13 Agustus 1996, Fuad Muhammad Syarifudin alias Udin seorang wartawan dari surat kabar harian Bernas dianiaya dua orang tak dikenal di depan kontrakannya di dusun Gelangan Samalo, Jalan Parangtritis kilometer 13, Bantul, Yogyakarta. Akibat luka yang parah pada bagian kepala, pada 16 Agustus 1996, Udin menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Bathesda. Esok harinya, bertepatan dengan hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-51, 17 Agustus 1996, Udin dilepas di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Trirenggono, Bantul. Udin kala itu menutup usia pada 32 tahun. Disinyalir Udin dibunuh karena artikel beritanya yang sangat kritis dan membuka praktek korupsi yang menggurita di Pemerintah Kabupaten Bantul.
Sejak tahun 1996 hingga saat ini, setiap hari Kemerdekaan Republik Indonesia, para jurnalis yang tergabung di Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Yogyakarta selalu menziarahi makam Udin. Pada tahun ini bersama Koalisi Masyarakat Untuk Udin (K@MU), Masyarakat Transparansi Bantul, Pers Mahasiswa, dan para seniman berziarah ke makam Udin. Turut pula dalam rombongan tersebut, yaitu Joko Pinurbo, penyair terkenal peraih penghargaan bergengsi Khatulistiwa Literary Award untuk kategori puisi.
Acara diawali dengan sambutan oleh Pak Wahyu, perwakilan dari K@MU, lalu dilanjutkan sambutan oleh Bekti Suryani selaku sekretaris AJI Yogyakarta, sambutan diakhiri oleh Marsiyem. Inti pesan dari ketiga sambutan hampir sama yaitu merdeka itu ketika kasus Udin dan kasus pelanggaran HAM lainnya tuntas.
“Kadang, keluarga sudah jenuh dengan kasus ini, yang sudah sembilan belas tahun belum terbuka lebar dan menemukan titik terang. Sepertinya aparat hukum pun sudah menutup rapat kasus ini,” ujar Marsiyem.
Acara dilanjutkan dengan pembacaan puisi dengan judul “Yang Tak Terselesaikan Dituliskan” dari Okti Muktini Ali, istri almarhum Angger Jati Wijaya salah seorang pendiri AJI, penyair, dan aktivis pembela Hak Asasi Manusia (HAM) yang menurut Okti, setelah kasus kematian Udin, Angger Wijaya selalu pulang pagi karena kesibukannya menyelidiki kasus Udin. Hingga kematian Angger pula pada Desember 2013, kasus Udin belum tuntas juga. Selain Okti, salah satu aktivis dari K@MU bernama Ndari Sulandari menyanyikan sebuah lagu berjudul “Nyanyian Merah” dan menyairkan puisi berjudul “Megatruh Indonesia”, kedua karya tersebut adalah karangan Angger Wijaya. Tak lupa Anang Zakaria dari AJI juga tak ketinggalan membacakan syair puisi ciptaan Wiji Thukul “Sajak Suara”.
Ternyata Jokpin, panggilan akrab Joko Pinurbo membuat puisi khusus untuk Udin dengan judul “Ziarah Udin”. Jokpin mengatakan bahwa Ia membuat puisi khusus untuk Udin ini hanya sehari semalam, tepatnya pada Ahad malam. Ia pun menambahkan bahwa puisi khusus ini ia tulis tangan, suatu hal yang sangat jarang Ia lakukan. Karya ini lalu Ia letakkan di atas nisan Udin.
Selain itu, Jokpin sendiri mengatakan bahwa Udin adalah seorang jurnalis yang tak hanya profesional tapi sangat menjalankan panggilan dan tanggung jawab kemanusiaan. “Udin menjalani profesinya sebagai jurnalis dengan kecintaan dan tanggung jawab, suatu hal yang susah bagi jurnalis,” menurut Jokpin. Kabarnya, karya Jokpin asli dalam bentuk tangan ini akan dipamerkan dalam pameran bertema “Tribute To Udin” yang merupakan serangkaian acara peringatan 19 tahun kematian Udin.
Jokpin menyairkan puisi berjudul “Ziarah Udin” ini pun dengan khidmat dan tanpa ekspresi seperti Jokpin yang biasanya. Terdapat empat bait dalam puisi itu, berbunyi:
Ziarah Udin
Kemerdekaan itu, Udin, harta cinta yang harus kautebus dengan kematianmu. Kemerdekaan itu rubrik rindu yang mewartakan kabar baik darimu. Kemerdekaan itu kami yang berdiri di sekelilingmu untuk memandang matamu yang bersih dan berani.
Kematian tak memisahkan kau dengan kami, para pewarta yang menyalakan kata di lorong-lorong yang tak terjangkau cahaya. Kematianmu telah membuka pintu yang terkunci oleh tirani, oleh gentar dan takut kami.
Menulislah terus, Udin, menulislah di kolom sunyi di relung hari dan hati kami. Menulislah di sela lelah dan gundah kami.
Kematian tak memisahkan kau dengan kami sebab pada tinta yang melumuri tangan kami masih menyala merahmu, masih tercium darahmu.
(Joko Pinurbo, 16 Agustus 2015)
“Menulislah terus, Udin, menulislah di kolom sunyi di relung hari dan hati kami. Menulislah di sela lelah dan gundah kami,” ucap Jokpin.
Sebelum Jokpin, Sebenarnya pada Minggu (16/08), para seniman jalanan dari berbagai komunitas dan individu membuat mural di kawasan Jembatan Kewek. Di salah satu sisinya bertuliskan “Suluh Udin” yang menampilkan dua artikel berita yang ditulis oleh Udin sebelum Ia meninggal. Artikel berita itu antara lain berjudul “Di Desa Karangtengah Imogiri, Dana IDT Hanya Diberikan Separo” dan “Proyek Jalan 2 Km, Hanya Digarap 1.2 Km”.
Menutup acara ziarah, Masjidi jurnalis AJI, memimpin doa dan dilanjutkan penaburan bunga ke makam Udin oleh para peziarah.
Arfrian Rahmanta