban, baik secara psikis, sosial dan hingga ekonomi.

Saya dan beberapa teman yang merupakan penyintas dari KBGO masih mengalami beberapa tekanan dan ketakutan. Butuh waktu yang relatif lama untuk beranjak sembuh atau sekadar melupakannya. Oleh karena waktu-waktu kami lebih banyak digunakan untuk rehabilitasi dan terapi mandiri, berbagai aktivitas dan pekerjaan turut menjadi korban dan berakhir terbengkalai.

Pentingnya Regulasi

Sejauh ini regulasi yang ada terkait KBGO hanya berdasar pada UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang mana dalam beberapa pasalnya justru menuai kontroversi lantaran berpotensi menjadi boomerang bagi korban

Salah satunya dalam pasal 27 Ayat (1) yang berbunyi: ”Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”

Dalam pasal tersebut, frasa mendistribusikan, mentransimisikan, dan dapat diaksesnya informasi elektronik bermuatan pelanggaran kesusilaan tidak mempunyai batasan yang jelas. Hal ini dikhawatirkan justru akan menjerat balik korban, serta dijadikan “tameng” oleh pelaku apabila korban berani menyebarluaskan privasi pelaku di internet.

Penjeratan balik korban dengan menggunakan pasal ini pernah terjadi pada kurun waktu 2018 lalu, yang menimpa guru honorer SMAN 7 Mataram, Baiq Nuril. Dalam kasus tersebut, Baiq yang awalnya menjadi korban lantaran dilecehkan oleh Kepala SMAN 7 Mataram, inisial M, justru dilaporkan balik menggunakan UU ITE pasal 27 Ayat (1). Laporan yang dibuat oleh M mengatasnamakan pelanggaran privasi. M menilai Baiq telah menyebarluaskan rekaman percakapan seksual yang dilontarkan M kepada Baiq lewat internet. Akibatnya, Baiq divonis enam bulan kurungan dan pidana denda senilai Rp500 juta oleh Mahkamah Agung.

Maka dari itu, perlu dibentuk regulasi yang lebih eksplisit dan ramah terhadap korban.

Salah satu solusi konkritnya yaitu dengan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Sebab dalam RUU ini peluang mengakomodasi keadilan untuk korban lebih tinggi. Dalam RUU PKS juga berisi mengenai hak mendapat keadilan dan pelayanan kepolisian yang ramah terhadap gender. Pengintegrasian RUU PKS dengan UU ITE dapat dilakukan untuk menangani KBGO tetapi dengan pasal-pasal yang tentunya harus ramah terhadap korban sehingga korban merasa mendapat keadilan.

Beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) memang sudah ada yang berfokus dalam penanganan kasus KBGO. Sebagai contohnya SAFEnet, yang bahkan telah menyediakan layanan konseling psikologi dan hukum khusus untuk korban kekerasan seksual. Namun lagi-lagi, regulasi atau payung hukum pemerintah lebih dibutuhkan untuk memudahkan pelaporan dan penanganan kasus.

Selain tidak ada regulasi yang eksplisit, salah satu hal yang membuat korban pelecehan seksual sulit dalam melaporkan kasus adalah kurangnya prespektif aparat penegak hukum dalam memahami gender. Banyak korban yang malah mengalami trauma berlapis karena mendapat tanggapan tak senonoh dari aparat penegak hukum. Bukannya laporan akan ditindak lanjuti degan segera, yang terjadi selanjutnya justru victim blamming. Tak ada bedanya dengan normalisasi masyarakat, aparat pun cenderung non-respek serta menyalahkan korban atas kejadian yang menimpanya.

Sejatinya, bukan hukum yang menjadi jalan satu-satunya dan strategi pamungkas untuk menumpas KBGO. Hal paling pentingnya ialah mengubah pola pikir pelaku terkait relasi gender dan seksual degan korban. Tanpa adanya intervensi yang jitu, pasca menjalani hukuman bertahun-tahun sekalipun, pelaku akan tetap memiliki bias gender dan seksual. Bukannya jera, justru ia berpotensi untuk tertantang kembali melakukan kekerasan seksual.

Hukum memang dapat membantu penanganan kasus agar terselesaikan. Namun, “tidak memperkosa” adalah upaya paling bijak agar kekerasan seksual tidak pernah terjadi. Bukankah sejatinya lebih baik mencegah daripada mengobati?

Kasus KBGO harus mendapat perhatian yang penting dari masyarakat dan pemerintah guna menciptakan kehidupan yang lebih adil dan ramah bagi seluruh manusia. Hal ini difungsikan agar tidak ada lagi ketakutan, kecemasan, dan trauma seperti yang saya dan beberapa teman penyintas lainnya alami.

Nuriyah Hanik Fatikhah

Editor: Abi Mu’ammar Dzikri

Previous Post

Dilema Standar Good Looking pada Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Next Post

Andalan Mahasiswa yang Kini Merana

Related Posts

Perempuan Bersekolah buat Apa?

Perempuan Bersekolah buat Apa?

Sunday, 31 July 2022
Pahami Kondisi Penyintas Kekerasan Seksual

Pahami Kondisi Penyintas Kekerasan Seksual

Sunday, 6 February 2022
Sastra Bicara Ekofeminisme

Sastra Bicara Ekofeminisme

Thursday, 7 June 2018
Permasalahan Buruh Migran dan Rendahnya Harga Diri Bangsa

Permasalahan Buruh Migran dan Rendahnya Harga Diri Bangsa

Tuesday, 24 April 2018
Shinta Maharani: Penting Menulis Tentang Gender di Media Masa

Shinta Maharani: Penting Menulis Tentang Gender di Media Masa

Tuesday, 1 September 2015
Inna Hudaya: Jurnalis Harus Paham Prespektif Gender

Inna Hudaya: Jurnalis Harus Paham Prespektif Gender

Tuesday, 19 May 2015
Next Post
Andalan Mahasiswa yang Kini Merana

Andalan Mahasiswa yang Kini Merana

Ekspresionline.com

© 2022 Lembaga Pers Mahasiswa EKSPRESI UNY

Navigate Site

  • KONTRIBUSI
  • IKLAN
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • TENTANG KAMI
  • HUBUNGI KAMI

Follow Us

No Result
View All Result
  • Sentra
  • Japat
  • Fokus
    • Analisis Utama
    • Laporan Khusus
    • Telusur
  • Berita
    • Lingkup Kampus
    • Lingkup Nasional
    • Lingkup Jogja
  • Perspektif
    • Ruang
    • Opini
    • Resensi
      • Buku
      • Film
      • Musik
  • Wacana
  • Minor
    • Margin
    • Tepi
  • Sosok
  • Foto
  • Infografik

© 2022 Lembaga Pers Mahasiswa EKSPRESI UNY