Ekspresionline.com – Selama ini masyarakat Tionghoa dipandang sebagai satu entitas yang sama. Mereka dilekati stereotip tertentu oleh masyarakat non-Tionghoa, seperti penjajah ekonomi dan orang asing. Namun, Yerry Wirawan mengajak kita untuk berpikir, bahwa masyarakat Tionghoa adalah masyarakat yang heterogen, tidak pernah homogen.
Hal tersebut diutarakan oleh Yerry pada Seminar Nasional bertajuk “Tionghoa Dalam Bingkai Ke-Indonesiaan: Gerak Langkah Perekonomian Tionghoa Dalam Pembangunan Nasional”, Selasa (27/11/2018) di Ruang Seminar Digital Library UNY. Bagi Yerry, sulit sekali untuk menggeneralisir masyarakat Tionghoa.
Dosen Ilmu Sejarah Sanata Dharma itu melanjutkan, masyarakat Tionghoa masih terbagi ke dalam beberapa kelompok. Tak jarang antar kelompok saling bertikai dan bertentangan. Ia mencontohkan antara Tionghoa Peranakan dengan Tionghoa Totok.
“Bagi orang Tionghoa Totok, Tionghoa Peranakan itu sudah campuran, tidak murni lagi. Bagi orang Peranakan, yang biasanya sudah lama tinggal di sini dan punya kehidupan lebih baik, orang Totok itu miskin-miskin dan kampungan. Karena orang Totok yang baru datang itu berasal dari desa,” jelas Yerry.
Contoh lain juga terjadi pada awal abad 20. Kelompok Sin Po yang pro-Tiongkok ini mendukung gerakan nasionalis di Hindia Belanda, terlihat dari peran mereka sebagai koran pertama yang memuat lagu “Indonesia Raya.”
Sin Po berbeda dengan Chung Hwa Hui, kelompok intelektual Tionghoa yang sangat pro Belanda karena hasil didikan pendidikan Belanda. Mereka menginginkan Tionghoa bersatu di bawah pemerintah kolonial. Di sisi lain, ada pula Partai Tionghoa Indonesia yang menghendaki orang-orang Tionghoa melebur dengan masyarakat Indonesia.
Pasca-Indonesia merdeka, konflik antar Tionghoa masih berlanjut dengan suguhan polemik Baperki (Badan Permusyawaratan Kebangsaan Indonesia) versus LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa). Kedua lembaga itu berseberangan soal penyatuan masyarakat Tionghoa di Indonesia.
Baperki mengajukan konsep integrasi, di mana identitas Tionghoa tetap dipertahankan di tengah kehidupan sosial di Indonesia. Sementara LPKB melawan konsepnya Baperki dengan mengusulkan asimilasi, di mana orang-orang Tionghoa harus betul-betul melebur dengan kebudayaan lokal.
Meskipun pertentangan antar kelompok Tionghoa seolah tak berujung, tetapi pada masa kolonial dan 21 tahun era Sukarno, masyarakat Tionghoa masih mempunyai ruang untuk menunjukkan ekspresi identitasnya. “Orang Tionghoa tetap bisa hadir sebagai orang Tionghoa,” kata Yerry.
Menurut Yerry, fase kemunduran masyarakat Tionghoa di Indonesia justru baru terjadi pada 1965 hingga 1998. Kemunduran ini ditandai dari upaya elite politik Indonesia mencari penyelesaian identitas ke-Tionghoa-an, terutama sejak masa awal kemerdekaan.
Sebagai golongan masyarakat yang masih dianggap asing, percobaan pengintegrasian dari pemerintah dilakukan dengan lebih sistematis melalui perjanjian dwi kewarganegaraan dengan Tiongkok. Intinya, pemerintah Tiongkok mengakui kewarganegaraan tunggal. Sementara pemerintah Indonesia, melalui pengesahan UU Kewarganegaraan tahun 1960, menetapkan orang Tionghoa bisa memilih kewarganegaraan Indonesia atau Tiongkok di hadapan pengadilan.
Akan tetapi, meletusnya G30S 1965 dan anggapan pemerintah Tiongkok terlibat dalam peristiwa tersebut menyebabkan UU Kewarganegaraan dicabut oleh Orde Baru pada tahun 1969. Hubungan diplomatik dengan Tiongkok pun diputus sehingga warga Tionghoa tidak bisa memilih lagi menjadi warga Tiongkok.
Gantinya, warga keturunan Tionghoa harus melalui proses naturalisasi agar bisa diakui sebagai WNI. Proses naturalisasi yang panjang dan mahal tersebut tidak semuanya bisa dipenuhi masyarakat Tionghoa. Akibatnya, mereka menjadi stateless atau tidak berkewarganegaraan.
Masalah muncul saat pemerintah Orba mengadopsi politik asimilasi total. Yerry mengatakan, politik asimilasi total menghendaki warga Tionghoa harus ganti nama, tidak boleh merayakan imlek, dan Konghucu tidak diakui sebagai agama resmi. Pembatasan kehidupan warga Tionghoa ini hanya menjadikan mereka menonjol pada bidang tertentu saja, yaitu ekonomi.
Di bidang ekonomi pun, masyarakat Tionghoa juga mengalami diskriminasi. Praktik nasionalisme ekonomi menyebabkan pembelahan pribumi dan nonpribumi. Sebab, saham atau modal perusahaan nasional harus dimiliki oleh warga negara Indonesia minimal 51 persen. Sementara modal yang dimiliki orang Tionghoa disebut sebagai “modal asing domestik”.
Akan tetapi, nasionalisme ekonomi yang diniatkan untuk melindungi ekonomi pribumi tidak sesuai ekspektasi. Pengusaha pribumi tidak berpengalaman, meskipun punya izin usaha. Izin usaha tersebut lalu dipinjamkan kepada orang Tionghoa yang dianggap aman dan secara politik kedudukannya lemah—praktik ini disebut Ali Baba dan sebelumnya pernah berlangsung tahun 1950-an.
Praktik yang tetap diskriminatif ini pada akhirnya tak berhasil menumbuhkan ekonomi “pribumi”, melainkan malah menciptakan peliyanan dan menganggap Tionghoa tetap sebagai orang asing. Tionghoa pun muncul menjadi kekuatan ekonomi.
Puncaknya, kerusuhan 1998 melahirkan kekerasan rasial yang menimpa orang-orang Tionghoa. “Dengan demikian, politik asimiliasi telah gagal total. Ia tidak menumbuhkan toleransi dan malah membahayakan,” kata Yerry.
Yerry melanjutkan, di tengah pemisahan-pemisahan akibat politik asimilasi dan stigma bahwa anak-anak muda Tionghoa ekslusif, ada tokoh-tokoh muda yang hadir di tengah kehidupan masyarakat Indonesia, seperti Soe Hok Gie, Arief Budiman, Yan Hap, dan Ita Martadinata.
“Dengan keempat tokoh ini, saya ingin menggambarkan bahwa masyarakat Tionghoa adalah masyarakat yang kompleks dan beragam. Tidak bisa dibatasi dalam berbagai kegiatan sosial dan politik. Mereka menjadi bagian masyarakat kita yang turut membangun nasion Indonesia yang kita perjuangkan,” tutup Yerry.
Membawa Hal Baru
Apa yang dikatakan Yerry bahwa orang Tionghoa turut terlibat membangun nasion tampaknya diamini dan menyambung pernyataan Faizatush Solikhah, pemateri lain yang seorang dosen Kearsipan UGM. Menurut Faiza, dalam sejarahnya, kedatangan mereka memang akan diterima oleh raja setempat apabila membawa hal baru. Tujuannya, agar terdapat transfer keahlian dan produk baru yang muncul di masyarakat. Ia pun mencontohkan Kisah Dampo Awang dan Laksamana Cheng Ho.
Faiza yang sejak tahun 2010 meneliti tentang warga negara keturunan asing ini menyebutkan, terjadi peningkatan populasi orang Tionghoa di Yogyakarta. “Dari 3000 orang di tahun 1890 menjadi 12.640 orang Tionghoa,” kata Faiza.
Jumlah orang Tionghoa yang cukup banyak itu memegang peranan penting di bidang industri, perdagangan, transportasi, kesehatan, bahkan pemerintahan. Faiza mengambil contoh Toko Besi ABC milik Wong Chong/Budi Setyagraha. Budi Setyagraha adalah orang yang pernah menjadi Ketua Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI).
Selain Toko Besi ABC, ada pula kisah tentang keluarga Tjoe Deng Si. Orang ini memiliki usaha peternakan babi dan membuka usaha becak. Istrinya, Liem Kie Sang, membuka toko roti kasar.
Toko ini membikin produk olahan roti yang bisa dibeli dan dikonsumsi oleh kelas menengah ke bawah. Jenis roti kasar yang dimaksud seperti: galundeng, bolang-baling, kueh moho, onde-onde, rondo sisik, apem, dan untir-untir.
“Jadi, banyak sekali teman-teman keturunan Tionghoa yang mempunyai peranan besar sampai perkembangannya saat ini,” ujar Faiza.
Menjadi Tionghoa adalah Anugerah
Stereotip dan stigma terhadap orang-orang Tionghoa memang susah untuk dihilangkan, meskipun dalam sejarahnya mereka terrbukti punya peran pada berdirinya negara Indonesia. Padahal, menjadi seorang Tionghoa sendiri bukan pilihan, tetapi sebuah anugerah, sebagaimana dinyatakan oleh Frista, Sekretaris PD Perhimpunan Indonesia Tionghoa DIY (2018-2022).
Frista yang juga menjadi salah satu pemateri pada seminar ini banyak menyampaikan tentang keberagaman Tionghoa di Indonesia. Frista menekankan, bahwa Tionghoa Indonesia tidak bisa dikatakan sebagai struktur yang homogen, tetapi merupakan entitas yang beraneka ragam. “Gelombang kedatangannya pun berjenjang, ada yang masuk zaman Dinasti Ming, ada yang masuk era kolonial Belanda, atau generasi terakhir,” kata Frista.
Frista mengaku, bahwa dirinya kebetulan berasal dari Hokkian. Nenek moyangnya datang ke Indonesia pada saat Jepang menginvasi Tiongkok, tepatnya di Nanking. “Karena dia orang yang tidak mau terlibat perang, maka dia mencari kedamaian di Indonesia,” ujar Frista.
Frista pun mengidentifikasi orang-orang Tionghoa ke beberapa golongan. “Orang-orang Hokkian rata-rata memang golongan pedagang, karena mereka datang pada masa-masa awal. Kemudian ada (orang) Hakka — yang terkenal di sini adalah Pak Ahok. Karakter Hakka memang keras karena kedatangan mereka di daerah pertambangan, seperti Bangka dan Kalimantan Barat,” paparnya, panjang lebar.
Selain Hokkian dan Hakka, ada pula Konghu; mereka adalah kelompok tukang kayu. Menurut Frista, orang Tionghoa di Indonesia sudah tidak bisa disebut totok karena darahnya telah campur aduk. Nenek moyang Frista sendri dari Sunda yang beragama Islam.
Frista pun berpendapat, di dalam masyarakat Tionghoa, akan tetap ada orang paling jahat ataupun paling baik, begitu pula yang super kaya dan super miskin. “Jadi tidak bisa orang Tionghoa itu dikatakan sama. Sama seperti Indonesia, ada orang Jawa, Batak, Madura,” tegasnya.
Acara seminar nasional ini diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Sejarah UNY. Acara ini berlangsung dari pukul 09.00 hingga pukul 13.00 dan dibuka oleh Dekan Fakultas Ilmu Sosial, Ajat Sudrajat. Terdapat 164 orang terdaftar menjadi peserta seminar ini dari bermacam jurusan dan latar belakang. Seminar ini dimoderatori oleh Kuncoro Hadi, sejarawan dan peneliti independen.
Ahmad Yasin
Editor: Danang S