Buku: Funiculi Funicula: Before The Coffee Gets Cold
Penulis: Toshikazu Kawaguchi
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2024
Tebal: 224
ISBN: 9786020651927
Ekspresionline.com–Bagaimana jika suatu hari, kamu diberi kesempatan untuk kembali ke masa lalu?
Sebuah kafe bernama Funiculi Funicula menjadi sohor karena dikabarkan dapat membawa seseorang ke masa lalunya. Orang-orang penasaran. Banyak yang ingin mencoba. Memang, masa lalu adalah gudangnya penyesalan.
Namun, ada berbagai aturan yang harus dipenuhi jika ingin kembali ke masa lalu. Mulai dari harus duduk di kursi khusus dan tidak boleh beranjak selama kembali ke masa lalu; masing-masing orang yang pergi ke masa lalu dan orang yang akan ditemui harus pernah mengunjungi kafe tersebut; harus menghabiskan kopi sebelum dingin; hingga menghadapi ancaman kutukan dan tidak bisa kembali ke masa kini.
Setelah melewati semua itu, ada satu kondisi yang membuat siapa pun memikirkan ulang keinginannya: masa kini tidak dapat berubah. Jika kamu pergi ke masa lalu dan berhasil kembali ke masa kini, kenyataan tetap sama. Sepahit apa pun kenyataan saat ini, pergi ke masa lalu tidak bisa memperbaikinya.
… Benarkah begitu?
Mengubah Masa Kini
Dalam buku ini, Toshikazu Kawaguchi menelaah dinamika relasi manusia dalam berbagai hubungan. Terdapat empat bab yang membahas berbagai hubungan antarmanusia dengan judul yang secara gamblang menggambarkan isinya: Kekasih, Suami-Istri, Kakak-Adik, dan Ibu-Anak.
Sesuai dengan premis buku yang membahas perjalanan ke masa lampau, hampir seluruh kisah dalam buku ini membahas tentang penyesalan dan keinginan untuk memperbaiki masa lalu. Hal yang menarik muncul ketika para tokoh dihadapkan oleh fakta bahwa kenyataan tidak akan berubah meskipun mereka kembali ke masa lalu. Kawaguchi menggambarkan kebimbangan para tokoh yang dihadapkan pada dua pilihan: hidup dengan menanggung penyesalan dan ganjalan pada masa kini, atau melakukan perjalanan waktu meskipun tahu bahwa realita tidak berubah sama sekali.
Perjalanan kembali ke masa lalu sering dikaitkan dengan penebusan atau redemption, dengan harapan dapat menghindari kesalahan yang terjadi dan membuat keputusan yang lebih baik. Alhasil, segala tragedi yang terjadi di masa depan dapat dihindari. Akan tetapi, jika masa depan tidak dapat diubah, lantas apa yang dicari?
Kawaguchi menunjukkan bahwa perjalanan waktu tak hanya tentang memperbaiki kesalahan, tetapi juga tentang berdamai dengan realita yang tak selalu sejalan dengan keinginan kita. Kembali ke masa lalu tidak selalu bertujuan menghindari kesalahan yang kita buat, tetapi juga membaca kembali peristiwa yang telah terjadi, sehingga kita menemukan potongan-potongan kecil yang bisa jadi terlewat.
Barangkali, dengan kembali ke masa lalu, kita bisa menandai hal yang sangat tipis, tetapi menyimpan jawaban atas ganjalan yang kita miliki saat ini. Mungkin sekelebat keraguan pada gerak-gerik tubuh, atau jeda yang sedikit lebih panjang dari biasanya saat berbicara. Mungkin alis yang sedikit mengernyit, dan kata yang tertahan di ujung lidah.
Sebagaimana emosi manusia merupakan hal yang kompleks, Kawaguchi menggambarkan dilema yang dialami para tokoh ketika telah kembali ke masa lalu. Mereka tak serta-merta mampu mengejar apa yang ingin mereka lakukan; seringkali, mereka mengalami keraguan, kembali terbawa emosi, bahkan ingin membatalkan apa yang hendak mereka lakukan.
Namun, kesempatan kedua itu yang mereka butuhkan untuk dapat melihat masa kini dengan cara yang berbeda. Masa kini memang tidak berubah. Meskipun begitu, para tokoh mendapatkan jawaban yang bisa membantu mereka menerima realita mereka dan berdamai dengan rasa penyesalan mereka.
Dangkalnya Penokohan
Tidak ada tokoh utama yang bersifat tunggal dalam kisah ini. Alih-alih disebut novel, buku ini lebih cocok disebut kumpulan cerpen. Meskipun begitu, terdapat beberapa tokoh yang menjadi kunci dalam kisah-kisah di cerita ini. Terdapat Kazu, si mahasiswa seni sekaligus karyawan kafe yang dingin; Nagare, si pemilik kafe; Kei, istri Nagare yang ceria, tetapi sakit-sakitan; Hirai, pemilik bar yang sering berkunjung ke kafe; dan Kotake, seorang perawat yang sering datang ke kafe bersama suaminya yang sakit.
Dengan cukup banyaknya tokoh yang disorot, novel ini kurang mampu mendalami masing-masing tokoh. Tidak ada tokoh yang jelas menjadi tumpuan bagi seluruh cerita. Barangkali, hanya terdapat satu tokoh yang cukup membekas dan bisa jadi menyimpan potensi pengembangan karakter ke depannya, yakni Kazu. Kazu digambarkan sebagai sosok yang pendiam, tetapi memiliki sisi misterius mengenai keterkaitannya dengan kafe dan perjalanan ke masa lalu dalam cerita ini. Akan tetapi, buku ini tidak menjelaskan hal tersebut lebih lanjut.
Bisa jadi, Kawaguchi memang berniat untuk berfokus pada kafe dan kisah hubungan antarmanusia di dalamnya, alih-alih menguatkan karakter tertentu. Buku ini memang cukup berhasil mengundang rasa sedih dan membuat pembacanya merenungkan hubungannya dengan orang-orang yang bermakna dalam hidupnya. Akan tetapi, kurangnya pembangunan karakter dalam buku ini cukup berpengaruh dalam membangun jarak antara pembaca dengan tokoh di dalamnya.
Di samping itu, dalam beberapa bagian, Kawaguchi lumayan bertele-tele dalam menyampaikan detail yang tak begitu berpengaruh dengan jalannya cerita. Misalnya, ia menjabarkan tentang berbagai teknik membuat kopi di tengah-tengah cerita. Hal seperti itu terbilang cukup mendistraksi ritme baca dalam buku ini.
Secara keseluruhan, buku ini merupakan bacaan yang ringan dan cukup menyenangkan untuk dibaca. Ide yang dibawa cukup segar, serta gaya penjabaran tentang latar dalam cerita juga menggugah imajinasi mengenai Jepang yang tenang. Secara tak langsung, kisah dalam buku ini mengajak kita untuk menikmati waktu kita, karena dalam sekejap, masa kini bisa berubah menjadi masa lalu.
Nugrahani Annisa
Editor: Rosmitha Juanitasari