Ekspresionline.com–Anggaran pendidikan terancam berkurang lebih dari Rp100 triliun. Isu ini diawali oleh wacana redefinisi belanja wajib (mandatory spending) APBN untuk pendidikan. Mulanya, mekanisme penghitungan mandatory spending pendidikan dihitung menggunakan belanja. Akan tetapi, Kemenkeu bersama Bangar DPR berencana mengubah mekanisme penghitungan tersebut menjadi menggunakan pendapatan negara pada tahun 2025 mendatang.
Secara tegas, mandatory spending pendidikan diatur dalam pasal 31 (4) UUD: “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”
Redefinisi tersebut akan berpengaruh terhadap pembiayaan pendidikan, secara khusus pendidikan tinggi. Belakangan, isu biaya kuliah mahal menjadi topik hangat di masyarakat. Mahasiswa meresponnya dengan melakukan protes dalam berbagai cara, sehingga berhasil menekan DPR RI untuk membuat Panja Pembiayaan Pendidikan.
Keberhasilan mahasiswa untuk mendorong DPR dalam pembuatan Panja Pembiayaan Pendidikan akhirnya menghasilkan lima buah kesimpulan dalam kerjanya sejak bulan Mei–September. Dari kelimanya, tidak ada pembahasan spesifik mengenai pembiayaan di perguruan tinggi. Padahal belakangan ini, komersialisasi pendidikan tengah getol terjadi di pendidikan tinggi.
Panja Pembiayaan Pendidikan yang menjadi salah satu harapan untuk meringankan biaya kuliah ternyata tak berdampak signifikan. Adanya polemik redefinisi mandatory spending membuat problematika biaya kuliah yang mahal menjadi semakin kompleks.
Asal-asalan Alokasi Anggaran Pendidikan
Pada UUD pasal 31 (4), terdapat diksi “sekurang-kurangnya”. Diksi itu merujuk pada komitmen konstitusi untuk menjadikan dana pendidikan sebagai prioritas. Diksi itu juga mengacu pada belanja minimal, bukan maksimal. Jadi seharusnya, bisa dibuat melebihi batas minimal mandatory spending. Adanya diksi tersebut juga digunakan untuk mencegah pengurangan dana pendidikan.
Selain mengurangi, diksi “sekurang-kurangnya” juga diharapkan dapat menambah anggaran mandatory spending menjadi lebih banyak seperti yang dilakukan oleh negara lain, semisal Costa Rica, yaitu sebanyak 30%. Wacana redefinisi belanja wajib pendidikan akan berpotensi mengurangi nilai PISA dan IPM.
Menurut laporan Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan Dunia (OECD), di tahun 2022, Indonesia menempati urutan ke 68 dengan skor; matematika 379, sains 398, dan membaca 371. Peringkat ini masih kalah dengan negara Asia Tenggara seperti Singapura (1), Vietnam (34), Brunei (42), Malaysia (55), Thailand (63). Padahal, program ini digunakan untuk menilai kualitas dari literasi, numerasi, dan sains suatu negara.
Rendahnya nilai PISA menandakan masih kurangnya perhatian pemerintah dalam menunjang pembangunan pendidikan, khususnya dalam bidang sains, matematika, dan membaca. Ketimpangan akses dan kualitas yang tersentralisasi di kota menjadi salah satu faktor penyebabnya.
Selain angka PISA, angka IPM juga bisa menjadi perbandingan kualitas pendidikan secara internasional. Terdapat tren peningkatan pada tahun 2023 sebesar 74,39, dibandingkan tahun 2022 sebesar 73,77. Meskipun begitu, rata-rata lama sekolah hanya 8,77 tahun dan harapan lama sekolah 13,15 tahun atau setingkat SMP. Angka ini menunjukan rendahnya minat masyarakat untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.
Berapa Banyak Mandatory Spending Anggaran Pendidikan?
Dalam Diskusi Kelompok Terhimpun (DKT) yang diselenggarakan oleh Kemendikbud dan Komisi X DPR RI, mandatory spending 20% anggaran pendidikan adalah sebanyak Rp 665 Triliun. Semestinya, Kemendikbud dan Kemenag memiliki hak lebih dalam mendapatkan anggaran tersebut. Hal ini disebabkan, kedua kementerian tersebut menjadi pelaksana atas tugas pelayanan pendidikan. Misalnya saja, Kemendikbud bertanggung jawab atas sekolah serta kampus, sementara Kemenag bertanggung jawab atas pesantren dan perguruan tinggi keagamaan.
Namun, dalam pengakuan Sekjen Kemendikbud, Suharti, pihaknya hanya menerima anggaran sebesar Rp98,99 triliun atau 15% dari mandatory spending untuk pendidikan. Alokasi terbesar anggaran pendidikan jatuh pada transfer ke daerah Rp 346,55 triliun, meliputi biaya operasional sekolah dasar dan menengah, gaji guru, renovasi, dan lainnya, sebesar 52%. Sementara itu, alokasi untuk pendidikan tinggi sebesar Rp 7 triliun atau kurang dari 1 persen APBN, padahal rekomendasi UNESCO minimal 2 persen.
Di tahun 2024, malah terjadi wacana kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) serempak dari berbagai PTN. Hal ini tak terlepas dengan Peraturan Permendikbud No 2 Tahun 2024, yang baru ditetapkan Januari 2024 lalu oleh Kemendikbud. Salah satu isi dari peraturan tersebut adalah, dibolehkannya nilai UKT sama dengan Biaya Kuliah Tunggal (BKT).
BKT merupakan kebutuhan biaya asli seorang mahasiswa, ini adalah salah satu rumus dari penentuan UKT. Sebelum ditentukan pemerintah akan memberikan biaya operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN), tujuannya untuk memberikan subsidi. Jadi, besaran UKT adalah hasil dari jumlah BKT dikurangi dengan BOPTN dari pemerintah.
Salah satu universitas yang memutuskan untuk menaikkan besaran UKT adalah UNY. Di kampus ini, sistematika penerapannya menggunakan jalur masuk. Jalur masuk SNBP dan SNBT akan mendapatkan UKT golongan satu atau dua. Sementara pada jalur masuk seleksi mandiri akan mendapat UKT tiga hingga sepuluh.
Padahal pada tahun sebelumnya, maksimal golongan UKT hanyalah delapan golongan. Dikarenakan terdapat fleksibilitas pengelolaan keuangan lewat PTN-BH, serta diperkuat oleh Permendikbud No 2 Tahun 2024, birokrasi UNY dapat mengubah ketentuan hingga sepuluh golongan. Tentunya, kebijakan baru ini tak berpihak kepada mahasiswa.
Tak hanya bertambah jumlah golongannya, biaya kuliah di UNY pun ikut naik cukup signifikan. Di tahun 2023, biaya paling mahal dipegang oleh prodi S1 Teknik Elektro dan Teknik Sipil sebesar Rp6.350.000 per semester pada golongan delapan. Sementara di tahun 2024, UKT golongan delapan prodi S1 Teknik Elektro dan Teknik Sipil mencapai angka Rp10.500.000. Pada golongan terakhirnya, besaran UKT mencapai pada angka Rp14.000.000.
Dalam rencana kenaikan UKT, prodi baru Kedokteran menjadi yang paling mencekik leher dengan nominal tertinggi Rp30.000.000 rupiah per semester. Bahkan, biaya kuliah prodi baru itu telah melampaui prodi Kedokteran UGM, yang telah berdiri sejak 5 Maret 1946.
Status perguruan tinggi berbadan hukum menjadi salah satu penyebab kenaikan biaya ini terjadi. PTN-BH membuat universitas memiliki otonomi pengelolaan sendiri, salah satunya dalam hal keuangan. Sistem kerja ini dibuat dengan harapan agar kampus bisa mandiri menghidupi. Namun, praktik yang sering kali ditemui berbeda. Biaya operasional yang sedemikian tinggi sering kali dibebankan kepada mahasiswa. Di sisi lain, melalui PTN-BH, negara memiliki celah untuk lepas tangan dalam perannya membiayai hidup perguruan tinggi.
Beban berat perguruan tinggi untuk mencari pendanaan sendiri, masih harus dipusingkan dengan wacana pemotongan anggaran mandatory spending. Meskipun belum jelas anggaran mana yang yang akan berkurang, tetapi bisa dipastikan sektor yang sudah dibebankan kepada masyarakat akan bertambah, contohnya biaya pendidikan tinggi.
Refocusing Anggaran Pendidikan
Melihat komersialisasi pendidikan yang marak di kampus, mestinya terdapat evaluasi untuk melakukan refocusing anggaran untuk mengatasi kekeringan anggaran di pendidikan tinggi. Misalnya dengan mengidentifikasi Kementerian/Lembaga yang tidak memiliki keterhubungan langsung dengan pendidikan, khususnya pendidikan tinggi.
Nasib Perguruan Tinggi Kementerian Lain (PTKL) berbanding terbalik dengan PTN. Ia menerima dana lebih dari 4 kali lipat atau sebesar Rp 32, 86 triliun anggaran mandatory spending. Padahal anggaran tersebut bukan hak dari kampus PTKL karena telah bertentangan dengan PP no 57 tahun 2022 tentang penyelenggaraan perguruan tinggi kementerian lain. kementerian sosial juga turut masuk dalam mengambil porsi anggaran dari mandatory spending sebesar Rp 12 triliun.
Melihat kondisi komersialisasi pendidikan tinggi yang sedemikian rupa, juga terpecahnya fokus anggaran pendidikan, maka perlu dilakukan refocusing anggaran. Pendidikan tinggi mestinya diberikan ruang lebih dalam APBN. Setidaknya sama dengan rekomendasi dari UNESCO, 2 persen dari APBN atau setara dengan 66,5 triliun.
Secara hukum terdapat UUD dan Kovenan Ekonomi Sosial Budaya (Ekosob) yang dapat digunakan untuk menunjang refocusing anggaran ini. Dalam kovenan ini, diatur dalam pasal 11 huruf (d) yang berbunyi “Pendidikan tinggi juga harus tersedia bagi semua orang secara merata atas dasar kemampuan, dengan segala cara yang layak, khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara bertahap;”
Artinya pendidikan seharusnya disediakan secara gratis, secara bertahap. Tergantung kemampuan dari masyarakat dan negara untuk membiayainya. Jika mengacu pada pasal tersebut, melalui refocusing anggaram, pemerintah bisa mengupayakan pendidikan tinggi yang terjangkau. Point penting lainnya harusnya pemerintah memiliki tahapan semacam kapan Indonesia akan menggratiskan pendidikan tinggi.
Hal ini demi menunjang generasi emas Indonesia di tahun 2045 dalam menyambut bonus demografi. Setidaknya tahapan menuju kesana harus disiapkan sedari dini. Pendidikan merupakan alat untuk menjadikan surplus demografi itu sebagai bonus.
Namun sayangnya, tahapan menuju pendidikan tinggi gratis tersebut belum disediakan secara jelas. Kita boleh berandai andai untuk menuju bonus demografi 2045. Tahapan semacam ini bisa digunakan untuk permisalan agar langkah konkrit dalam membuat pendidikan tinggi menjadi murah bahkan gratis. Disisi lain, tahapan ini diharapkan bisa mengikat pemerintah dan perguruan tinggi untuk setidaknya tidak membuat biaya pendidikan lebih mahal.
Pertanyaan yang sering muncul dalam pembahasan ini adalah “dari mana mana uangnya?”. Seorang ekonom Bhima Yudhistira, menuliskan dalam amicus curiae (sahabat pengadilan) uji materi Permendikbud no 2 tahun 2024 bahwa tidak membutuhkan banyak uang untuk membuat pendidikan di Indonesia gratis.
Menurut ekonom Celios, ini pendidikan gratis bagi perguruan tinggi hanya perlu dana sebesar Rp 46-50 triliun pada 2024-2025 (disesuaikan dengan inflasi IHP pendidikan). Ia mengungkapkan bahwa, “Maka kemampuan APBN melakukan fully funded sangat realistis. Apalagi anggaran ini hanya setara 22,4% alokasi belanja fungsi pendidikan yang sebesar Rp220,8 triliun di APBN.”
Pemotongan mandatory spending akan menyebabkan semakin parahnya komersialisasi pendidikan tinggi. Dengan begitu nilai kebijakan ini sangat mungkin tidak akan menambah pertumbuhan nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi. Nilai PISA dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) juga sulit untuk tumbuh jika pendidikan di komersialisasi.
Seperti yang sudah disebutkan diatas, bonus demografi ini akan tetap menjadi bonus ketika infrastruktur penopangnya siap. Pendidikan menjadi salah satunya. Jika Insfrastruktur tersebut tidak disiapkan maka, bonus demografi akan berubah menjadi bencana demografi 2045.
*Tulisan ini dipublikasi ulang setelah disertakan dalam Lomba Essay Journalism Festival 2024 LPM Dinamika.*
Aldino Jalu Seto
Editor: Rosmitha Juanitasari