Setelah hampir sebulan tidak ada tanggapan dari Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Zealous Siput Lokasari melayangkan somasi keduanya pada Kamis (20/10). Somasi tersebut terkait dengan aturan warga negara Indonesia (WNI) yang dianggap nonpribumi tak boleh mempunyai hak milik tanah di Yogyakarta. Sama dengan isi somasi pertama, Siput berharap Gubernur DIY mau melaksanakan rekomendasi yang dikeluarkan Komnas HAM. Isi rekomendasi tersebut untuk menyatakan tidak berlakunya lagi Instruksi Kepala Daerah 1975. Jika dalam kurun waktu 30 hari somasi lagi-lagi tidak ditanggapi, Siput mengatakan, akan mengambil langkah hukum di pengadilan.
Siput datang ke Kantor Gubernur DIY bersama Willie Sebastian, Ketua Gerakan Anak Negeri Anti Diskriminasi (Granad). Mereka berdua mengaku kecewa lantaran tidak bisa bertemu langsung dengan Sultan. Sebelumnya, saat Siput melayangkan somasi yang pertama pada 14 September 2016, dia juga gagal bertemu dengan gubernur. Saat itu, Sultan sedang menghadiri acara yang diselenggarakan Otoritas Jasa Keuangan di Hotel Royal Ambarukmo, Yogyakarta.
Siput menyayangkan tidak ada respons dari Gubernur DIY mengenai permasalahan ini. Padahal, Komnas HAM sudah menyatakan bahwa ada indikasi pelanggaran HAM jika aturan ini tetap diberlakukan. Pada pertengahan Agustus 2014, Komnas HAM mengeluarkan surat rekomendasi bernomor 037/R/Mediasi/VIII/2014. Surat itu berisi imbauan agar Gubernur DIY segera mencabut atau menyatakan tidak berlaku lagi Instruksi Kepala Daerah 1975. Setahun kemudian, karena rekomendasi tersebut tidak mendapat tanggapan yang bagus, Komnas HAM kembali mengirim rekomendasi yang kedua kepada Gubernur DIY. Kendati demikian, surat bernomor 069/R/Mediasi/VIII/2015 itu sampai saat ini juga tak kunjung ditindaklanjuti.
“Kami nanti akan laporkan mereka sebagai Pasal Perbuatan Melawan Hukum (PMH),” kata Siput. Mereka yang dimaksud adalah Gubernur DIY, Kepala Kantor Wilayah BPN DIY, dan Kepala Kantor BPN di setiap Kabupaten/Kota yang ada di Yogyakarta. PMH diatur dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH). Pasal tersebut berbunyi, “Setiap perbuatan melawan hukum yang oleh karenanya menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian.” Siput menjelaskan, gugatan ini nantinya akan menghasilkan putusan declaratoir. Putusan declaratoir bersifat menerangkan dan menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata.
“Produk perundang-undangan bukan, diskresi juga bukan. Lalu, surat sakti jenis apa instruksi ini kok bisa sampai mengalahkan undang-undang?” sindir Handoko
“Kami hanya ingin bilang kalau dia itu melakukan perbuatan melawan hukum, sudah lah mbok jangan gitu. Kami denda seratus rupiah saja,” kata Siput saat ditemui di rumahnya (17/10). Langkah ini dirancang Siput karena dua kali rekomendasi Komnas HAM sama sekali tidak mempunyai ketentuan yang mengikat. “Orang tidak mengikuti rekomendasi Komnas HAM tidak terkena sanksi apa-apa, tapi akibatnya dia telah melakukan pelanggaran HAM,” kata Siput.
Jika memang langkah tersebut yang nantinya diambil, Siput akan menambah panjang daftar langkah litigasi untuk melawan aturan diskriminasi tersebut. Tercatat, sejauh ini sudah dua orang yang pernah memerkarakan kasus diskriminasi ini di berbagai tingkatan lembaga peradilan di Indonesia. Mulai dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) hingga sampai ke Mahkamah Agung (MA).
Pada tahun 2000, Budi Setyagraha, yang saat itu masih menjadi anggota DPRD DIY, pernah menggugat surat keputusan BPN Bantul di PTUN Yogyakarta. Gugatan itu Budi lakukan lantaran BPN Bantul enggan memberikan surat sak milik (SHM) atas tanah yang ia beli di daerah Ngestiharjo, Kasihan, Bantul. Alasannya, Budi yang mempunyai garis keturunan Tionghoa oleh BPN Bantul digolongkan sebagai WNI nonpribumi. Saat proses balik nama, surat yang diterima Budi diturunkan statusnya menjadi hak guna bangunan (HGB). Di PTUN Yogyakarta gugatan Budi dikabulkan. BPN Bantul diminta mencabut surat penetapan HGB tersebut.
Setelah itu, BPN Bantul mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Surabaya. Tahun 2001 permohonan banding BPN Bantul diterima dan membatalkan putusan PTUN Yogyakarta. Merasa bahwa putusan hakim di PT TUN Surabaya belum adil, Budi lantas mengajukan kasasi ke MA. Namun, permohonan kasasi tidak diterima oleh MA lantaran surat tersebut bukanlah keputusan tata usaha negara.
Lima belas tahun berselang, tidak ada satupun orang yang mencoba membawa masalah ini ke meja hijau. Hingga akhirnya Handoko, seorang mantan pengacara LBH Semarang yang kini tinggal di Yogyakarta, mendapat informasi mengenai masalah ini. Tahun 2014 Handoko mengajukan uji materi atas Instruksi Kepala Daerah 1975 ke MA setelah mempelajari kasus gugatan Budi Setyagraha. “Enggak benar ada aturan seperti ini. Orang kan enggak bisa memilih lahir mau jadi keturunannya siapa,” jelas Handoko saat ditemui di kantornya (19/10).
Setelah mempelajari perkara Budi Setyagraha, Handoko lantas mengetahui alasan perkara Budi ditolak MA. “Kasasi Pak Budi itu tidak diterima oleh MA karena yang ia gugat sejak awal adalah surat BPN, bukan instruksinya langsung,” kata Handoko. Dalam bahasa hukum, Handoko menjelaskan, surat BPN tersebut merupakan administratieve beschikking. Sebuah putusan yang bersifat individual dan merujuk dari sebuah peraturan.
Sayangnya, uji materi yang diajukan Handoko pun tidak diterima berkasnya. MA menilai instruksi bukan termasuk produk perundang-undangan seperti yang telah diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-undangan. Dalam UU tersebut, disebutkan hierarki paling bawah produk perundang-undangan adalah peraturan daerah kabupaten/kota. Oleh karena itu, MA mengatakan kalau mereka tidak berwenang untuk menguji surat instruksi tersebut.
“Menurut saya aturan ini ada di bawah undang-undang karena saya mempelajari surat edaran saja bisa diuji di MA,” keluh Handoko. Ia menjelaskan tentang putusan MA nomor 23/P/HUM/2009 yang menguji materi Surat Edaran Direktur Jenderal Mineral Batubara dan Panas Bumi. Selain itu, Handoko juga menjelaskan bahwa instruksi ini bersifat abstrak-umum dan bukan konkret-individual. Artinya, aturan ini berlaku secara umum di wilayah DIY. Sebuah ciri yang menunjukkan instruksi ini bersifat layaknya produk perundang-undangan.
“Oleh MA kan dianggap bukan peraturan, berarti saya anggap ini diskresi,” ungkap Handoko saat ditanya mengapa akhirnya melanjutkan gugatan di PTUN Yogyakarta. Diskresi adalah kebijakan yang dilakukan oleh orang yang diberi wewenang untuk menyelesaikan satu permasalahan. Namun, gugatan Handoko juga tidak diterima karena menurut hakim Instruksi Kepala Daerah 1975 bukanlah sebuah diskresi. Hakim PTUN menilai, diskresi yang ada dalam tata usaha negara hanya yang bersifat konkret, individual, dan final.
“Produk perundang-undangan bukan, diskresi juga bukan. Lalu, surat sakti jenis apa instruksi ini kok bisa sampai mengalahkan undang-undang?” sindir Handoko. Menurut Handoko, berdasar Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah, seharusnya instruksi itu termasuk sebagai sebuah diskresi. “Tapi entahlah, ini saya lagi banding, seandainya kalah lagi saya akan tetap berjuang. Kalau Pak Siput kan menggugat ke Pengadilan Negeri, kalau saya bertahap ke PTUN dulu,” ungkap Handoko. Ia menilai, ada keanehan ketika MA bilang tidak berwenang mengadili, tapi di sisi lain PTUN juga bilang tidak berwenang mengadili.
Menanggapi somasi Siput dan banding Handoko, Dewo Isnu Broto Imam Santoso, Kepala Biro Hukum Setda DIY, mengatakan bahwa pemerintah provinsi tidak akan mencabut instruksi tersebut jika tidak ada keputusan pengadilan yang mengharuskan. “Kami menunggu proses peradilan. Instruksi Kepala Daerah 1975 sudah digugat di PTUN Yogyakarta. Kami menang, tapi penggugat telah mengajukan banding,” katanya, sebagaimana dilansir oleh Jakartapost, Jumat (21/10). Jika permohonan banding nantinya diterima, Biro Hukum Setda juga masih bisa mengajukan kasasi ke MA.
Muhammad Aziz Dharmawan
Laporan oleh Rimba
Tulisan ini kali pertama tayang di majalah EKSPRESI Edisi XXIX November 2016 “Diskriminasi Rasial Pertanahan Yogya”