Ekspresionline.com–Raut wajahnya terlihat mengkerut, walau remang lampu sorot sebuah pertunjukan musik, yang tak jauh dari tempatnya berdiri tak dapat menutupi ekspresi bingung sekaligus khawatirnya. “Kenapa?” ku tanya.
“Semoga cuaca berpihak pada kita malam ini,” ujar seorang kawan saya sembari memandang ke arah panggung pertunjukan musik yang akan kami tuju. Raut wajahnya mengingatkan ku pada seorang ibu yang tidak menginginkan hujan di bulan Juni. Hujan yang tak diharapkan kehadirannya. Namun begitulah, musim terlalu sulit ditebak.
Setelah kurang lebih dua tahun menyaksikan banyak penampilan seni secara virtual, untuk kali pertama penampilan secara langsung digelar. Di pertunjukan ini, kami ngemper pada balok-balok beton dengan jarak yang sangat dekat antara penampil dan penonton. Membuat tidak ada sekat di antaranya. Dibawah langit abu-abu yang menahan tetesan hujan, orang-orang mulai ramai berdatangan memenuhi halaman depan gedung Performance Hall Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Selang beberapa lama, muncul dua orang yang menyapa kami, sembari bersorai “Sasmita musik, …. Malam Sasmita: Membumi Untuk Menyala …”
Sasmita musik merupakan salah satu divisi dari Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia (KMSI) program Studi Sastra Indonesia, UNY.
Setiap tahunnya Sasmita musik memproduksi musikalisasi pusisi yang dikurasi dari puisi sastrawan dan dari KMSI sendiri. Tahun ini hasil produksi musikalisasi puisi oleh Sasmita musik ditampilkan perdana pada acara Malam Sasmita, diselenggarakan pada 15/09/2022. Acara tersebut bertajuk membumi untuk menyala. Terdapat dua musikalisasi pusisi yang akan dirilis pada acara tersebut. Kedua puisi tersebut yaitu ‘ Kepada Hawa’ karya A’an Mansyur dan “Gulita’ karya Feninda (KMSI).
Penampilan dibuka dengan musikalisasi puisi sajak “Sia-Sia” oleh Chairil Anwar. Dibawakan oleh Budisni feat Fajar Ramadhan dan Mimi.
Pada larik terakhir sajak itu, terlihat para penonton dan vokalis bersama-sama meneriakkan lirik
“Mampus kau”
“Mampus Kau”
“Mampus kau”
“Dikoyak-koyak sepi”
Penampilan musikalisasi puisi ‘Sia-Sia’ karya Chairil Anwar oleh Budisni dan Fajar Ramadhan. Foto oleh Hayatun Nufus/EKSPRESI.
Saat musik berhenti, tepuk tangan pun menggema pada ruang terbuka di bawah cahaya purnama yang masih malu-malu menampakkan wujudnya.
Dalam remang lampu sorot, terlihat jelas purnama yang tadi malu untuk menampakkan wujudnya kini menjelma pada sudut-sudut bibir itu.
Penampilan yang ditunggu-tunggu pun tiba. Produk musikalisasi puisi Sasmita musik tahun ini mendapatkan gilirannya untuk dipertunjukkan.
Penampilan dibuka oleh Inggar yang membawakan puisi “Kepada Hawa” dan disusul oleh pembacaan puisi “Gulita” yang dibawakan oleh Fina.
Beberapa orang memasuki panggung pertunjukan. Terlihat seorang perempuan yang menggenggam erat biola pada pusat tubuhnya. Lalu seseorang tengah membawa kalimba di tangannya, disusul pria dengan rambut ikal nan panjang. Kaos batik dan celana pendek yang dikenakan pria itu, memberikannya kesan sederhana. Mereka mengambil tempat dan siap membawakan sajak ‘Kepada Hawa’.
Pembacaan puisi ‘Kepada Hawa’ oleh Inggar (KMSI). Foto oleh Hayatun Nufus/EKSPRESI.
Suara dentingan kalimba menjadi pembuka penampilan itu. Dentingannya berusaha mengajak siapa pun yang mendengarnya untuk mengalihkan pikiran ke semua kisah, kisah penciptaan manusia. Hawa, begitu namanya. Ia adalah tokoh dari sajak yang dikisahkan dalam larik-lariknya. Boleh jadi ia merupakan perwujudan dari kaum perempuan.
Cukup lama kalimba itu berdenting, seolah mengisyaratkan keputusasaan, ketidak berdayaan dan kesia-siaan. Di tengah elegi yang dirasakan, tersirat amarah pada larik pertama. Amarah yang entah masih pantaskah untuk diemban.
“Aku merelakan mu menjauh”
“Merelakan mu, terjatuh”
“Ke tempat …… Sampah”
Lirik terahir, sang Vocalis meberi penekanan, sembari menunjuk kebawah. Seolah “tempat sampah” yang ia maksud adalah tempat di mana Hawa melahirkan anak cucunya, Bumi.
Seutas amarah yang terpendam pada larik sebelumnya, seakan dikalahkan oleh elegi. Gesekan nilon pada senar biola, menambah suasana dramatis yang mengiringi seutas pertanyaan pada lirik pertama larik ketiga sajak tersebut.
“Adakah cinta yang jatuh”
“Kepadamu melebihi cintaku?”
Dentuman djembe, disambut oleh nilon yang kembali bergesek pada senar Biola. Seolah menggambarkan elegi yang dirasakan merupakan sebuah kepura-puraan. Amarah dalam jiwanya tidak dapat lagi disembunyikan. Amarah yang penuh akan tuntutan dan protes terhadap Hawa. Dengan suara yang lantang dan penuh penekanan Vocalis menyanyikan larik ketiga dari puisi itu.
Lelaki yang engkau cintai itu mati
Dan tak membawamu ke makamnya
Bagai jeritan rindu yang menyayat dari kekasih yang tidak lagi menjumpai pujaan hatinya, Hawa. Nilon itu kembali mencumbu senar biola, sedikit dipadukan dengan merdunya suara penyanyi latar pada penghujung lirik
Sementara aku
Bertahan hidup
Bertahun-tahun sanggup tak mati
Oleh Rindu dan menanti di surga
Sajak Kepada Hawa karya A’an Mansyur, berhasil melewati proses kurasi. Karena tiap bait dari sajaknya kaya akan makna. Terutama makna tentang penciptaan manusia.
“Kepada Hawa … menurut kita, tuh lebih deep gitu, makna lagunya kaya banget. Setiap baris punya makna tersendiri yang kalo ditelaah buat kita mikir kayak ‘wahh’ [terkagum],” ujar Feninda, salah satu Tim Kurasi puisi produksi Sasmita Musik ketika diwawancarai.
Ia juga menjelaskan beberapa makna menarik dari puisi ‘Kepada Hawa’ yang membuat mereka memilih puisi tersebut.
“Jadi, secara keseluruhan itu tentang Hawa yang dicintai oleh sosok ular/iblis yang dia jumpai di neraka, sebelum hawa turun ke bumi. … Selain itu Ular membandingkan dirinya dengan Adam yang lemah, Adam bakalan mati, dan Adam gak bakalan bawa Hawa ikut bareng ke makamnya ketika dia mati, ” jelas Feninda.
Kepura-puraan dan berbohong pada diri sendiri tergambar juga pada sajak “Gulita” . Seolah ingin menyembunyikan kepura-puraanya, petikan gitar yang terdengar menenangkan, bak nyanyian daun pada hujan musim panas. Mengiringi lirik pada larik pertama sajak itu.
Sudut Bibirnya menampilkan sabit
Pembacaan puisi ‘Gulita’ oleh Fina (KMSI). Foto oleh Hayatun Nufus/EKSPRESI.
Namun perasaan ketenangan itu, berubah menjadi sesuatu yang membingungkan bagi orang yang mendengarkannya. Sajak yang berusaha menggambarkan tubuh dan perasaan seseorang dalam dua sisi yang berbeda.
Namun dalam hati ia menjerit
Meresapi Sobekan luka batin yang menderit.
Sajak itu berusaha menampilkan pergolakan batin seseorang yang teramat membingungkan. Kepura-puraan dan kejujuran bak dua tebing curam yang disekililingnya ditumbuhi tanaman liar berduri. Pada akhirnya setiap langkahnya dalam memilih tetap menimbulkan luka pada dirinya. Luka yang ia ciptakan.
Selaput pelangi merekam genangan merah
Irisan kulit dan jiwa sama porak-porandanya
Hingga goresan prasasti berdinding sepi
Melintangi lengan kiri
Ditengah kebimbangan yang ia hadapi, mungkin tawa adalah ekspresi terakhir yang bisa ia perlihatkan.
Ha, ha, ha, ha ha
Dentuman-dentuman kajon semakin terdengar lebih kuat dan cepat. Menimbulkan ketegangan bagi siapa pun yang mendengarnya. Highnote pada keyboard semakin memacu aliran darah hingga mempercepat detakan jantung. Menambah ketegangan, menunggu larik yang akan vokalis nyanyikan selanjutnya. Matanya tertutup sambil menghirup udara. Lalu, larik terakhir pada sajak itu dinyanyikannya dengan lantang.
Usia masih tak dapat diakhiri
Neraka bumi pun ingin dihuni
Lantas diri sendiri menguliti dengan tanya
Pemberontakan, terdengar dari setiap kata pada larik diatas. Pemberontakan yang ditujukan pada diri sendiri. Pemberontakan yang terjadi dalam jiwanya menuntunnya untuk melakukan hal mengerikan. Genangan merah kidung menutupi penglihatannya sehingga ia tidak terkendali.
Di sisa kesadarannya… Seutas pertanyaan ia layangkan pada lirik terahir larik itu.
Kenapa jasadmu masih terisi nyawa?
Kepalanya tertunduk, bersamaan dengan menghilangnya suara musik. Digantikan dengan riuh tepuk tangan dan beberapa teriakan. Dua lagu telah selesai dibawakan. Namun tepuk tangan belum hentinya dipanjatkan.
Sajak ‘Gulita’ Karya Feninda, di hampir semua liriknya berusaha membawa narasi tentang Mental Issue. Hal ini sejalan oleh sang penyair ketika diwawancarai “menurut para kurator lainnya, puisi saya sangat realete dengan berbagai kalangan. Dengan menceritakan tentang kesehatan mental, diharapkan pusisi ini bisa dinikmati oleh semua kalangan”
Sedangkan pemilihan alat musik Gitar, dengan nada rendah pada larik pertama sajak, memberi kesan dramatis. Lalu pada larik terahir lagu memadukan antara Kajon high’ note dari keyboard memberikan kesan ketegangan yang menggambarkan pemberontakan dan perlawanan dari tokoh dalam puisi tersebut.
“Jika pada larik ketiga keyboard itu nadanya rendah itu menggambarkan kepura-puraan. Pada larik terahir, Haighnote pada keyboard menggambarkan kejujuran, lalu dipadukan oleh Kajon yang menggambarkan pemberontakan” terang Arsys Vocalis sekaligus tim aransemen musik untuk Sajak Gulita.
Hayatun Nufus
Editor: Ayu Cellia Firnanda