Ekspresionline.com–Relatif tidak ada yang berbeda dari kontes kecantikan dunia tahun-tahun sebelumnya, Miss Universe 2019 juga digelar dengan sumringah. Selain karena saya menggemari pertunjukan kontes kecantikan, acara kali itu juga memantik rasa penasaran karena salah satu kontestan menonjol: Zosbini Tunzi. Ia merupakan perwakilan Miss Universe asal Afrika Selatan, yang kemudian berhasil menjadi runner up di ajang kecantikan tersebut.
Foto Tunzi yang begitu berseri-seri saat menerima mahkota kemenangan ‘Power of Unity Crown’ sempat bertebaran di media sosial.
Ketika malam puncak penganugerahan pemenang Miss Universe di Tyler Perry Studios, Atlanta, Amerika Serikat, Tunzi sempat memberikan sebuah pidato yang menarik.
Ungkapan keresahan perihal “kecantikan” terlontar dari mulutnya: “Saya dibesarkan dalam dunia di mana wanita yang terlihat seperti saya, dengan warna kulit dan rambut seperti saya tidak dikategorikan sebagai cantik.”
Ungkapan tersebut kemudian banyak dipos ulang oleh teman-teman saya di Twitter. Keresahan Tunzi yang demikian bagai pesan berantai yang seolah harus dibaca semua orang.
Tidak seberuntung Tunzi, seorang gadis asal Texas, Lizzie Velasques pernah menjadi korban perundungan daring (cyberbullying) setelah video tentang dirinya diunggah melalui YouTube oleh teman-temannya. Ia bahkan mendapat cap sebagai wanita terjelek di dunia akibat fisiknya yang dianggap “berbeda”.
Sekilas, kisah Tunzi dan Lizzie tidak jauh selisihnya. Keduanya menjadi korban ketidakadilan akibat adanya standardisasi cantik yang ada di masyarakat. Adanya kriteria-kriteria yang dijadikan patokan dalam memandang kecantikan seseorang membuat mereka dianggap sebagai yang “tidak cantik”.
Kisah mereka mungkin pula pernah dirasakan oleh perempuan lain di luar sana. Saya menjadi bertanya-tanya tentang kata mutiara bahwa, “Setiap wanita itu cantik”. Lantas, mengapa lahir istilah cantik dan tidak cantik bagi perempuan?
Standardisasi Cantik: dari Budaya Bangsa sampai Ajaran Agama
Standardisasi cantik perempuan sudah berkembang sejak lama. Zaman dahulu, Tiongkok meyakini bahwa perempuan yang memiliki kaki kecil dan mungil dianggap cantik.
Meski satu rumpun, negara tetangganya, Jepang memiliki standar cantik yang berbeda. Perempuan-perempuan Jepang zaman dulu dianggap cantik apabila memiliki gigi yang “berwarna hitam”.
Lain dengan negara-negara di Asia, negara di Eropa pada masa renaissance menganggap perempuan cantik yakni mereka yang tidak memiliki bulu mata dan alis.
Di Indonesia sendiri, standardisasi cantik perempuan terus berubah dari masa ke masa. Pada zaman Jawa Kuno, kecantikan perempuan digambarkan pada sosok Ken Dedes. Dalam buku Kecantikan Perempuan Timur (1999), Ken Dedes disebut memiliki betis berwarna kuning, kulitnya halus, serta memiliki wangi harum yang khas.
Masalah kecantikan perempuan juga disinggung dalam agama. Dalam agama Islam, masalah cantik terdapat dalam sebuah hadis Bukhari dan Muslim, “Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Hendaklah engkau mendapatkan wanita yang baik agamanya niscaya engkau akan beruntung.”
Alkitab juga turut memberikan pandangannya mengenai makna kecantikan, “Pada kenyataannya, Allah sendiri melihat bahwa apa yang telah Ia ciptakan itu “sungguh amat baik” (Kejadian 1:31). Meskipun bagian dari apa yang Tuhan lihat itu adalah kecantikan fisik (Kejadian 2:25), namun kualitas yang terpenting adalah apa yang ada di dalamnya.”
Meskipun agama menekankan bahwa kecantikan perempuan bukan dilihat dari fisik semata, masih banyak perempuan yang kerap merasa was-was karena merasa memiliki fisik yang tidak cantik.
Pengaruh Media
Menurut Aprilita & Listiyani dalam Representasi Kecantikan Perempuan dalam Media Sosial Instagram (2016) menyatakan bahwa kecantikan seringkali dianggap sebagai suatu relativitas. Artinya, pandangan setiap orang terhadap kecantikan itu berbeda-beda.
Meskipun kriteria kecantikan senantiasa berubah dari masa ke masa, tetapi dalam beberapa dekade terakhir kriteria kecantikan yang seringkali ditampilkan oleh media cenderung memiliki kesamaan. Misalnya, berupa tubuh langsing, kulit putih bersih, rambut panjang, mata besar, dan hidung mancung.
Pandangan nyaris seragam terhadap konsep “cantik” merupakan akibat dari paparan media yang berlangsung secara terus-menerus setiap harinya. Hal inilah yang melahirkan budaya populer kecantikan di masyarakat. Standardisasi tersebut membuat kelompok-kelompok tertentu termarginalkan karena tidak dapat memenuhi standar yang ditentukan oleh media.
Media sosial juga nampaknya berandil banyak dalam melanggengkan standar cantik yang ada. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya akun media sosial yang menghimpun foto dari wajah-wajah yang mereka anggap “cantik”, seperti pada akun Instagram @mostbeautyindo dan @bidadarijateng. Bahkan, di lingkup kampus UNY sendiri ada akun: @bidadariuny dan @uny_cantik. Demikian juga di kampus-kampus lainnya di Indonesia, terdapat akun penghimpun gambar mahasiswi-mahasiswi “cantik” yang terdaftar di universitas tersebut.
Jika kita lihat, yang disebut “cantik” dalam foto-foto tersebut pun tidak jauh berbeda dari kriteria cantik yang sudah tertulis di awal. Media seakan menyamaratakan selera masyarakat lewat suguhan tampilan “wajah- wajah cantik” yang serupa.
Dampak bagi Mereka yang “Tidak Cantik”
Meskipun konsep cantik pada dasarnya bersifat subjektif, lambat laun masyarakat menerimanya sebagai suatu bentuk kewajaran.
Adanya patokan standar kecantikan yang ada pada masyarakat justru membuat perempuan merasa senang dan bangga apabila berhasil mewujudkannya. Akhirnya, banyak perempuan yang berusaha keras untuk membuat kulitnya menjadi putih, menghilangkan lemak tubuh, operasi plastik dan implan, maupun tindakan lainnya demi memenuhi standardisasi kecantikan yang ada.
Sementara itu, kebanyakan perempuan memiliki kecenderungan untuk membandingkan dirinya dengan perempuan lain. Mereka akan cenderung berkompetisi untuk menjadi yang tercantik. Perempuan yang tidak mampu memenuhi “standar cantik” dapat membuat mereka membenci dirinya sendiri. Ketidakpuasan akan bentuk fisik dapat mengarah pada hilangnya rasa kepercayaan diri. Lebih dari itu, mereka mungkin juga melakukan upaya berlebihan seperti diet ketat, terkena Bulimia nervosa, mengonsumsi obat-obatan, serta tindakan atau akibat berisiko lainnya.
Standardisasi cantik hanyalah bentuk pemikiran yang sempit, karena hanya melihat kecantikan dari tampilan fisik semata.
Suatu waktu, Buya Hamka pernah berujar: “Kecantikan yang abadi terletak pada keelokan adab dan ketinggian ilmu seseorang. Bukan terletak pada wajah dan pakaiannya”. Oleh karena itu, warna kulit, bentuk rambut, ukuran tubuh, serta bentuk standardisasi cantik subjektif lainnya bukanlah dasar yang tepat untuk menilai kecantikan seseorang. Kita hanya perlu meyakini bahwa setiap perempuan berhak untuk merasa dirinya cantik.
Referensi:
Aprilita, D. & Listiyani, R. H. (2016). Representasi Kecantikan Perempuan dalam Media Sosial Instagram (Analisis semiotik Roland Barthes pada Akun @mostbeautyindo, @Bidadarisurga, dan @papuan_girl). Jurnal Paradigma, Vol. 04 No. 03. Surabaya: Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya.
Tilaar, M. (1999). Kecantikan Perempuan Timur. Magelang: Indonesia Tera.
Ismi Mardiyah
Editor: Abi Mu’ammar Dzikri