Penulis: M. Aan Mansyur
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 93 halaman
Cetakan: Kedua, Agustus 2017
ISBN: 9786020355375
Ekspresionline.com–Sebagai seorang anak yang lahir tepat di penghujung 1998, hiruk pikuk reformasi hanya mampu kudapati sepotong-sepotong. Sepotong dari buku sejarah yang diwajibkan para guru, sepotong dari cerita ibu, sepotong dari orang yang setiap Kamis membawa payung hitam kuyu, dan sepotong dari wajah-wajah yang tersablon pada baju. Oleh karena itu, detail peristiwanya tak pernah utuh.
Mengutip pada apa yang dikatakan Andi Achian, hampir satu generasi baru yang tidak memiliki kaitan historis langsung terhadap peristiwa reformasi mengalami kerumpangan memori kolektif, seperti halnya yang terjadi padaku. Aku kira begitu yang ingin disampaikan oleh Aan Mansyur dalam buku kumpulan puisinya—atau lebih tepat kusebut prosa saja?—yang bertajuk Cinta yang Marah. Dalam buku ini ditampilkan potongan berita koran pada hari-hari menjelang 21 Mei 1998. Potongan berita yang ada di dalamnya disusun mengiringi 21 puisi yang Aan tulis.
Perbincangan Kepala dan Dada
Ada satu hal yang sempat mengganggu saat membaca kedua puluh satu puisi Aan dalam Cinta yang Marah ini. Alih-alih menggunakan kata ganti kepemilikan -ku untuk pronomina persona pertama tunggal dan -mu untuk pronomina persona kedua tunggal, Aan lebih memilih untuk menghilangkannya. Misalnya saja dalam puisi kedua: kemudian sengaja aku mencium pucuk hidung kau agak lama, bukan mata kau, agar kau bisa melihatnya, namun mata kau tetap saja terpejam.
Kebingungan tersebut terjawab oleh apa yang ditulis Irfan Ramli dalam pengantar buku ini. Aku dan Kau yang menjadi tokoh dalam puisi dimaknai sebagai kepala dan dada; pikiran panjang yang melingkar dalam kepala dan hal-hal yang menumpuk di dada.
Kau dan si Aku adalah dualitas, dua entitas berbeda yang tidak bisa saling menggantikan, maka keduanya komplemen. Bahkan ketika si Kau mati, si Aku tetap utuh dengan kesedihannya.
Ia juga tetap bersetia pada keabaiannya terhadap rima. Tak seperti puisi-puisi milik Theoresia Rumthe dan Adimas Immanuel, atau penyair lain yang sezaman dengannya, eufoni bukan sesuatu yang bisa dicari dalam sajak-sajak Aan.
Pada puisi kedua puluh, sepuluh puisi jaraknya semenjak kematian Kau, si Aku bertanya-tanya bagaimana caranya mencintai si Kau yang banyak. Si Kau—yang adalah gugusan berbagai emosi—dijelaskan dalam keseluruhan puisi: kemarahan, kegusaran, hingga kekecewaan.
Kemarahan yang terjadi dalam rentang periode pra-reformasi dihadirkan dengan penuh keputusasaan, tanpa hardikan keras. Keputusasaan tampak pada saat petani di kampung sedang menciptakan musuh berupa hujan, bendungan, dan irigasi di mata mereka dalam sajak keenam.
Musim hujan, bendungan, dan irigasi yang digunakan dalam puisi ini bermakna konotatif karena ketiganya tak menggambarkan wujud harfiahnya, melainkan penderitaan dalam kondisi krisis moneter yang diakibatkan anjloknya nilai rupiah terhadap dolar Amerika.
Krisis moneter ini disikapi dengan beberapa kebijakan rezim Orde Baru yang justru membuat perekonomian masyarakat terpuruk, termasuk para petani—misalnya kenaikan tarif listrik dan BBM, serta pencabutan beberapa subsidi.
Puisi keenam belas merekam hari-hari gelap menjelang reformasi 1998, salah satunya diskriminasi (atau kebiadaban) rasial yang terjadi pada etnis Tionghoa yang dideskripsikan melalui penanda fisik pada gadis-gadis bermata mengintip.
“Sejak kau mati (kenapa kau harus mati?) pada hari yang dipenuhi kabar tentang kobar api (atau apa?) yang membakar rumah dan kibar rok gadis-gadis bermata mengintip itu, aku hanya mampu memetik kata-kata yang pernah mekar di bibir kau yang tidak akan berhenti bergetar hingga nanti seperti yang kembali mengembang (atau mengambang?) dalam sajak ini.” (halaman 69)
Kegusaran lain ditampakkan pada puisi kedelapan belas. Ketegangan yang mengungkung negeri ini pada 18 Mei 1998 diceritakan lewat langkah orang-orang terpaksa berjalan ke gereja untuk sembunyi, teriakan buruh-buruh yang membawa ribuan poster yang berisi kata-kata orang mati, dan tetangga yang berteriak tinggi ingin melampaui lambungan harga bahan-bahan pokok.
Aspek psikologi adalah hal ingin ditonjolkan Aan untuk memvisualisasikan fragmen tragedi bulan Mei 1998 pada puisi yang lainnya. Misalnya, metafora yang nampak pada usaha Aku memindahkan ruang tengah—yang dipergunakan untuk menonton tayangan televisi—dari satu kota marah ke kota lain yang parah. Atau juga pada saat ribuan buruh berjalan tanpa alas kaki di atas matahari yang meleleh di jalan raya sambil bertanya dengan marah perihal lapar mereka
Lewat rangkuman emosi tersebut, kita bisa melihat bagaimana Aku—mungkin sama halnya dengan kita semua, meminjam istilah Ellena Ekarahendy—menjadi warga negara yang lelah. Aku sebagai kepala yang telah lama ditinggal mati oleh Kau sudah berhenti percaya pada apa-apa saja yang dikeluarkan mulut pemerintah. Seperti yang ia katakan dalam sajak kedua belasnya: aku tidak akan pernah berpikir membayar salah satu partai agar gambar wajah aku bisa dipasang di pinggir-pinggir jalan membuat sebagian orang tertawa dan sebagian lagi kecewa kemudian membuangnya di kotak suara. Atau pula laiknya salah satu sajak yang Aan tulis dalam Melihat Api Bekerja (2015) bahwa ia menghendaki membangun rumah pada kepala agar tak mampu dicengkeram kuku negara.
Kematian Itu Sendiri
Banyak pecahan kematian yang bisa ditemukan dalam darasan Aan di buku ini. Si Aku punya beberapa cita-cita masa kecil: menjadi pemain biola, perancang busana, dan penulis obituari. Ketiga cita-cita yang oleh si Kau selalu disebut lelucon yang tidak mampu membuat satu orang pun di dunia tertawa tersebut, sebenarnya bersifat paradoksal. Suara biolanya yang mewujud dalam bentuk tangisan pada kemudian hari mengantarkan mayat Kau kepada pemakaman; menjadi hal terakhir yang dibawa si Kau ke alam kubur. Pun dengan obituari untuk dirinya sendiri yang dimuat pada halaman koran persis di samping obituari si Kau.
Pula dalam sajak kelimanya. Aku dan Kau menemukan tukang becak tertidur pulas di sofa ruang tengah di depan televisi yang bicara tentang angka harapan hidup yang kian turun menjauh dari harapan. Sofa ruang tengah yang biasa mendeskripsikan sesuatu yang nyaman dan hangat oleh Aan dihadapkan pada turunnya angka harapan hidup dalam siaran televisi.
Keinginan si Aku untuk membangun lebih banyak pohon dan lebih banyak hutan untuk merayakan kematian Kau dan Aku, yang dituliskan pada sebelas puisi jauhnya semenjak kematian Kau, memanfaatkan kontradiksi interminus. Aan memanfaatkan hubungan antara pohon dan hutan, yang berdasar fungsi fisiologisnya melambangkan kehidupan, untuk mewakili gagasan mengenai kematian itu sendiri lewat perayaan.
Pembaca juga diajak untuk menghayati langsung perspektif si Aku sebagai penutur terhadap maut. Pada puisi kelima belas, diceritakan mengenai ketidaktahuan si Kau bahwa pakaian yang dikenakannya saat dijemput maut pernah membuat jemari Aku tertusuk mata jarum berkali-kali kala menjahitnya. Rasa sakit yang hadir lewat tusukan jarum kala menjahit pakaian kematian itu menggambarkan relasi eskatologis, di mana telah dijelaskan simbol atau tanda kematian bahkan sebelum kematian tersebut terjadi.
Cinta yang Marah
Saat membaca buku kumpulan puisi ini untuk pertama kalinya, kebetulan aku sedang bersama seorang kawan yang gemar menghabiskan malam-malamnya untuk berkawan akrab dengan botol tuak. Ia sibuk menggunting halaman-halaman yang memuat profil penyanyi idolanya di Majalah Rolling Stone lawas dari toko buku bekas. Saat kubilang ia tak perlu repot-repot melakukan hal tersebut sebab ia akan dengan mudah mendapatkannya lewat mesin peramban, ia menjawab, “Untuk mengekalkan ingatan, toh, tidak ada yang salah kan?”
Percakapan tersebut lantas mengingatkanku pada apa yang dikatakan Pablo Neruda dalam “Hacia la Ciudad Espléndida”. Puisi menurut Neruda tidak boleh hanya dipergunakan untuk membekukan kata-kata, melainkan harus berkontribusi untuk merawat ingatan. Maka dari itu, musuh puisi sesungguhnya adalah ketidakmampuan seorang penyair sendiri untuk membuat agar dirinya dipahami oleh orang-orang sezamannya yang paling terlupakan dan paling terhisap.
Mario Vargas Llosa dalam “La Literatura es Fuego” juga menuturkan hal yang tak jauh berbeda. Sastra, yang mana di dalamnya mencakup puisi, bersumbangsih dalam pembangunan kemanusiaan, mencegah stagnasi spiritual, kejumudan, kelumpuhan, kemerosotan intelektual atau moral.
Mungkin karena inilah Aan mendesripsikan prahara pada masa-masa kelam Mei 1998 lewat bahasa yang tak mengindahkan eufoni. Lewat bahasa yang sederhana, kurasa ia berhasil membangkitkan, mengganggu, dan menggelisahkan kita atas pemahaman tak utuh dan ingatan yang terpotong pada masa yang jauh tersebut. Setidaknya padaku.
Fiorentina Refani
Editor: Abdul Hadi